Desember 05, 2008

SEBUAH GELAS YANG KOSONG


Sebetulnya, kita sering sekali mendengar analogi ini: sebuah gelas yang penuh, tak akan mungkin lagi diisi air. Jika dipaksakan, air itu hanya akan tumpah dan terbuang... Disebut 'analogi', karena sebuah gelas penuh air itu dapat mengibaratkan situasi iman kita sendiri. Akan tetapi, meskipun sering mendengarnya, apakah analogi itu sungguh-sungguh menuntun kita kepada refleksi iman dan pertobatan?

Barangkali, banyak di antara kita bertanya-tanya: mengapa orang-orang miskin dan lemah selalu berada di dalam hati Allah? Sebaliknya, mengapa Yesus selalu mengritik orang-orang yang pandai, kaya dan berkuasa? Semuanya itu Kau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Kau nyatakan kepada orang kecil! (lih. Mat 11:25).

Dosa dapat terjadi pada siapapun juga. Pada orang-orang pandai, kaya atau yang berkuasa, dosa terutama mudah sekali terjadi ketika mereka tidak lagi percaya kepada Allah. Kesuksesan dan kenyamanan hidup dapat membuat mereka tak lagi bersandar pada Allah, tak lagi mengandalkan Allah! Mereka lebih percaya pada kekuatan akal, kekuatan harta, bahkan juga kekuasaan mereka. Malahan, dalam banyak perkara, mereka dengan gampang sekali mengkhianati Allah. Itulah saat ketika kepandaian, harta, jabatan atau kekuasaan justru digunakan untuk menindas orang lain yang sesungguhnya adalah sesamanya, serta menghancurkan lingkungan hidup yang sejatinya adalah rumah baginya.

Adakah kapak memegahkan diri terhadap orang yang memakainya, atau gergaji membesarkan diri terhadap orang yang mempergunakannya? Seolah-olah gada menggerakkan orang yang mengangkatnya! Sebab itu Tuhan, Tuhan semesta alam, akan membuat orang-orangnya yang tegap menjadi kurus kering, dan segala kekayaannya akan dibakar habis dengan api yang menyala-nyala. (Yes 10:15-16).
Hanya dengan mengosongkan diri, kita dapat menerima. Barangkali ini saat yang tepat untuk berubah dan percaya, bahwa kepandaian, harta, jabatan atau kekuasaan bukanlah apa-apa tanpa Tuhan di baliknya. Sebab, yang terutama adalah menemukan Kerajaan Allah serta semua kebenarannya, dan segala sesuatu yang lain akan ditambahkan kepada kita! (bdk. Mat 6:22).*

IMANMU TELAH MENYELAMATKAN ENGKAU!


Pada zaman Yesus, orang menghayati dunia sebagai medan pertempuran antara Allah dan si jahat, antara kuasa terang dan kuasa kegelapan. Penderitaan yang dialami adalah tanda bahwa dunia dikuasasi oleh kejahatan yang dipersonifikasikan sebagai setan atau iblis. Sebaliknya, Yesus yang diurapi Allah dengan Roh Kudus, menyembuhkan orang secara jasmani maupun rohani. Dengan mengadakan mukjizat, Yesus menjelmakan pemerintahan Allah dan menghentikan pemerintahan setan. Mukjizat Yeus itu, oleh para pengarang Injil, dikisahkan untuk memaklumkan bahwa Yesus bukan hanya menyampaikan kabar gembira Allah, melainkan bahwa Ia sendirilah Kabar Gembira itu (Iman Katolik, Kanisius & Obor, 1996).

Dalam refleksi tentang mukjizat, saya menemukan bahwa banyak orang terlebih dulu disembuhkan secara rohani, baru jasmani. Kisah tentang seseorang yang sakit kusta (Mat 8:1-4), hamba seorang perwira di Kapernaum (Mat 8:5-13), seorang yang lumpuh (Mat 9:1-8), dan dua orang buta (Mat 9:27-31) adalah beberapa contoh saja. Di tengah penderitaan yang seakan tak berkesudahan, mereka masih mempunyai harapan dan mencari Allah yang menyembuhkan dan menghidupkan. Tak heran jika Yesus kerap berkata semacam ini kepada mereka yang mencari-Nya, ”Imanmu telah menyelamatkan engkau!” (bdk. Mat 9:22).

Pada masa sekarang ini, ketika dunia telah dikoyak-koyak dengan kejam oleh kekerasan dan ketidakadilan, rasanya sulit untuk mengharapkan mukjizat. Sulit bukan berarti tak mungkin; justru inilah suatu panggilan bagi kita untuk mengimani Yesus. Kita dipanggil untuk percaya bahwa kasih, kebenaran dan keadilan adalah pilar-pilar bagi tegaknya Kerajaan Allah.

Sampai di titik ini, kita menyadari bahwa mukjizat yang terpenting bukanlah kemampuan untuk mengusir setan atau menyembuhkan penyakit dalam diri orang lain. Yang terpenting adalah kemauan kita untuk mengusir setan dan menyembuhkan diri kita sendiri. Mengimani Yesus, mengupayakan tegaknya pilar-pilar Kerajaan Allah di dunia ini, adalah mukjizat yang dapat kita buat.*

KUBAWAKAN PEDANG UNTUKMU!


Dalam sebuah tayangan talkshow Oprah Winfrey di televisi, diceritakan tentang kehancuran sebuah keluarga akibat perilaku buruk sang ayah. Alkisah, sang ayah sering melakukan tindakan asusila terhadap anak tirinya. Setelah memendam sekian lama, si anak akhirnya tak tahan dan menceritakan hal itu kepada ibunya. Keluarga itu pun guncang. Dengan hati teguh, sang ibu pun melaporkan semuanya kepada polisi. Setelah melalui proses pengadilan, sang ayah akhirnya dihukum penjara untuk beberapa tahun lamanya.

Tentu bukan hal mudah bagi sang ibu untuk menghadapi semua hal itu. Setelah kegagalan pernikahan pertamanya, ia tentu mengharapkan kebahagiaan dalam pernikahannya yang kedua. Apalah dikata, pernikahan itu justru membekaskan noda dalam diri dan hidup anak kandungnya sendiri. Butuh keberanian yang besar untuk memilih: si anak, atau suami tercintanya? Sang ibu akhirnya memilih untuk mengakhiri pernikahannya dan memastikan suaminya mendapat hukuman atas perbuatan amoralnya!

Kisah itu sungguh menarik; bukan hanya karena keberanian sang ibu membuat kita kagum, namun terlebih karena banyak ibu lain memilih untuk mengorbankan anaknya. Dalam beberapa kisah lain yang juga ditayangkan, para ibu bukannya berpihak kepada korban (anak mereka), melainkan justru mengusir anak itu dari rumah. Sungguh tragis!

Memang, harga yang perlu dibayar untuk suatu kebenaran sangatlah mahal. Membela kebenaran, barangkali berarti harus menudingkan telunjuk kepada orang-orang terdekat kita, mengorbankan semua kebahagiaan dan kenyamanan kita, bahkan berbalik arah dan membiarkan diri kita dicap sebagai ’pengkhianat’.

Pada akhirnya, agaknya tak ada yang terlalu mahal bagi sebuah kebenaran. Barangkali, takarannya kemudian adalah ’sepadan’. Kita jadi belajar untuk menghargai kebenaran lebih daripada apapun, apalagi sekadar kebohongan atau pembelaan diri. Kita pun diteguhkan oleh perkatan Yesus, ”Barangsiapa tidak mengikuti Aku, ia tidak layak bagi-Ku!”


Bapa rohaniku memberikan satu nasihat yang berharga ini: yang penting, pertama-tama, berjuanglah untuk menjadi benar...*

Desember 01, 2008

FROM THE BOTTOM OF THE WELL!


Uskup Agung Oscar Romero (1917-1980) adalah seseorang yang sangat gigih melawan kekerasan dan ketidakadilan yang dialami rakyat El Salvador. Berkali-kali ia diancam akan dibunuh, tetapi ia hanya berkata, "Saya tidak percaya akan kematian, melainkan akan kebangkitan. Jika mereka membunuh saya, saya akan bangkit kembali dalam diri rakyat El Salvador."

Romero pada akhirnya memang mati ditembak saat mempersembahkan Perayaan Ekaristi. Tetapi, seperti yang disiratkannya, perlawanan terhadap kekerasan dan ketidakadilan di El Salvador tak pernah mati.

Bagaimana dengan kita? Seringkali kita takluk dan jatuh berlutut di hadapan kekuatan-kekuatan jahat yang mencoba menguasai dunia. Padahal, Yesus berpesan kepada kita, "Tak ada sesuatupun yang tertutup takkan terbuka, dan tak ada sesuatupun yang tersembunyi takkan diketahui. Janganlah takut pada mereka yang hanya mampu membunuh tubuh, tapi tak kuasa membunuh jiwa!" (bdk. Mat 10:26, 28).

Sementara itu, di sudut yang jauh, seorang penyair berkata lantang: tyranny cuts off the singer's head, but the voice from bottom of the well returns to the secret stream of the earth, and rises out of nowhere through the mouths of the people. There's no forgetting, there's no winter... that will wipe your name, shining brother, from the lips of the people... (Pablo Neruda)*

IMANMU MENYELAMATKAN ENGKAU!


Banyak orang berpikir demikian, ”Karena menjadi Katolik, aku akan selamat.” Akan tetapi, berapa banyakkah yang bertanya kepada dirinya sendiri, ”Aku ini Katolik macam apa? Sudahkah aku menjadi Katolik yang baik?”

Kekatolikan kita bukanlah sekadar identitas; setidaknya di kolom KTP kita punya sesuatu yang disebut agama. Kekatolikan juga bukan wadah; supaya kita punya semacam tempat untuk bernaung dan atau eksis. Lebih daripada itu; kekatolikan adalah rasa, yang merasuk ke dalam semua pikiran, perkataan dan perbuatan kita. Itulah yang membuat kita disebut Katolik, bukan soal satu kata di KTP, bukan juga gereja & Gereja tempat kita berada.

Seorang kepala rumah ibadat dan dan seorang perempuan, oleh iman mereka, digerakkan untuk mencari kehidupan dan kesembuhan. Itulah makna terdalam dari iman: bahwa tanpa perbuatan, ia adalah kosong! (bdk. Yak 2, 20).

Sudahkah kita, yang mengaku Katolik ini, melakukan perbuatan-perbuatan berikut: memberi makan yang lapar, memberi minum yang haus, memberi tumpangan kepada yang asing, memberi pakaian yang telanjang, melawat yang sakit, mengunjungi yang terpenjara? Sudahkah iman menggerakkan kita untuk melakukannya?*

BUKAN PERSEMBAHAN


”Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, melainkan orang sakit,” kata Yesus (bdk. Mat 9, 12).

Yesus sendiri adalah tabib segala tabib; Dia-lah yang empunya kehidupan, Dia-lah pula yang menganugerahkan kehidupan itu kepada kita. ”Dan Aku menyertaimu sampai akhir zaman!” (bdk. Mat 28, 20). Inilah janji terindah yang bisa diberikan oleh siapapun juga: keterlibatan yang konkret dalam hidup yang lain. Yesus menawarkan diri-Nya untuk berjalan bersama kita.

Kita pun dapat menjadikan keterlibatan itu sebagai panggilan; ketika bukan semata-mata kesalehan hidup yang kita persembahan kepada Tuhan, melainkan juga kerelaan kita untuk berbagi kehidupan dengan sesama.*

AKU PERCAYA!


Beberapa waktu yang lalu, wajah Yesus tampak di gong gereja kita. Setidaknya, itulah yang bisa kita lihat dari foto-foto yang beredar.

Reaksi umat pun bermacam-macam. Ada yang menangis karena merasa tersentuh. Ada yang gemetar karena takjub. Ada juga yang lantas melakukan macam-macam analisis: mengapa Tuhan menampakkan diri di MBK? Ada yang biasa-biasa saja. Ada yang menganggap sepi. Ada juga yang tidak percaya. Itulah kekayaan Gereja; sebuah potret kemajemukan, pun dalam hidup religius. Bukankah rasanya menggetarkan hati, berada di tengah Gereja yang satu dan kaya ini?

Semua jalan dapat membawa orang untuk sampai kepada Tuhan, termasuk gambar wajah di atas sebuah gong sekalipun. Menjadi rumit, ketika semua jalan yang boleh ditempuh itu tidak mengantarkan kita ke mana-mana. Kita hanya berputar-putar di jalan itu, lupa pada tujuannya yang semula.

Jika itu yang kita alami, barangkali kita akan serupa Tomas yang menanti Yesus hadir di hadapannya. Menanti bukti, untuk kemudian percaya, baru mampu mewartakan keselamatan yang datang dari Allah.

Setiap orang boleh berproses dan harus berproses. Mungkin ada baiknya untuk diingat: selama proses itu berlangsung, jumlah pengangguran terus bertambah, jumlah penduduk miskin meningkat, anak-anak semakin lapar dan jauh dari sekolah, hutan-hutan terus ditebangi, pencemaran lingkungan tetap terjadi, bahkan kekerasan dan ketidakadilan makin kokoh menjadi satu-satunya sistem di negeri ini...*

BERHITUNG


Sejak kecil, kita sudah belajar berhitung. Anak-anak yang baru bicara, biasanya juga diajari untuk menyebut nama bilangan seperti satu, dua, tiga, sebagai kata-kata pertama mereka. Setelah duduk di bangku sekolah, kita pun mulai belajar dengan serius, mulai dari penjumlahan sederhana sampai ke hitungan kalkulus.

Logika matematika pun merambah ke dalam semua segi kehidupan kita. Satu di antaranya, soal biaya. Kita jadi bisa membedakan mana aktivitas berbiaya tinggi dan mana aktivitas berbiaya rendah. Biasanya, yang berbiaya tinggi itu akan dipikirkan lebih lanjut untuk dilakukan atau tidak.

Berhitung itu baik dan perlu; menjadi masalah ketika diterapkan pada situasi yang kurang tepat. Misalnya iman. Inilah yang dilakukan oleh orang-orang di seberang Danau Genesaret. Mereka lebih mengutamakan kehidupan ekonomi—dengan memelihara babi-babi—daripada memelihara iman sesamanya. Di pekuburan dekat situ, ada dua orang yang kerasukan roh jahat, tanpa seorang pun peduli. Buat apa? Kehidupan ekonomi jauh lebih penting; darinya kita bisa makan dan hidup!

Ketika Yesus datang, Ia memindahkan roh jahat dalam diri kedua orang itu kepada babi-babi. Bukannya bersyukur karena saudara mereka selamat, orang-orang desa itu malahan marah dan mengusir Yesus. Mereka meratapi kematian babi-babi yang terjun ke jurang. Yesus pun pergi. Ia cuma mampir untuk mengajarkan bahwa kesejahteraan tak hanya boleh milik sendiri, namun juga untuk semua orang. Bagaimana mungkin matematika bisa jauh lebih berharga ketimbang manusia?*

INTI KEHIDUPAN


Jika tornado mengamuk, di manakah tempat yang paling tenang? Jawabannya adalah: di dalam inti tornado itu sendiri.

Barangkali, kita kerap menjumpai hidup ini seolah ladang pertanian yang diamuk tornado. Tak banyak yang disisakan seusai badai, pun gandum setangkai. Setelah kemarahan yang dahsyat, yang tinggal kemudian adalah kekosongan yang sangat. Dalam sunyi kita pun mengeluh, “Apalah arti hidup?”

Seorang Ayub pun bahkan pernah berkata, “Mengapa aku tidak mati waktu aku lahir, atau binasa waktu aku keluar dari kandungan?” (lih. Ayb 3, 11), kendati ia juga berseru, “Tetapi aku tahu: Penebusku hidup!” (bdk. Ayb 19, 25).

Dalam kesesakan kita, suara lirih ini merupakan manis yang tersisa: Aku datang supaya kamu mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan... (bdk. Yoh 10, 10).

Inti tornado adalah bagian yang paling tenang; barangkali sama seperti inti penderitaan adalah kehidupan.*

MENCARI ALLAH


St. Agustinus menulis: Hati kami diciptakan untuk-Mu ya Tuhan, maka tidak akan pernah tenang bila belum tinggal di dalam Dikau.

Ya, kita memang tidak akan tenang bila belum menemukan Allah. Bagaimanakah kita mencari Allah itu? Ada orang yang mengejar pengetahuan. Ada orang yang mengunjungi tempat-tempat ziarah, bahkan hingga yang jauh. Ada yang bertekun dalam doa-doa yang panjang. Ada juga yang menceburkan dirinya ke dalam pengalaman demi pengalaman. Bahkan, ada yang lelah hingga akhirnya berhenti mencari.

Apapun dapat kita lakukan, karena iman pun memiliki perjalanannya sendiri. Di sisi lain, kutipan ini mestinya punya arti: Tuhanlah yang memberikan hikmat. Engkau akan mengerti tentang kebenaran, keadilan dan kejujuran, bahkan setiap jalan yang baik. Karena hikmat akan masuk ke dalam hatimu, dan pengetahuan akan menyenangkan jiwamu. (Amsal 2, 6.9-10).

Allah begitu dekat, tapi mengapa seringkali terasa begitu jauh?*

November 07, 2008

DIA YANG MENANGGUNG KELEMAHAN KITA

Allah telah menciptakan dunia dan seisinya, agar kesemuanya itu memuliakan Dia (bdk. Kej 1, 31). Bagaimana keadaan dunia dan seisinya itu? Sudahkah semuanya memuliakan Allah?

Dalam terbitan khusus Detak Bumi (National Geographic, 2007), terungkap data-data berikut:
- 2 orang terkaya di dunia memiliki lebih banyak uang dibandingkan dengan total PDB dari 45 negara termiskin.
- 1 miliar orang (dua kali jumlah penduduk Uni Eropa) tinggal di daerah kumuh di perkotaan di seluruh dunia
- 144 miliar dolar AS akan terkuras dari ekonomi Afrika-Sub Sahara sebelum 2020 karena kehilangan produktivitas akibat HIV/AIDS
- 3 miliar orang hidup dengan uang tak sampai Rp20ribu/hari
- 1% penduduk dunia adalah golongan termakmur yang mengontrol 40% nilai bersih dunia; sebaliknya, 50% penduduk dunia adalah kaum papa yang hanya memiliki 1% dari nilai bersih di dunia
- TPA Bukit Puente, California, menerima nyaris 12 ribu ton sampah per hari
- dua per tiga pasokan ikan laut lepas sudah ditangkap melampaui yang dapat digantikan oleh alam
- 40 juta ton limbah elektronik dibuang setiap tahun
- populasi burung, mamalia, reptil dan amfibi menurun 30% dalam 33 tahun
- 1-2 juta jiwa berjuang untuk mendapatkan 20-50 liter air per hari

Agaknya, seluruh dunia dan isinya belum sampai pada tujuan penciptaannya.

Inilah saatnya menjadikan karya penebusan Yesus sebagai bagian dari karya penebusan kita sendiri. “Sebab Aku datang bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya.” (lih. Yoh 12, 47).

Oktober 30, 2008

TUHAN, JIKALAU ENGKAU MAU...


Aku memandang sesosok tubuh yang berdiri di kejauhan, di tengah kerumunan orang itu...

Aku telah mendengar semua yang diajarkan-Nya. Ia mengajar tentang kehidupan, bukan seperti mereka yang berpengetahuan atau berpengalaman, melainkan seperti yang empunya kehidupan itu sendiri (bdk. Mat 7, 29). Selama ini suara ahli-ahli kitab dari balik dinding membuatku mengerti, tapi Dia membuatku percaya...

Aku bukanlah siapa-siapa. Aku tak lagi layak diberi hidup. Oleh para tabib aku tak beroleh kesembuhan, oleh orang banyak aku diasingkan, oleh para ahli agama aku dikutuk dan dibuang. Aku tak lagi punya tempat... Akan tetapi, Dia memberiku Kerajaan Surga dan menyenangkan hatiku... (bdk. Mat 5, 1-12).

Kusta ini tak hanya melemahkan badanku, namun juga melumpuhkan jiwaku. Adakah ciptaan yang tak lagi dicintai oleh penciptanya? Adakah ciptaan yang pada akhirnya hanya akan dibuang? Aku memandang-Nya berkata-kata, dan Ia mengembalikan harapanku, membuatku merasa dicintai lagi (bdk. Mat 6, 9-13), membuatku merasa berarti lagi (bdk. Mat 5, 13-16)...

Aku mendengar ia telah menyembuhkan banyak orang (bdk. Mat 4, 23-24). Betapa besar kuasa-Nya! Ia adalah tabib segala tabib, kasih segala kasih, hikmat segala hikmat... Lihat, Ia berjalan ke arahku! Di hadapan-Nya, aku hanya bisa bersujud... hanya bisa terbata-bata... ”Jikalau Tuan mau, Tuan dapat sembuhkan aku...” (bdk. Mat 8, 2).

Dan aku pun sembuh.

CINTA YANG MEMBEBASKAN

Dalam sebuah penderitaan, St. Teresa Avila pernah mendengar Allah berkata, ”Teresa, mereka yang dikasihi Tuhan, disiksa oleh-Nya. Inilah cara Aku memperlakukan sahabat-sahabat-Ku.” Teresa pun menjawab, ”Makanya sahabat-sahabat-Mu begitu sedikit!” (Riwayat Hidup Para Kudus, 2002).

Mencintai Allah memang tak selalu jadi perkara mudah. Malahan, dalam banyak hal, mencintai Allah merupakan kesusahan demi kesusahan. Bukankah mencintai Dia berarti memahami kehendak-Nya, dan mencintai Dia juga berarti menjalankan kehendak itu? Di situlah letak susahnya.

Barangkali kita masih berusaha mencintai Dia demi Dia, untuk menyenangkan-Nya saja. Kita belum mencintai Dia karena Dia sendiri; sebab bukankah Dia adalah Sang Mahacinta? Karena itulah, Yesus berkata, ”Bukan yang berseru-seru ’Tuhan, Tuhan’ yang akan masuk ke dalam surga, melainkan mereka yang menjalankan kehendak Bapa-Ku.” (bdk. Mat 7, 21).

Mencintai Allah pun adalah sebuah proses, sebuah pergulatan. Dari situlah iman akan tumbuh. Allah bermaksud menyerahkan manusia kepada keputusannya sendiri (Sir 15, 14), supaya ia dengan sukarela mencari Penciptanya dan dengan mengabdi kepada-Nya secara bebas, mencapai kesempurnaan sepenuhnya yang membahagiakan (GS, 17) (Katekismus, 1730). Inilah cinta yang membebaskan itu!*

YANG KUSEBUT SEBAGAI BAPA

Seorang psikofenomenolog, M.A.W. Brouwer, menuliskan perenungannya tentang hubungan anak-ayah sebagai berikut: Secara sengaja atau tidak sengaja, Ayah selalu ditempatkan di atas diri pribadi. Ayah adalah asal-usul. Ayah adalah prasyarat, sekaligus penyebab eksistensi seseorang. Ayah adalah bagian dari identitas pribadi seseorang, terutama dalam menempatkan individu pada posisi dan dengan peranan tertentu di tengah masyarakat. (Ayah dan Putranya, 1985).

Yesus selalu menyebut Allah sebagai Bapa; Ia kerap melengkapinya menjadi ’Bapa-Ku’. Dalam doa yang diajarkan-Nya kepada murid-murid-Nya, Yesus menyebut ’Bapa-Ku’ itu sebagai ’Bapa Kami’.

Barangkali inilah makna terdalam yang luput dari perhatian kita. Bukan sekadar suatu perenungan psikofenomenologis, bukan sekadar permainan kata-kata. Ada relasi yang begitu dalam, yang sarat makna, antara seorang anak dengan ayahnya.

Allah adalah asal dari segala sesuatu, adalah alasan bagi segala sesuatu. St. Thomas Aquino menulis bahwa sebab pertama dan tujuan akhir dari segala-galanya ’dinamakan Allah oleh semua orang’. Begitu pula halnya relasi mendalam antara Allah dan manusia. Kerinduan akan Allah sudah terukir dalam hati manusia karena manusia diciptakan oleh Allah dan untuk Allah. (Katekismus, 27).

Artinya, ketika kita menyebut Allah sebagai Bapa, sama seperti Yesus telah menyebut Allah sebagai Bapa, Allah haruslah menjadi alasan keberadaan kita di dunia. Pernahkah kita bertanya tentang alasan keberadaan itu?

Pada Yesus, alasan keberadaan itu tampak jelas, sejelas baris-baris doa yang diajarkan-Nya kepada kita: memuliakan Allah, mencari & menjalankan kehendak Allah, menjalani hidup sebagai anugerah, membangun relasi dengan Allah & mengasihi sesama, serta memberikan makna pada dimensi penebusan dalam setiap karya-Nya di dunia.*

YANG TERPUJI

Setiap orang pasti merasa senang jika keberadaannya diakui oleh orang lain, atau sikap maupun perbuatannya dipuji. Dalam diri sejumlah orang, pengakuan & pujian itu bahkan menjadi suatu kebutuhan, dorongan atau motivasi untuk menampilkan sikap maupun melakukan perbuatan yang serupa atau yang lebih baik.

Termasuk dalam hal-hal yang menyangkut iman, orang senang diakui dan dipuji. Rajin ke gereja, pandai berdoa, punya pengetahuan tentang Kitab Suci, aktif dalam kegiatan Gereja... menjadi tolok ukur bagi pengakuan dan pujian. Padahal, iman bukan semata-mata apa yang tampak, melainkan juga yang tak tampak: apa yang dialami, apa yang dirasakan... tentang pergulatan, jatuh-bangun, tentang pemikiran dan impian, juga tentang pengertian.

Yang tak tampak, yang tersembunyi itulah yang dapat dilihat oleh Allah. Kata pemazmur: Tuhan, Engkau menyelidiki dan mengenal aku. Engkau mengetahui kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh. Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya semuanya telah Kau ketahui. (Mzm 139, 1.2.4).

Jika iman hanya sebatas yang tampak, tak heran jika kita mudah sekali dibenturkan dengan realitas keseharian. Rajin ke gereja, apakah juga rajin mengunjungi sesama yang membutuhkan bantuan kita? Pandai berdoa, apakah juga mau belajar untuk mengupayakan solusi-solusi konkret bagi masalah yang dihadapi sesama kita? Punya pengetahuan Kitab Suci, apakah juga mampu mengetahui tanda-tanda zaman? Aktif dalam kegiatan Gereja, apakah juga terlibat dalam hidup keseharian masyarakat luas?

Itulah iman yang sesungguhnya; pengalaman hidup yang konkret, bukan pengakuan... suatu pergulatan, bukan pujian. Seringkali, pengalaman & pergulatan iman justru jauh dari pengakuan & pujian; yang diterima adalah perasaan gagal, mandek, bahkan kegelapan. St. Teresia Avila menyatakan bahwa perjalanan iman bukanlah sesuatu yang linear. Seperti mendaki anak tangga, seseorang bisa terjungkal di tengah-tengah dan harus kembali memulai dari anak tangga yang paling bawah.

Barangkali, akan kita akan menjadi bijak apabila bersikap sebagaimana Maria: menyimpan semua perkara di dalam hati (bdk. Luk 4, 51b), di tempat yang tersembunyi.*

TEMBOK & JEMBATAN

Kita gampang sekali memandang orang lain sebagai musuh, hanya karena kita berbeda dengannya. Mungkin perbedaan itu berupa agama atau suku, kelompok atau aliran, tujuan atau kepentingan. Sejarah kemanusiaan kita mencatat bagaimana permusuhan begitu dekat dengan kematian, dalam skala yang kecil hingga yang besar.

Di lingkup kehidupan yang kecil, seorang anak dapat membunuh ibunya yang tak mau memberinya uang jajan. Seorang lelaki dapat membunuh lelaki lain karena gelap mata akibat cemburu. Seorang ibu dapat membunuh seorang ibu lain yang menagih utang kepadanya. Di ruang kehidupan yang lebih luas, tragedi G30S/PKI dan peristiwa ’pembersihan’ sesudahnya, bentrok antarsuku di Kalimantan 1997, peristiwa Mei 1998, hanya sedikit contoh peristiwa yang menewaskan begitu banyak orang.

Sekali satu batas diciptakan antara aku dan kau, antara kita dan mereka, di situlah jarak akan bermula.

Yesus mengajak kita untuk menyeberangi jarak itu. Yesus yang begitu tegas tentang apa yang benar dan apa yang salah (bdk. Mat 10, 34-36), juga tegas tentang persatuan, kerukunan dan persaudaraan (bdk. Mat 5, 44; Yoh 17,11-12).

Mungkin sulit, mengecilkan hati, mungkin terasa mustahil pada awalnya. Namun toh seorang bijak pernah berkata: untuk menjangkau satu sama lain, janganlah membangun tembok, melainkan jembatan.*

MENGHADAPI KEKERASAN

Di sekitar kita, kekerasan banyak terjadi. Di rumah, sekolah, tempat kerja, jalanan, masyarakat, negara, bahkan juga Gereja. Kekerasan tampaknya sudah menjadi budaya; orang lebih suka memilih kekerasan sebagai jalan keluar, ketimbang dialog atau telaah kritis yang mencerdaskan.

Kekerasan yang satu akan melahirkan kekerasan yang lain, padahal kekerasan tak pernah dapat menjangkau kebenaran. Seringkali, kita pun dilumpuhkan oleh kekerasan. Kita lebih suka diam sehingga tak mampu merintis jalan menuju kebenaran itu sendiri.

Sakit hati, amarah juga harga diri adalah sedikit dari sekian banyak hal yang membutakan mata kita pada kebenaran. Kita lebih suka membalas daripada mencoba menelaah duduk persoalan yang sebenarnya. Kita lebih suka melampiaskan kekesalan ketimbang menempuh cara-cara yang konstruktif. Kita bahkan tak lagi melihat sesama sebagai saudara yang bersamanya kita dapat saling menyempurnakan; kita lebih suka menganggapnya sebagai musuh atau sasaran.

Masih banyak yang harus kita imani dari Yesus, bukan? Yesus adalah Dia yang menerima pelukan ataupun tamparan, pujian maupun cercaan. Yesus adalah Dia yang mengatakan, ”Bapa, ampunilah mereka karena tak mengerti yang mereka lakukan...” (bdk. Lukas 23, 34), juga adalah Dia yang berkata, ”Berbahagialah mereka yang lapar dan haus akan kebenaran, sebab mereka akan dipuaskan...” (bdk. Mat 5, 6).*

TERATAI DAN LUMPUR

Tak seorang pun dapat mencela keindahan setangkai bunga teratai yang mekar, kendati ia tumbuh di atas lumpur. Kalaupun ada yang dapat mencelanya, bukankah artinya orang itu hanya mampu melihat lumpur dan tak sanggup mencapai teratai?

Seseorang yang beriman kepada Allah dan hidup di tengah dunia, bagaikan teratai yang tumbuh di atas lumpur. Lumpur itu membuatnya hidup memang, tapi mekarnya bunga adalah pujian bagi sang pencipta.

Jika setangkai teratai adalah sebuah kesaksian bagi dunia, bukankah terlebih-lebih lagi kita, manusia?

Barangkali yang perlu kita lakukan adalah mengembangkan kelopak-kelopak hidup kita, agar setiap orang dapat melihat keindahannya. Jika kita tak mampu menjadi kembang yang mekar, tak bisa lain, orang hanya akan melihat lumpur di sekitar kita.

PELITA YANG MERINDUKAN NYALA API

Seorang pujangga, Louisa May Alcott, menulis, ”It takes two flints to make a fire...”

Ya. It takes two flints to make a fire. Itulah yang terjadi saat Yesus menyatukan kehendak Bapa dengan kehendak-Nya. Itu jugalah yang akan terjadi jika kita mau menyatukan kehendak Allah dengan kehendak kita.

Api yang menyala itu akan menyambar pelita dan membuatnya bercahaya tetap. Tak ada yang akan meletakkan pelita itu di bawah gantang; sebab panggilan sebuah pelita adalah memberikan terang (bdk. Matius 5, 15).

Hidup semata-mata untuk menjalankan kehendak Allah ibarat menyalakan pelita di dalam kegelapan. Pelita itu akan menuntun orang untuk berjalan, dan sebaliknya, akan menyilaukan mata mereka yang berusaha menentang.

Alangkah indahnya jika semua orang dapat bercahaya sebagai pelita. Bahkan, seorang janda di Sarfat pun menemukan cahayanya saat memberikan makanan terakhirnya serta tumpangan pada seorang asing yang tak dikenalnya. ”Sebab apapun yang kau lakukan pada saudaramu yang paling hina, kau melakukannya untuk-Ku.” (bdk. Matius 25, 40).

KONTRAS

Semakin mengenal Yesus, orang akan semakin mengetahui betapa kontras dunia ini dengan situasi Kerajaan Allah. Ia akan gelisah; ia tahu bahwa ia harus memperjuangkan sesuatu.

Situasi Kerajaan Allah terjadi ketika terjalin hubungan-hubungan yang benar antara manusia dan Allah, manusia dan manusia, serta manusia dan seluruh ciptaan. Situasi Kerajaan Allah tidak tampak ketika ketidakadilan merebak, kekerasan terjadi dan eksploitasi berlangsung terus-menerus.

Menjadi gelisahlah manusia yang kedalaman hatinya menyerukan Tuhan. Sebab, kerinduan akan Allah sudah terukir dalam hati manusia. Manusia diciptakan oleh Allah dan untuk Allah (lihat Katekismus, 27).

Kegelisahan dan kerinduan itu akan terus menerpa; semakin mengenal Dia semakin parahlah wajah dunia, sebab Allah tampak jauh lebih besar, lebih baik dan lebih indah. Kegelisahan dan kerinduan ini jugalah yang menerpa Ibu Teresa dari Kalkuta sebagaimana dipaparkannya dalam buku Mother Teresa: Come Be My Light, ”Kesepian dan kekosongan yang demikian besar menyelimuti saya, sampai saya membelalakkan mata tapi tak melihat, memasang telinga tapi tak mendengar, menggerakkan lidah dalam doa tapi tak bicara...” (Sindhunata, Malam Gelap di Kalkuta, majalah Basis Jan-Feb 2008). Toh Ibu Teresa tak pernah berhenti menyapa sesamanya yang miskin dan terlupakan, mengembalikan mereka kepada martabatnya sebagai ciptaan yang mulia.

Dalam kegelisahan dan kerinduan saat memperjuangkan kehadiran Kerajaan Allah, Yesus berkata kepada kita, ”Berbahagialah engkau, sebab besarlah ganjaranmu di surga,” (bdk. Mat 5:1-12).*

JANDA DARI SARFAT & SITUASI HIDUP KELUARGA KITA

Begitu banyak janda di Sarfat, tapi Tuhan mengutus Elia kepada janda yang satu itu..

Alkisah, Tuhan mengutus Elia ke Sarfat; di sana ada seorang janda yang akan memberi ia makan. Ternyata, janda itu begitu miskin sehingga ia hanya punya segenggam tepung dan sedikit minyak di buli-bulinya. Elia meneguhkan hati janda itu, sebab Tuhan sendiri yang menginginkan agar janda itulah yang memberinya makan. Janda miskin itu menuruti saja kata-kata Elia. Ia menghabiskan semua tepung dan minyak yang dipunyainya. Tuhan pun berbelas kasih; Ia memenuhi tempayan & buli-buli janda itu, hingga ia tak pernah kekurangan tepung dan minyak lagi...

Dalam hidup berkeluarga, semua cinta dan harapan dalam diri kita ibarat tepung dan minyak dalam tempayan dan buli-buli itu. Awalnya semua begitu melimpah, sehingga kita selalu bisa membuat roti dan menjadikannya santapan bersama. Seiring perjalanan waktu, tepung dan minyak itu semakin sedikit dan menjelang habis. Kita merasa selalu memberi, dituntut, diminta... kita merasa telah memberikan semua yang kita miliki tanpa pernah merasa mendapatkan sesuatu atau diisi kembali. Pada satu titik, kita menyadari bahwa kita tak punya cinta dan harapan yang cukup lagi untuk dibagikan; bahkan rasanya untuk diri sendiri pun tak cukup!

Namun lihatlah janda di Sarfat itu. Dalam kepercayaannya yang besar kepada Allah, ia menyerahkan milik terakhirnya... dan Allah memberinya kelimpahan. Ia tak pernah kekurangan lagi...

Barangkali, sulit bagi kita untuk setia dan bertahan mencinta sampai akhir. Barangkali kita merasa kosong seperti tempayan dan buli-buli itu. Akan tetapi, jika kita rela dan setia, mau menyerahkan semua yang kita punya, bahkan yang terakhir sekalipun, Allah akan mengisi kembali tempayan dan buli-buli itu. Kita pun dapat terus-menerus membuat roti, yang mengenyangkan dan menjadi sumber kehidupan bagi orang-orang di sekitar kita.

Keluarga kita, komunitas basis kita. Jangan biarkan tempayan dan buli-buli di dalamnya menjadi kosong!*

Oktober 29, 2008

BERBAHAGIALAH!

Kita seringkali merasa iba melihat orang-orang yang miskin dan kekurangan. Bila dibandingkan dengan kita, kondisi mereka sangat memprihatinkan. Mereka tak cukup makan & tak punya persediaan makanan, tak cukup uang & tak punya tabungan, tak punya pekerjaan yang memberikan jaminan penghasilan, tinggal di rumah yang tak layak huni, pendidikannya tak mencukupi... pendek kata, kualitas hidup mereka sangat rendah. Tak hanya itu; kemiskinan selalu menjadi akar bagi dosa-dosa, sehingga kualitas hidup iman mereka yang miskin pun sungguh terancam.

Orang miskin selalu ada dalam hati Tuhan, karena hanya dalam kemiskinan orang dapat berharap akan kemurahan Tuhan (bdk. 2 Yak 2,5). Bagaimana dengan kita, yang kualitas hidupnya dapat dikatakan ’baik’ ini? Apakah kualitas iman kita pun baik? Apakah kita pun selalu ada dalam hati Tuhan?

Belum tentu. Ketika makanan berlimpah di sekitar kita, kita jadi lupa bahwa sebagian penduduk dunia ini berada dalam kelaparan. Ketika punya pekerjaan yang tetap dan uang bertumpuk di tabungan, kita merasa hidup kita sudah terjamin untuk sekian lama tapi lupa pada jaminan hidup yang kekal. Rumah yang berfasilitas bagus membuat kita nyaman dan tak mau keluar untuk menjumpai sesama. Pendidikan tinggi justru seringkali membuat kita arogan dan merasa paling tahu cara mengelola dunia.

Bukan hanya kemiskinan; kecukupan atau kekayaan pun dapat menjadi akar bagi dosa. Kualitas iman kita pun terancam. Kita memang berkecukupan atau kaya, namun hidup iman kita sungguh-sungguh miskin di hadapan Allah.

Barangkali kemiskinan iman yang kita punya itu ibarat segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli milik seorang janda di Sarfat. Yang ada hanya sedikit, tapi janda itu menyerahkan semuanya kepada Elia, sehingga Tuhan pun membuat tempayan dan buli-buli itu selalu penuh terisi kembali (lihat 1 Raja-raja 17,12-14).

Sama seperti janda miskin itu mendapat kemurahan Allah, kita pun akan memperoleh kemurahan yang sama. Tentu saja, terlebih dulu kita harus menyadari segenggam tepung dan sedikit minyak dalam hidup iman kita.*

AIR MATA SEORANG PENCERITA

Alkisah, pada suatu masa, hiduplah seorang pencerita. Ia selalu mengisahkan cerita-cerita yang indah: tentang alam semesta, tentang bulan dan bintang, tentang samudera, dan tentang kelahiran dunia. Ia bercerita tentang manusia pertama, tentang sebuah taman, tentang beraneka ciptaan yang ada di sana. Ia juga bercerita tentang cinta, tentang damai, tentang dosa dan pengampunan, tentang pengorbanan, tentang roti dan anggur yang dicurahkan, serta tentang penebusan.

Awalnya, orang-orang tertarik mendengarkan si pencerita itu. Mereka duduk di sekitarnya, bahkan mengikutinya berjalan dari desa ke desa. Pencerita itu tak punya keluarga ataupun rumah; keluarga dan rumahnya adalah semua yang ditemuinya dalam perjalanan hidupnya.

Lama-kelamaan, jumlah pendengarnya semakin berkurang, hingga akhirnya tinggal sejumlah anak-anak saja. Pada suatu hari, si pencerita itu duduk di atas sebuah batu besar dan melihat ke sekelilingnya. “Anak-anak, ke manakah orang-orang yang lain? Tidakkah mereka ingin mendengarkanku lagi?”

”Tidak, Tuan. Mereka lebih suka mendengarkan para pencerita yang lain.”

”Pencerita yang lain?”

”Ya, Tuan. Pencerita itu kabarnya hebat sekali. Ia bercerita tentang pertikaian, peperangan, dan tentang permusuhan. Ia bercerita tentang kebesaran, kekuasaan, kejayaan dan tentang semua keinginan manusia.”

Pencerita itu meneteskan air mata. ”Mengapa orang lebih tertarik pada kematian daripada kehidupan?”*

TENTANG PERJALANAN

Setiap orang punya perjalanannya sendiri untuk ditempuh.

Barangkali dalam perjalanan itu ia dapat berpapasan dengan orang lain, atau bersimpangan jalan. Mungkin ada begitu banyak jalan lain, rute lain, arah lain yang ia jumpai... tapi ia mempunyai perjalanannya sendiri.

Alangkah indahnya jika kita masih dapat mengingat bisikan ini, ketika nafas kehidupan pertama kali berembus di dalam hidup kita, ”Engkau diciptakan untuk suatu tujuan.”

Ingatan itu, bisikan yang halus itu... Ia menjadi kekuatan di dalam diri bukan karena asalnya, melainkan karena disahuti.

SERIBU BUKU & SEPOTONG CINTA

Orang boleh membaca seribu buku, tapi jika kehidupan tak mengatakan apa-apa padanya, apalah gunanya?

Demikian pula halnya dengan Kitab Suci atau perjalanan iman kita. Apabila kita mengenal Allah sebatas kisah-kisah-Nya di Kitab Suci, sebatas romantisme dalam doa-doa dan ibadat kita, apalah gunanya? Mengasihi Dia dengan segenap hati, dengan segenap pengertian, dan dengan segenap kekuatan serta mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri, jauh lebih utama daripada semua korban bakar dan persembahan (Mrk 12, 33).

Allah tidak menolak dicintai; Ia bahkan menunjukkan cara untuk mencintai Dia, yakni dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan kita. Inilah cinta yang penuh totalitas itu. Allah juga minta agar kita mencintai sesama kita, karena cinta kepada Allah berarti juga mencintai semua yang dilakukan-Nya. Secara konkret, mencintai sesama itu berarti memberi makan yang lapar, memberi minum yang haus, memberikan tumpangan pada orang asing, mengenakan pakaian kepada yang telanjang, merawat yang sakit dan menjenguk yang ada di dalam penjara.

Inilah Allah yang harus ditemukan di antara baris-baris Kitab Suci, di dalam nyanyian dan di antara lantunan doa. Sebagaimana kita memandang cermin; bayangan yang dipantulkan olehnya memang indah dan menarik, tapi kesejatian adalah milik dia yang berdiri di depan cermin.*

CAKRAWALA DAN PENCAPAIAN KITA

”Hanya orang bodoh yang merasa mampu menggapai cakrawala,” kata seseorang.

Aku lantas terdiam mematung, seraya mengarahkan pandangan ke garis langit itu berada. Ya, tentu saja, tak akan ada yang bisa mencapai cakrawala. Setiap kali kita sampai di satu titik, cakrawala selalu ada di titik lain di hadapan kita.

”Kecuali jika kita yakin bahwa cakrawala pernah ada di sini, di titik kita berdiri saat ini,” seseorang itu berkata lagi.

Memperjuangkan situasi Kerajaan Allah dalam hidup keseharian kita pun ibarat mengejar cakrawala; begitu jauh dan sulit digapai. Barangkali karena realitas Ilahi selalu jauh melampaui realitas manusiawi. Inilah yang pernah disampaikan seorang anak kecil kepada St. Agustinus, ”Dapatkah Tuan menampung samudera di dalam batok kelapa, lalu menuangkannya ke cekungan pasir ini?”

Melelahkan, menyakitkan, merupakan perjalanan yang terus-menerus, bahkan seringkali tampak sebagai sesuatu yang mustahil sehingga menyurutkan semangat. Itulah gambaran perjalanan mengejar cakrawala.

Tak heran jika banyak yang memilih untuk berhenti. Tapi ada juga yang tetap berlari sambil berkata begini, ”Bagaimanapun, aku telah sampai di satu titik ini. Dulunya, titik ini adalah cakrawala yang pernah kulihat dari kejauhan. Aku telah mencapainya, dan kini aku akan mencapai cakrawala yang berikutnya.”

Kerajaan Allah itu ada di depan sana sebagai mimpi yang indah, namun juga sekaligus ada di sini, sekarang ini, untuk diwujudkan sebagai sebuah kenyataan.

Dan seseorang yang telah menggapai mimpinya, hanya perlu bersiap untuk mimpi yang selanjutnya.*

JALAN TENGAH

Centang-perenang kehidupan sehari-hari, seringkali membawa kita pada suatu persimpangan. Kita dihadapkan pada pilihan-pilihan, juga pertentangan-pertentangan yang memaksa kita untuk berpihak. Kita pun bertanya: mana yang aman, yang menantang, atau yang membahayakan?

Memilih itu tidak mudah, apalagi jika kita terpaku pada apa yang ada. Padahal, tanpa kita sadari, memilih itu barangkali berarti membuat suatu alternatif yang lain sama sekali.

Merefleksikan perjalanan Yesus, kita menyadari bahwa Ia tak pernah terjebak oleh pertentangan di antara para umat-Nya. Semua orang dicintai oleh-Nya; sebagai Gembala Baik, ia tak mau meninggalkan satu pun domba-Nya.

Kebijaksanaan Yesus melintasi berbagai sekat dan kepentingan, sebab Ia tak memilih kiri atau kanan, melainkan menggariskan satu jalan baru menuju keselamatan. Semua orang dipanggil untuk melintasi jalan itu, jalan kasih, jalan penebusan. Mereka yang tak mau serta tentu harus menanggung sendiri akibatnya, sebab semua jalan pasti mengantar kita pada suatu tujuan.

Meneladani Yesus sekarang ini, berarti menjawab panggilan untuk kembali menyusuri jalan kasih itu: mempertahankan nurani, memperteguh persaudaraan, membela yang lemah, memampukan yang berkekurangan, menjadi sahabat bagi yang berkelimpahan, memperjuangkan keadilan, sehingga kita mampu membuat perubahan.

Barangkali yang kita buat hanyalah sebuah jalan setapak kecil di antara ilalang. Tapi bagaimanapun, itu adalah sebuah jalan juga.

Dan barangkali, pada suatu saat nanti, akan makin banyak orang yang berkata seperti seorang penyair ini, ”Di tengah hutan jalan setapak terbelah dua. Aku memilih jalan yang jarang dilalui orang, dan pilihan itu telah mengubah hidupku.” (Robert Frost, Road Not Taken)*

SEKOLAH KEHIDUPAN

Seorang anak 15 tahun berdiri dengan wajah menantang saat diseret ke depan kepala sekolah. Ia ketahuan memukul temannya hingga cedera. Anak itu memang sering berbuat kenakalan. Guru-guru telah memberinya berbagai hukuman, tapi ia tak pernah jera.

Di depan kepala sekolah, anak itu berdiri dengan wajah menantang. Barangkali, yang ada di benaknya adalah, ”Hukuman apa lagi yang akan kuterima?” Tapi kepala sekolah itu hanya memandangnya beberapa saat lamanya, lalu berdiri dan memeluk anak itu. ”Nak, engkau sungguh berharga; hidupmu pun sungguh berharga. Mengapa kau sia-siakan hidupmu dengan semua kenakalan itu?” Kepala sekolah itu menangis. Anak itu pun menangis.

Di dalam hidup ini, dengan segala kerendahan hati yang boleh kita punya, kita tak ubahnya seorang anak sekolah yang terus belajar dan terus belajar. ”Semua orang adalah guru, semua tempat adalah sekolah,” kata seorang pemikir.

Jika hal-hal ini: saluran air mampet, sungai kecil di dekat rumah kita tercemar dan penuh sampah, orang-orang duduk menganggur tak punya pekerjaan, bayi menangis karena perutnya lapar, seseorang terpaksa mati karena tak punya biaya berobat, petani dan nelayan yang selalu miskin, barang-barang impor yang menyesaki supermarket, resto waralaba asing yang mengubah pola makan kita... tak membuat kita belajar dan menjadi ’paham’, tak membuat kita mengerti dan mau bergerak untuk melakukan perubahan, boleh dibilang kita telah menjadi murid yang gagal dari sekolah kehidupan.

Pada saat yang sama, mungkin ’kepala sekolah’ kita sedang menangis; di tangannya tertumpuk berkas-berkas yang berisikan nama-nama kita. Ia hanya ingin kita tinggal dan belajar...*

gembala kecil

September 14, 2008

PERJUMPAAN KITA

Sabtu, 31 Mei 2008

Merenungkan perjumpaan Maria dan Elisabet adalah merenungi sebuah kisah yang indah. Ini adalah cerita tentang dua perempuan yang berbahagia, karena mereka mengizinkan Tuhan berkarya di dalam diri dan hidup mereka.

Akan menjadi sesuatu yang indah juga, ketika kita mampu menjadi sebagaimana Maria dan Elisabet; perjumpaan kita adalah perjumpaan orang-orang yang mengimani Allah dalam hidup keseharian. Kita dipanggil untuk mengusahakan hidup keseharian itu dalam terang iman.

Dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (1965) dinyatakan bahwa: kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka. Sebab persekutuan mereka terdiri dari orang-orang, yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya (GS, 1).

Itulah panggilan kita: menjadi Gereja yang terlibat. Bagaimana mungkin kita dapat mengarah kepada Kerajaan Bapa, jika kita sama sekali tidak terlibat di dalam kehidupan bersama orang-orang yang ada di sekitar kita?

Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis! (Roma 12, 15). Hanya dengan terlibat secara konkret, kita akan menjadi Gereja yang nyambung dan ngefek (= relevan & signifikan). *

*Lihat: Eka Darmaputra, PhD. MEMBERDAYAKAN KOMUNITAS BASIS (Dari Perspektif dan Pengalaman Kristen Protestan). Makalah diajukan pada Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2000, Caringin-Bogor, 1-5 November 2000. Yang dimaksud insignifikansi internal adalah keberadaan Gereja yang kian tidak terasakan makna fungsionalnya dalam kehidupan nyata warganya. Yang dimaksud dengan irelevansi eksternal alias insignifikansi sosial adalah ketika kehidupan serta dinamika internal Gereja terisolasi, teralienasi, atau seolah-olah tidak mempunyai sangkut-paut sedikit pun dengan dinamika sosial di lingkungan tempat mereka berada.

Tentang Memandang

Jumat, 30 Mei 2008

Beriman itu bukan perkara gampang. Seseorang tidak semerta-merta dikatakan sungguh beriman hanya karena ia rajin ke gereja, atau merupakan seorang pendoa yang baik. Bahkan, Karl Marx pun pernah berkata bahwa iman yang sejati adalah iman yang pernah berbenturan dengan realitas sosial.

Iman memang bukan pemberian, atau warisan. Iman tumbuh dari pergulatan. Beriman menjadi bermakna jika seseorang pernah mengalami dan melampaui krisis. Tanpa mengalaminya, ia barangkali tak akan mengerti tentang keragu-raguan, sekaligus tak akan paham tentang kepercayaan yang sesungguhnya.

Perjalanan hidup ini memungkinkan kita untuk menemui apapun. Mungkin hidup pernah terasa begitu berat sehingga kita nyaris berhenti berjalan atau memutuskan untuk berbalik arah. Tapi Yesus tak membiarkan kita sendirian; Ia memanggil nama kita dan meminta kita menghampiri diri-Nya, "Datanglah pada-Ku kamu yang letih lesu dan berbeban berat; Aku akan memberikan kelegaan padamu!" (bdk. Mat 11, 28).

Mereka yang memandang Yesus pun akan menemukan harapan, sebab Ia menjanjikan kehidupan.

MEMANDANG HIDUP MELALUI MATA YESUS

Kamis, 29 Mei 2008

Banyak cara dapat dilakukan untuk memandang dunia, karena kita semua dianugerahi sepasang mata.

Pengemis di tepi jalan itu misalnya, atau anak-anak yang mengamen di jendela mobil kita. Kita bisa melihat betapa kurus tubuh mereka, juga betapa redup sinar wajahnya. Barangkali sebagian di antara kita lantas menangis atau menghapus air mata. Mungkin juga, sebagian lagi berpaling ke arah yang lain karena tak peduli, tak mau tahu atau masygul karena tak bisa berbuat apa-apa.

Yesus pernah menemukan pemandangan yang sama; orang-orang yang redup sinar wajahnya. Yesus tidak menangis atau memalingkan muka. Ia justru menghampiri dan menyelamatkan mereka, membebaskan mereka dari penderitaan. Bahkan Yesus pun harus menghadapi kesulitan-kesulitan-Nya sendiri; Ia menuntaskan cinta itu dengan darah-Nya di kayu salib.

Semua orang dianugerahi mata, tapi tak semua mau datang kepada Yesus untuk belajar melihat.

KEBODOHAN MANUSIA DI HADAPAN SEMESTA

Selasa, 27 Mei 2008

Betapa sempitnya pikiran manusia. Ia mengira Allah memberinya nama, padahal ia hanyalah seseorang di antara yang lainnya. Ia mengira Allah memberinya keluarga, padahal banyak orang dapat disebutnya sebagai saudara. Ia mengira Allah memberinya sebuah rumah dan sepetak halaman, padahal Allah menganugerahinya alam untuk dijaga dan dikelola.

Jika bertahan dalam ruang benaknya yang sempit itu, selamanya manusia akan gagap saat menghadapi dunia. Bukan persaudaraan yang ia kembangkan, melainkan egoisme. Bukan kesetaraan antar manusia yang ia pertahankan, melainkan manipulasi dan penindasan. Bukan kelestarian alam yang ia perjuangkan, melainkan eksploitasi besar-besaran.

Hari ini Yesus berkata kepada kita, ”Barangsiapa meninggalkan rumah, ibu, bapa, dan anak-anaknya atau ladangnya, ia akan menerima kembali seratus kali lipat,” (bdk. Mrk 10, 30). Sudah saatnya kita belajar untuk memandang dunia ini sebagai rumah bersama dan memperjuangkan hubungan-hubungan yang benar di antara semuanya. Barangkali tak mudah, namun rumah itu menjanjikan ganti seratus kali lipat untuk setiap pengorbanan yang kita buat. Kita menyebut rumah itu: Kerajaan Allah.

SEBUAH HIDUP BERNAMA CINTA

Senin, 26 Mei 2008

aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

(Sapardi Djoko Damono)

Mencintai memang tak pernah jadi perkara mudah, terutama karena kita tak bisa setengah-setengah.

Sebatang kayu akan tetap tinggal sebagai arang, jika ia menolak berdekapan lebih lama lagi dengan api. Lalu untuk apakah arang itu? Segumpal awan hanya akan tinggal sebagai mendung menggantung di langit, jika ia menolak melepaskan tetes-tetes air yang dikandungnya. Lalu mau apa awan mendung itu?

Cinta adalah keterlibatan. Sama seperti kayu yang tak mau bergumul dengan api atau awan yang tak rela luluh dalam hujan, kita pun tak akan lengkap jika menolak untuk menggenapi panggilan kita.

Visi Kerajaan Allah membuka mata dan hati kita, sehingga kita dapat melihat bahwa dunia ini tercabik-cabik dan terkoyak-koyak oleh kekerasan dan ketidakadilan. Itulah panggilan kita. Kita terpanggil untuk menyempurnakan kembali dunia itu sebagaimana ia telah diciptakan. Panggilan itu tak cukup disahuti hanya dengan kesalehan hidup, namun juga dengan bangkit bergerak dan membuat perubahan ketika Kerajaan Allah tak tampak. Kita tak hendak mencaci-maki dan menghancurkan dunia ini, melainkan menyelamatkannya (bdk. Yoh 3:17).

Menyahuti panggilan itu barangkali membuat kita tinggal jelaga atau malah hilang, tapi setidaknya kita telah menghasilkan api atau menurunkan hujan. Ini adalah cinta yang terbesar itu: menyerahkan hidup, bagi hidup yang lainnya...

SEBUAH RUANG UNTUK TUHAN

Sabtu, 24 Mei 2008

Semesta ini diciptakan Tuhan untuk kita. Masihkah kita menikmati hal-hal ini: embun pagi di atas daunan hijau, katak kecil yang baru kehilangan ekornya dan melompat-lompat dengan gembira, sebuah kepompong di dahan pohon, atau seekor burung gereja yang mengendap-endap untuk makan dari piring anjing peliharaan kita?

Masihkah kita menangis oleh hal-hal ini: seekor ikan kecil di kolam yang terjebak di antara karang dan akhirnya mati karena tubuhnya penuh luka, seekor bunglon yang terjepit pintu, benih tanaman kecil yang hanya tumbuh sebentar lalu mati, atau daun-daun tanaman yang dirobek-robek orang?

Jika kita tak lagi tersentuh oleh hal-hal kecil itu, apakah kita dapat tersentuh oleh hal-hal semacam ini: seorang tukang sampah yang menyeret sebuah gerobak berat yang penuh dengan sampah busuk dan belatung, pemulung yang mengais-ngais tumpukan barang untuk mencari yang dapat dijual, pengemis yang tak lagi malu untuk meminta-minta, atau buruh dan petani yang bekerja keras bagi pekerjaan yang tak pernah memberinya cukup uang?

Seorang bijak berkata: iman tumbuh dari hal-hal kecil. Ketika kita tak lagi mudah terpukau oleh hal-hal kecil, Tuhan pun tak akan berarti apa-apa bagi kita.

Jika Tuhan tak lagi berarti bagi kita, bagaimana mungkin kita bisa menjadi garam dan terang dunia?

SEBUAH BOLA LEMPUNG DAN SEMACAM CINTA YANG KERAS KEPALA

Jumat, 23 Mei 2008

Seorang pembuat tembikar, dengan sangat sabar, membentuk sebuah bola lempung menjadi bejana. Ia dengan berhati-hati membuat bentuk kasar bejana itu, lalu pelan-pelan menghaluskannya. Jika dirasanya ada yang keliru, pembuat tembikar itu tak segan-segan mengulangi proses dari awal. Tak ada yang salah dengan hal itu; ia hanya ingin tembikarnya sempurna.

Seandainya perjalanan hidup kita ini diibaratkan perjalanan sebuah tembikar, telah begitu banyak tangan yang berusaha membentuk & memperhalus kita supaya menjadi sempurna. Maukah kita, relakah kita untuk dibentuk oleh tangan-tangan itu?

Kerapkali tidak. Kita lebih sering melakukan tawar-menawar untuk memperoleh yang kita inginkan, ketimbang mencoba memahami apapun yang harus diterima dan apapun yang harus terjadi. Apakah sebuah bola lempung mempunyai impiannya sendiri? Dapatkah sebuah bola lempung bermimpi tentang bejana? Kalaupun ya, apakah ia dapat menggapai impian itu, tanpa mau menyerahkan dirinya kepada sang pembuat tembikar?

Sebuah bola lempung akan tetap tinggal sebagai bola lempung, jika ia terlalu keras dan tak bisa dibentuk. Ia tak akan menjadi apa-apa pada akhirnya.

Tentang sang pembuat tembikar sendiri, lihatlah dia. Dengan semacam cinta yang keras kepala, ia tetap setia bergulat dengan bola lempung di tangannya. Dengan segenap kasih sayangnya, ia berbisik lembut kepada bola lempungnya, ”Rancanganku, bukanlah rancanganmu,” (bdk. Yesaya 55:8).

BUTIRAN GARAM YANG MERINDUKAN LAUTAN

Kamis, 22 Mei 2008

Jika garam menjadi hambar, dengan cara apakah kita mengasinkannya? (Mrk 9,50). Garam yang hambar hanya tinggal semata-mata butiran halus, yang kemudian akan hilang dalam butir-butir pasir di tepi laut.

Betapa sedihnya Allah jika kita serupa garam itu; hilang di tengah dunia. Kita larut, namun tak memberikan apapun kecuali diri yang bukan apa-apa. Doa St. Fransiskus Asisi pun hanya tinggal gema di ruang hati yang hampa: Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai... bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang...

Strategi pastoral Keuskupan Agung Jakarta ialah Gembala Baik. Setiap orang dipanggil menjadi gembala satu sama lain. Maukah kita menjawab panggilan ini, seraya dengan segala kerendahan hati, menyerahkan diri pada kerahiman Allah untuk terus dibentuk dan disempurnakan? Pada akhirnya, kerahiman itu akan melahirkan penebusan.

Sebagai Gembala Baik, kita semua adalah butir-butir garam yang dilontarkan ke darat oleh lautan. Garam itu tak boleh menjadi hambar, sebab panggilannya adalah mengasinkan. Jika garam menjadi hambar, bagaimanakah kita dapat mengasinkannya? Apakah garam mempunyai ingatan, yang akan menuntunnya kembali ke dalam lautan? Apakah garam menyimpan kekuatan, sehingga ia tak hanya akan terbenam di dalam pasir yang panas dan gersang?

TENTANG KEGEMBIRAAN KITA

Rabu, 21 Mei 2008

Seseorang yang baru pulang dari ziarah religius di luar negeri, hampir tak dapat berbagi cerita tentang perjalanannya. Ia berkata, ”Kami begitu sibuk mengejar bus dan menepati jadwal, sehingga tak dapat mempunyai kesan apapun dari semua tempat yang kami kunjungi!”

Sebelum memulai sebuah perjalanan atau petualangan, biasanya kita terlebih dulu membuat rencana. Seringkali, kita begitu terpaku pada rencana itu sehingga lupa untuk menikmati perjalanan itu sendiri. Demikian pula halnya dengan hidup; kita terlalu sibuk dengan pikiran kita sehingga menutup diri pada semua hal yang tak terpikirkan sebelumnya.

Tak heran jika kita mudah sekali kecil hati dan kehilangan kegembiraan. Seseorang yang berpendidikan tinggi terkejut ketika tahu bahwa kebijaksanaan bisa datang dari seorang yang sama sekali tak pernah bersekolah. Orang yang bertahun-tahun belajar agama dan Kitab Suci belum tentu bisa melakukan sharing iman. Ia menjadi masygul ketika menyadari bahwa iman itu terutama adalah pengalaman, bukannya semata-mata pengetahuan.

Seorang kaya pun pada akhirnya mengerti, bahwa si miskin-lah yang belajar banyak tentang kelimpahan. Dalam ketiadaannya, si miskin sungguh-sungguh menyerahkan diri pada belas kasih Allah, pemeliharaan Ilahi-Nya, dan belas kasih orang-orang yang memberinya cinta tanpa pamrih. Bukankah itu adalah hal yang paling berharga, yang tak dapat dibeli dengan uang sebanyak apapun?

Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap (Yakobus 4, 14). Uap itu mungkin tak pernah mempertanyakan tentang bagaimana ia dilahirkan dan bagaimana ia menghilang. Setidaknya, ia pernah ada, sepenuh-penuhnya.

TUHAN DI ANTARA KEGELISAHAN KITA

Selasa, 20 Mei 2008

Bila Kerajaan Allah adalah sebuah visi, langkah apa saja yang telah kita ayunkan untuk mencapainya?

Seringkali, langkah-langkah itu belum cukup. Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini mengisahkan bagaimana orang kerap bertengkar dan melupakan visi mereka. Jika dibandingkan dengan visi itu, pertengkaran mereka sungguh sepele; acapkali timbul dari egoisme dan kepentingan diri semata.

Ketika bangsa kita merayakan Hari Kebangkitan Nasional saat ini, kita dapat menjadikannya kesempatan yang baik untuk bertanya: seperti apakah perjalanan kita dalam menggapai visi Kerajaan Allah itu? Sudahkah situasi Kerajaan Allah itu tampak dan mewarnai hari-hari kita?

Agaknya belum. Orang sering berebut pengaruh dan kekuasaan, tapi lupa bahwa kekuasaan menjadi bernilai jika digunakan untuk menggapai kebaikan bersama. Orang sering terpacu untuk meraih keuntungan dan kekayaan, tapi lupa bahwa kesejahteraan bersama-lah yang seharusnya diperjuangkan. Banyak yang telah dilakukan, tapi yang telah dilakukan itu tak lagi mengacu pada sebuah visi yang bernama Kerajaan Allah. Rm. Y.B. Mangunwijaya (alm.) pernah menulis: ...betapa kekanak-kanakan kebanyakan cita-cita dan gerak kita, yang masih setingkat anak monyet berebutan kerupuk. (Manusia Pascamodern, Semesta dan Tuhan, Kanisius, 1999).

Pada titik kesadaran ini, menyatukan diri dengan arah pastoral Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), kita sungguh mau memperjuangkan hubungan-hubungan yang benar antara Allah dan manusia, manusia dan manusia, serta alam dan manusia. Sebagai entry point, KAJ memilih persoalan pekerja dan sampah. Betapa indahnya dan betapa dekatnya Kerajaan Allah itu, jika persoalan pekerja bukan hanya tentang biaya produksi dan margin keuntungan, melainkan sungguh-sungguh suatu pembelaan terhadap martabat manusia. Betapa indah dan dekatnya Kerajaan Allah itu, jika persoalan sampah bukan sekadar apa yang kita hasilkan dan apa yang kita buang, tetapi suatu pemahaman yang menyeluruh tentang bagaimana lingkungan alam ini, rumah bersama ini, akan kita kelola.

Seseorang yang punya visi tak hidup hanya untuk hari ini; ia hidup untuk masa depan, bahkan juga untuk masa ketika ia tak lagi dikenang...

Seutas Dawai

Senin, 19 Mei 2008

Seorang pemain biola membutuhkan waktu untuk menyelaraskan nada dawai-dawai biolanya, sebelum memainkan musik yang indah. Bila seutas dawai tak selaras bunyinya, lagu seindah apapun tak akan merdu terdengar. Ada yang sumbang.

Kehidupan ini laksana lagu yang indah itu. Kita adalah dawai-dawai sebuah biola; manusia, binatang, tumbuhan, semua ciptaan. Bila tak mampu menyelaraskan satu sama lain, kehidupan kita akan terdengar sumbang. Kekerasan, ketidakadilan, adalah dawai-dawai yang tak selaras itu. Cinta diri atau egoisme, ketakpedulian, adalah yang lainnya. Lagu yang sumbang pun terdengar: kemiskinan, kelaparan, kebodohan, kerusakan alam bahkan kematian.

Betapa sedihnya sang pemain biola, bila partitur di tangan, musik yang ditulisnya, tak dapat dimainkan dengan baik oleh dawai-dawai biolanya. Ia, dengan sabar dan setia, akan terus mencoba untuk menemukan nada yang tepat bagi setiap dawai.

Itulah saat, ketika Allah memanggil-manggil kita dengan bisikan-Nya yang halus, menyentuh kita dengan tangan-Nya yang lembut. Seutas dawai yang rindu memainkan lagu akan menyerahkan diri pada tangan sang pemain biola, rela untuk dibentuk dan disempurnakan. Seutas dawai tak akan mampu memainkan lagu sendirian; panggilannya adalah bersama dawai-dawai lain, menyajikan sebuah musik yang menakjubkan.

Tak heran jika seorang penyair berkata: hidup adalah doa yang panjang. Artinya, keseluruhan hidup merupakan pergulatan yang terus-menerus, antara Sang Pencipta dengan ciptaan-Nya, antara Sang Pengasih dengan yang dikasihi, sehingga mereka menjadi satu simfoni yang indah...

PERJALANAN YANG MENGUDUSKAN

Sabtu, 17 Mei 2008

Dalam Injil hari ini, dikisahkan Yesus yang menampakkan kemuliaan-Nya di atas sebuah gunung. Ia tampak bercahaya dan bersama-Nya adalah Musa dan Elia. Kemudian awan datang dan dari awan itu terdengar suara, “Inilah Anak-Ku terkasih, dengarkanlah Dia.” (lih. Mrk 9, 2-4.7)

Para murid Yesus yang menyertai gurunya—Petrus, Yakobus dan Yohanes—merasa takut dan tidak tahu apa yang harus dikatakan (lih. Mrk 9, 6). Ini dapat dipahami; guru mereka belum pernah tampak begitu mulia, meskipun Ia telah melakukan banyak hal yang menakjubkan (mengajar, menyembuhkan, meredakan angin ribut, mengusir roh jahat, membangkitkan orang mati, memberi makan orang banyak). Di atas gunung itulah para murid melihat jati diri guru mereka yang sesungguhnya.

Manusia, pada awal penciptaannya pun adalah mulia; ia diciptakan seturut gambar dan rupa Allah (lih. Kej 1, 26-27). Akan tetapi, dalam perjalanan hidupnya, manusia kerap jatuh di dalam dosa. Ia seringkali melakukan perbuatan-perbuatan yang menyulitkan sesamanya untuk menemukan Allah di dalam dirinya. Dalam Kitab Suci kita membaca: dari mulut yang sama keluar kata-kata terima kasih dan juga kata-kata kutukan. Seharusnya tidak demikian! Apakah ada mata air yang memancarkan air tawar dan air pahit dari sumber yang sama? (Yak 3, 10-11).

Dalam setiap langkah, sekaligus kita temukan dua hal ini: kemurahan Tuhan dan kelemahan manusia. Tuhan telah begitu murah hati; menciptakan kita serta menganugerahi hidup. Seringkali, kita tidak dapat menjalani hidup itu dengan sebaik mungkin dan seturut kehendak-Nya. Namun toh selalu ada maaf kendati sesal tak sampai terucap.

Inilah sebuah perjalanan yang bernama hidup itu; semacam kesadaran yang sungguh, bahwa keberadaan kita semua di dunia ini pada akhirnya adalah untuk saling menyempurnakan. Pencuri, pemungut cukai, pelacur dan semua yang dinistakan orang... kemiskinan, orang-orang yang tak punya pekerjaan, mereka yang sakit dan lemah, tertindas dan teraniaya... kekerasan dan ketidakadilan... itu semua adalah panggilan bagi kita. Dengan mengembalikan semua orang kepada martabatnya, yakni ciptaan yang mulia, kita pun menggenapi tugas perutusan kita: mengelola dunia untuk kesejahteraan semua orang, menjadikan dunia sebagai rumah bagi seluruh ciptaan...

Betapa indah, betapa merindukannya... bahwa dalam cinta dan persaudaraan, kita akan bersama-sama menggapai kekudusan.

CINTA YANG MENGHANGUSKAN

Jumat, 16 Mei 2008

Seorang bijak pernah berkata: seekor itik tidak dapat belajar berenang hanya dengan membayangkannya saja.

Kita pun tak akan mengerti lautan hanya dengan mengoleksi gambar-gambar tentang laut. Atau, memahami hutan melalui buku-buku. Pengetahuan seringkali tidak cukup; karena itulah, pengalaman akan sangat memperkaya.

Demikian pula halnya dengan Yesus. Seseorang tak akan dapat sungguh-sungguh mengimani Yesus hanya dengan membaca Kitab Suci, rajin ke gereja atau tekun berdoa saja. Pengertiannya akan bertambah dalam, jika ia mau menjumpai sesamanya, menyatukan diri dengan kegembiraan, duka dan harapan mereka; menyadari bahwa Yesus sungguh hidup, bukan sekadar tokoh, sejarah atau kenangan.

Seseorang pernah bertanya: apa persamaan antara penyair dan politikus? Jawabannya adalah: keduanya sama-sama tidak mampu menyembuhkan luka. Penyair hanya akan mengelus-elus luka itu; membicarakan betapa parah dan sakitnya, sedangkan si politikus justru akan mengorek-ngorek luka itu hingga makin parah dan sakitnya makin terasa.

Hidup yang sesungguhnya bukanlah puisi atau orasi... bukan kata-kata, melainkan keterlibatan yang penuh di dalam setiap pergulatannya. Begitulah juga dengan iman; jika tidak dinyatakan dalam perbuatan, iman itu tidak akan ada gunanya... (bdk. Yakobus 2, 17).

Juli 05, 2008

Mengalami Yesus

15 Mei 2008

Dalam sebuah pertemuan lingkungan, seseorang menolak menjadi Seksi Liturgi & Pewartaan. ”Saya tidak bisa berdoa, tidak mengerti Kitab Suci & tidak punya pengetahuan agama.”

Alasan yang klasik, bukan? Kita sering menjumpainya di mana-mana. Akan tetapi, pernahkah kita, sekali saja, bertanya kepada diri kita sendiri: jangan-jangan, akulah yang menyebabkan orang sampai berkata seperti itu?

Tanpa kita sadari, kita lebih suka mendengarkan pastor yang pandai berkhotbah, pemandu Kitab Suci yang atraktif, penulis yang piawai... sekaligus mengabaikan orang-orang yang ’bukan siapa-siapa’ di sekitar kita. Seolah-olah, Yesus hanya bisa diwartakan oleh mereka yang punya kemampuan lebih. Padahal, Yesus dialami dalam hidup semua orang, juga mereka yang tak mampu bicara, tak pandai menulis, bahkan yang tak pernah ditoleh orang...

Kita hanya tergerak oleh khotbah yang berapi-api, orang-orang berpenampilan menarik, dan tulisan yang sensasional. Kita tak pernah tersentuh oleh kemiskinan, orang-orang yang lapar... semua orang yang menderita dan dilumpuhkan oleh penderitaan. Kita tak mampu melihat & mendengarkan mereka, karena dibutuhkan lebih dari sekadar mata dan telinga untuknya; kita butuh hati yang terarah pada dunia.

Pertanyaan Yesus hari ini kepada kita, ”Siapakah Aku ini menurut kamu?” (bdk. Markus 8, 29), alangkah indahnya jika dapat kita jawab dengan, ”Tuhan, Engkau adalah sesamaku yang lapar, haus, dan terasing; yang telanjang, sakit dan terpenjara.” (bdk. Matius 25, 34-36).

Inilah Hidupku!

14 Mei 2008

Hari ini, Yesus berkata kepada kita, “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yohanes 15, 12-13).

Apakah kasih itu? Kita seringkali terlalu mudah menyederhanakan ‘kasih’ itu. Gampang sekali berkata: aku mengasihi dia, aku menyayangi dia... aku mengasihi engkau, aku sayang padamu! Apakah perasaan kasih sungguh-sungguh telah menjadi nafas bagi seluruh hidup kita? Apakah baru sebatas kata-kata atau luapan emosi semata?

Bagi Yesus, kasih berarti memberikan seluruh hidup kepada sahabat-sahabat-Nya. Yesus tidak tinggal di dalam rumah untuk menulis surat-surat cinta. Ia justru keluar dari rumah itu untuk menjumpai semua orang, menyapa mereka, memberikan cinta-Nya. Ia berbagi cerita, menghibur, membela, mengampuni, menguatkan, menyembuhkan, membebaskan, berbagi makanan, mengembalikan harapan, bahkan membangkitkan orang dari kematian.
Alangkah bahagianya kalau kita pun dapat keluar dari rumah-diri kita sendiri, berjalan menjumpai dunia, memandang semua orang serta alam ciptaan dan berkata, ”Inilah hidupku!”

Juni 18, 2008

Love & Decision

08 Oktober 2007

Sebagaimana gelombang tak dapat hadir dengan sendirinya
tetapi harus selalu terkait dengan gejolak lautan
begitu pula kita tidak pernah dapat mengalami hidup sendirian
tanpa selalu ikut merasakan pengalaman hidup di sekitar kita.
(Albert Schweitzer)

”Bahkan memberi pun dapat dilakukan tanpa cinta,” begitu kata seseorang yang memperhatikan anaknya saat memberi sedekah kepada seorang pengemis. Ya. Anaknya itu masih berusia tiga tahun. Apa yang ia mengerti tentang kemiskinan atau ketidakadilan sistem perekonomian? Anak itu bahkan belum mengerti arti uang! Ia memberikan sedekah karena ibu meminta ia melakukannya dan ia menurut, itu saja.

Bagi kita yang telah mengerti banyak hal, memberikan sesuatu kepada orang lain yang berkekurangan atau membutuhkan, semestinya tidak menjadi hal yang sederhana. Di aula terbuka Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, tempat anak-anak muda nongkrong berdiskusi atau sekadar melepaskan lelah, terpampang sebuah poster besar dengan tulisan: LOVE IS A DECISION.

Ya. Cinta seharusnya adalah pilihan; sesuatu yang dilakukan karena kita dengan sadar memilih untuk melakukannya. Itulah yang juga diperbuat oleh seorang Samaria dalam Injil hari ini. Selagi dalam perjalanan, ia menemukan seseorang yang telah dirampok dan dipukuli hingga sekarat. Orang Samaria dibenci oleh orang-orang Yahudi karena mereka dianggap sebagai orang kafir. Stigma dan perlakuan itu bukah hal yang mudah untuk diterima, yang sebetulnya dapat menjadi alasan yang wajar bagi si orang Samaria untuk berjarak dengan siapapun juga. Tapi, apa yang dilakukan oleh orang Samaria itu? Ia malahan mengabaikan sejenak perjalanannya untuk menolong si sakit.

Love is a decision. Sekali kita memutuskan untuk mencinta, pada saat itu juga kita menetapkan untuk melintasi apapun demi cinta kita. Tak ada lagi jarak, batas, ketakutan, rendah diri, atau apapun juga yang selalu menjadi penghalang bagi cinta. Bukankah Allah pun menjelma manusia untuk disalibkan atas dosa-dosa kita? Bahkan Allah, karena cinta-Nya yang begitu besar kepada manusia, memutuskan untuk melintasi jarak antara yang surgawi dengan yang duniawi, Allah dan manusia, Sang Pencipta dengan ciptaan-Nya, kehidupan dan kematian, kematian dan kebangkitan.

Seekor angsa tak akan dapat berenang jika hanya berteriak-teriak dari tepi kolam saja, kata orang; ia harus terjun dan merasakan ’berenang’ sebagai sebuah pengalaman dan keterlibatan. Seseorang tak akan dapat memberi dengan cinta tanpa pengalaman akan penderitaan sesamanya. Jadi, mari lintasi jarak itu dan sungguh-sungguh menjadi sesama bagi sesama kita!

Domba & Serigala

04 Oktober 2007

”Aku mengutus engkau seperti anak domba ke tengah serigala,” sabda Yesus kepada kita melalui Injil hari ini (lihat ayat 3). St. Fransiskus Assisi, yang kita kenang hari ini, juga mendapat panggilan yang sama. Ia bahkan memiliki pengalaman dengan serigala sungguhan.

Alkisah, sebagaimana dituliskan di buku Santo Fransiskus dan Binatang-binatang (Bina Media, 2006), pada suatu hari St. Fransiskus mengunjungi sebuah kota bernama Gubbio. Penduduknya dicekam ketakutan karena ada seekor serigala buas yang berkeliaran di sana . Merasa iba pada penduduk itu, St. Fransiskus pun mendatangi si serigala buas tanpa takut. Ia sungguh mempercayai perlindungan Tuhan. Saat berjumpa si serigala, St. Fransiskus berkata, “Saudaraku serigala, kau telah memberikan kekuatan yang Tuhan berikan kepadamu dengan bertindak seperti seorang pencuri dan pembunuh. Aku ingin mendamaikanmu dengan penduduk Gubbio, agar kau tidak menyerang mereka lagi dan mereka akan meaafkanmu atas segala masalah dan kesalahan yang kau buat di masa yang lalu, dan menghentikan penduduk yang mengunakan senjata dan anjing-anjing mereka untuk menyerangmu. Aku akan memastikan untuk menyediakan makanan bagimu agar kau tidak kelaparan, yang merupakan alasan mengapa kau menyerang.”

Begitulah St. Fransiskus Assisi memperdamaikan serigala buas dengan penduduk kota Gubbio. Para penduduk diminta untuk berbelas kasih pada serigala yang kelaparan dengan menyisihkan makanan, sehingga serigala buas itu tak perlu menyerang penduduk untuk mendapat makan.

Kisah serigala Gubbio merupakan bahan refleksi yang sangat menarik bagi kita. Allah menghendaki hubungan yang harmonis di antara semua makhluk ciptaan-Nya (bdk. Kejadian 1:1-31). Bahkan bagi seekor serigala buas, kehendak Allah itu pun dapat terlaksana melalui hati dan tindak-tanduk St. Fransiskus yang lemah-lembut, penuh kasih dan berani. Kita sendiri seringkali menjadi kurang sabar dan memaksa saat mewartakan Allah bagi sesama. Padahal, segala sesuatu ada waktunya sendiri! Karena itulah Yesus berpesan melalui Injil hari ini agar kita sabar, berlapang dada, ikhlas dan tetap setia menjalani perutusan kita.

Ada banyak serigala di luar sana. Pertanyaannya adalah: mampukah kita meneladan St. Fransiskus Assisi, yang hanya mengandalkan kerendahan hati, kemiskinan dan cinta untuk menyapa sesamanya, serta semata-mata bersandar pada kepercayaan akan Allah dan perlindungan-Nya?

Singkirkan Dia!

02 Oktober 2007

Apa yang biasanya kita lakukan terhadap orang yang tidak kita sukai? Secara umum, reaksi kita adalah menjauhi orang itu. Menjauhi dapat dilakukan dengan meminimalkan kesempatan untuk bertemu, sengaja menghindar, bahkan sampai memutuskan tali komunikasi. Yang lebih kompleks daripada sekadar menjauhi adalah membalas perbuatan orang itu. Kita mengambil jarak darinya, supaya dapat merencanakan sesuatu secara rahasia karena kita ingin orang itu juga merasakan penderitaan yang kita alami. Yang lebih kompleks lagi adalah mengajak orang lain untuk ikut-ikutan tidak menyukai orang itu; seolah-olah kita membutuhkan teman atau pembenaran akan perasaan tidak suka yang kita rasakan. Yang paling kejam, tentu saja, menyebarkan cerita-cerita jahat mengenai orang itu sehingga ada kemungkinan orang tersebut dikucilkan oleh lingkungannya.

Apa yang terjadi jika kita punya otoritas atau kekuasaan tertentu atas orang yang tidak kita sukai itu? Bisa saja, kita menggunakan otoritas atau kekuasaan itu untuk menyingkirkan dirinya.

Adilkah kita? Seringkali, orang memang tidak mau repot-repot merenungkan: mengapa aku tidak suka padanya? Apakah ia sungguh-sungguh orang yang menjengkelkan, ataukah sekadar egoku saja yang terusik sehingga aku bereaksi begitu keras?

Kedua murid Yesus, Yakobus dan Yohanes, sebagaimana dikisahkan dalam Injil hari ini, juga melakukan ketidakadilan itu. Ketika orang-orang Samaria menhalangi perjalanan Yesus ke Yerusalem, mereka menjadi marah dan bertanya kepada Yesus, ”Bolehkah kami menurunkan api dari langit untuk membinasakan mereka?” (lihat ayat 54). Tentu saja Yesus melarangnya. Ia justru menegaskan bahwa, ”Anak Manusia datang bukan untuk membinasakan orang, melainkan menyelamatkannya.” (lihat ayat 55).

Sesungguhnya, mudah saja bagi Yesus untuk mewujudkan Kerajaan Bapa-Nya di dunia ini. Ia tinggal membinasakan yang jahat dan membiarkan yang baik untuk tetap hidup. Bukankah ia mengetahui segala rahasia? Tapi kita sendiri pun sebenarnya mengenal sebuah pepatah lama: jika ingin menguji karakter seseorang, berilah ia kekuasaan.

Ini adalah saat yang tepat untuk merenungkan kembali segala yang pernah kita perbuat. Sudahkah kita, dengan kekuasaan yang kita miliki, menyebarkan keselamatan atau malahan membuat pembinasaan di mana-mana? Menyingkirkan orang lain dalam hidup kita selalu menjadi jalan yang mudah. Bila Yesus sendiri memilih jalan yang sulit, tidakkah kita para pengikutnya pun harus mengambil langkah yang sama? Jika Yesus rela mati di kayu salib, semestinya kita pun rela mengorbankan ego, harga diri dan gengsi kita untuk merengkuh sesama. Dengan cara itulah sejarah keselamatan akan berlangsung terus dan bukannya terhenti di tengah jalan

Anak-anak

01 Oktober 2007

Anda pasti pernah melihat mereka ini: anak-anak yang mengemis di jalanan... anak-anak yang memainkan alat musik dari rangkaian tutup botol dan menyanyi dengan suara sumbang... anak-anak yang berjualan stiker atau majalah di pompa bensin... anak-anak yang pagi-pagi benar membawa karung dan mengacak-acak tempat sampah kita untuk mencari barang-barang yang masih dapat dijual... anak-anak yang bermain dengan batu di perempatan jalan sambil menunggu ibunya yang sedang meminta-minta di jendela mobil kita... anak-anak yang berjualan rempeyek di gerbang gereja kita...

Pernahkah Anda menatap matanya? Jika ya, apakah yang Anda lihat di sana?

Jika Anda adalah seorang yang lembut hati, anak-anak adalah hal-hal yang akan selalu membuat Anda tersentuh, tersenyum atau menangis. Mereka ibarat sebuah tunas hijau kecil yang tumbuh di tanah. Akan menjadi apakah mereka? Sebuah pohon besar yang kuat dan rindang, tanaman sederhana yang tak menjadi perhatian orang, rumput yang berjuang dan bertahan untuk hidup di trotoar jalan, pohon yang tak menghasilkan buah karena mandul, atau bahkan tak sempat menjadi apapun karena daya hidupnya telah direnggut?

Bukan suatu kebetulan, jika hari ini, saat kita merayakan Pesta St. Teresia dari Kanak-kanak Yesus, Injil pun berkisah mengenai anak-anak. Yesus memanggil seorang anak dan berkata, ”Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku.” (lihat ayat 5). St. Teresia sendiri, sejak kecil telah menunjukkan teladan iman yang baik. Sama seperti anak-anak lainnya, ia pun polos, naif dan juga nakal sehingga orang sering merasa jengkel atau marah kepadanya. Dalam buku Riwayat Hidup Para Kudus (Bina Media, 2002), dikisahkan Teresia pernah memukul seorang temannya. Setelah mengerti bahwa hal itu tak dapat dibenarkan, ia langsung meminta maaf tanpa perlu repot-repot membela diri terlebih dahulu. Ayahnya sendiri pernah bersedih karena ketika meminta ciuman darinya, Teresia malahan berkata menantang, ”Datang saja sendiri untuk mendapatkannya!” Perkataan yang kurang sopan itu membuat sang ayah pergi tanpa berbicara, dan Teresia kecil pun mendapat teguran dari kakaknya. Mengetahui telah membuat hati ayahnya terluka, Teresia pun berlari menyusul sang ayah sambil menangis. Bukankah kisah ini mengingatkan kita pada perikop ’Anak yang Hilang’ di Kitab Suci (lihat Lukas 15:11-32), ketika si anak nakal berlari pulang untuk mendapatkan pelukan ayahnya?

Penulis buku Riwayat Hidup Para Kudus menyatakan bahwa masa muda Teresia, yang dikelilingi oleh cinta kasih orang tua dan keluarga itu membentuk kepercayaan penuh dalam hatinya akan kasih Bapa Ilahinya. Hal itulah yang kemudian menjadi kunci dalam pengajaran rohaninya yang begitu kuat.

Ya. Pengalaman akan dunia mengarahkan kita pada pengalaman akan Allah. Mari kita lihat kembali anak-anak miskin dan malang yang kita temui di jalanan tadi. Kehidupan mereka begitu keras, bukan? Kemiskinan, adalah satu sumber dosa dan kesalahan. Orang-orang yang dibelit oleh kemiskinan, akan sangat sulit mengalami Allah dalam kehidupan mereka. Mereka jadi tak perlu malu saat menipu sesamanya, sebab mereka hanya mengerti bahwa hal itu merupakan satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Mereka berani mencuri karena lapar. Mereka sanggup membunuh karena butuh uang.

Relakah kita, melihat anak-anak jalanan itu akan tumbuh besar menjadi penipu, pencuri bahkan juga pembunuh? Relakah kita membiarkan anak-anak itu tumbuh besar sambil melupakan wajah ilahinya, dan semakin tak lagi mampu melihat wajah Allah di wajah sesamanya? Menyelamatkan anak-anak, dengan demikian, bukan sekadar memberikan mereka hak-haknya sebagai manusia. Menyelamatkan anak-anak berarti juga menyelamatkan kehidupan yang tak hanya milik mereka, melainkan milik kita semua. Menyelamatkan anak-anak, bahkan juga berarti menyelamatkan harapan, sebab harapan adalah hal yang mampu membuat kita bertahan untuk mewujudkan Kerajaan Allah di muka bumi.

Yesus menyambut seorang anak ke dalam pelukan-Nya. Yesus pasti ingin kita melakukan-Nya juga, sebab dengan tegas Ia berkata, ”Barangsiapa menyambut seorang anak ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku!” Sanggupkah kita melihat wajah Yesus di wajah anak-anak itu?

Juni 12, 2008

Panggilan Menjadi Saudara

25 September 2007

Berpaling kepada Allah tidak akan berarti
kalau pada saat yang sama tidak berpaling kepada sesama
dari muka ke muka, dalam suatu cara yang baru.
(Kongres IV Dewan Gereja Uppsala, Swedia)


Siapakah saudaraku? Yesus menjawabnya untuk kita, ”Saudara-saudara- Ku ialah mereka yang mendengarkan Sabda Allah dan melaksanakannya!” (lihat ayat 21).

Aku termasuk orang yang punya banyak sekali saudara. Nenekku adalah anak ke-23 dari 25 bersaudara. Tak cukup sebuah buku silsilah untuk menuliskan semua keluarga itu secara turun-temurun! Saking banyaknya, kami sampai memiliki perkumpulan di banyak kota ; ada di Jakarta , Rembang, Malang , Blitar, Jember dan entah di mana lagi. Karena sulit sekali berkumpul bersama di satu tempat, jadilah kami hanya melakukan pertemuan rutin di tiap ‘cabang’ itu. Biasanya, kami mengadakan arisan, syukuran atau halal bihalal saat Lebaran, sama seperti lazimnya aktivitas yang dilakukan keluarga-keluarga lainnya.

Sewaktu kecil, pengertianku tentang keluarga hanya sebatas itu; orang-orang yang punya hubungan darah. Semakin dewasa, juga dengan semakin bertambahnya pengalaman bersama Yesus, aku jadi mengerti bahwa Yesus bermaksud mengajak semua orang untuk menjadi saudara, melampaui batasan pertalian darah.

Sungguh indah, bukan? Kita biasanya memberi perhatian lebih kepada mereka yang menjadi saudara kita, melebihi perhatian kita kepada orang lain. Kini, ketika Yesus mengajak kita untuk bersaudara, kita pun memperluas perhatian dan kasih sayang kita itu. Ini adalah sudut pandang yang menghancurkan sekat-sekat agama, ras, suku dan kelompok-kelompok dalam masyarakat. Kita dapat memandang mereka ini sebagai saudara: pengemis di sudut jalan itu, anak-anak jalanan yang setiap hari mengamen, orang-orang lanjut usia yang terlupakan, kaum miskin kota, mereka yang cacat dan hidupnya bergantung pada orang lain, mereka yang belum tersapa atau terlibat dalam kegiatan Gereja. Dengan menjadikan mereka saudara, kita akan memberikan perhatian dan kasih sayang kepada mereka, dan mengasihi mereka itu berarti menyempurnakan hidup mereka yang belum sempurna.

Santo Fransiskus Asisi tak hanya memandang manusia sebagai saudaranya. Ia menganggap semua makhluk hidup sebagai saudara, bahkan yang biasanya tak diperhatikan seperti cacing tanah, dimanfaatkan oleh manusia seperti binatang ternak dan ditakuti seperti serigala dan binatang-binatang buas lainnya. Seluruh alam ciptaan merupakan saudara baginya. Karena itulah, hidupnya senantiasa harmonis. Bukankah ini berbeda dengan kecenderungan manusia untuk mengekploitasi alam, sehingga di sana-sini timbul kehancuran ekosistem dan manusia pun terpaksa berperang dengan binatang untuk memperebutkan lahan untuk hidup, serta berperang dengan alam melalui bencana yang susul-menyusul?

Hari ini, Yesus memanggil kita untuk menjadi saudara. Mari kita sahuti panggilan itu!

Api Cinta

24 September 2007

Sewaktu SMA dan kuliah, aku dan teman-teman Katolik sering sekali menyanyikan lagu ini: masa muda sungguh senang, jiwa penuh dengan cita-cita... dengan api yang tak kunjung padam, selalu membakar dalam hati...Setiap kali menyanyikannya, biasanya diiringi dengan gitar, kami merasa sangat senang dan bersemangat. Terbayang kembali hari-hari kami yang telah lewat; penuh dengan kesibukan belajar, aktivitas di luar kuliah dan kesenangan bersama kawan-kawan. Bahkan juga, tak jarang muncul pertanyaan dan harapan-harapan tentang masa yang akan datang. Hendak menjadi siapakah kami nantinya? Mengerjakan apa?

Pertanyaan-pertanya an macam itu terjawab belasan tahun kemudian. Tak semuanya sama seperti impian dan juga tak semuanya menyenangkan. Aku masih ingat dengan jelas malam-malam ketika kami duduk bersama dan menyeruput kopi di warung kecil pinggir jalan depan kampus kami. Ada kebersamaan yang hangat saat itu. Belasan tahun berlalu, kehangatan itu tak lagi mudah dipercayai seolah-olah hanya pernah menjadi sekadar mimpi.

Beberapa di antara kami memang masih idealis. Ada yang menjadi wartawan dan di sela-sela kesibukannya meluangkan waktu untuk mendirikan taman bacaan bagi anak-anak di desanya. Ada yang tetap bohemian dan menjadi seniman, tapi tak pernah berhenti membaca buku dan kini tengah menggarap radio komunitas bagi kepentingan kelompok tani dan nelayan. Mereka yang semacam ini tak pernah ingin hidup berlebih; bagi mereka, ’secukupnya’ itu sudah baik. Sisa dari yang ’bercukupan’ ini berarti perlu dibagikan kepada yang masih ’berkurangan’.

Tapi toh banyak di antara kami yang tak lagi peduli pada hidup sesamanya. Beberapa kawan bekerja di instansi pemerintah, dan hanya dalam beberapa bulan saja, dapat meraup uang ratusan juta rupiah dari dana pengentasan rakyat miskin. Lainnya, dengan kecerdikan yang mereka punya, menjadi semacam broker politik. Dengan santai mereka meloncat dari satu partai ke partai lainnya. Sungguh memprihatinkan; hari ini mereka tampil di sebuah stasiun TV sebagai seorang tokoh dari Partai A, esok mereka sudah menjadi seorang tokoh di Partai B. Ada juga yang menjadi dosen, tapi selalu mengejar berbagai proyek yang akan memperbanyak pundi-pundi uangnya dan tak hirau pada mahasiswa yang membutuhkan bimbingannya.

Itulah realitas kehidupan. Tak perlu bersedih, tak usah menghujat. Setiap orang pasti punya alasan untuk menjalani hidupnya, pun ketika hidup itu begitu berbeda dengan cita-cita masa muda. Ketika kurenungi Injil hari ini, memang terbersit galau di dalam hati; lalu untuk apakah pelita, jika ia tak lagi bernyala dan menerangi kegelapan?

Allah melahirkan manusia dalam cinta; Ia pun menginginkan manusia untuk saling mencintai agar dapat menyempurnakan satu dengan yang lain. Dengan demikian, kita pun akan menyempurnakan cinta Allah itu! Tapi bagaimana jika api cinta itu telah padam? Kehangatan dan terang tak lagi memancar dari hati kita; lalu apakah yang dapat kita berikan kepada sesama? Hati yang dingin? Pikiran yang dibutakan oleh kegelapan? Orang yang dingin tak akan mau menyentuh tangan sesamanya, dan mereka yang buta tak akan sanggup menuntun orang lain. Bukankah itu realitasnya?

Mari bersama menjaga api cinta dari Allah, sebab hanya itulah kehangatan dan terang yang sejati bagi kita & dunia!

Juni 11, 2008

Radikal

20 September 2007

Radikal. Kata itu adalah istilah dalam politik, yang artinya ‘dengan keras menuntut perubahan’. Kelompok yang dengan keras menuntut atau memperjuangkan perubahan di dalam masyarakat disebut dengan kelompok radikal. Radikal juga mempunyai arti ‘maju dalam berpikir’. Orang-orang yang pikirannya melampaui pencapaian orang-orang di sekitarnya pun disebut berpikiran radikal.

Dalam hidup iman, kita pun dapat menjadi orang-orang yang radikal. Iman menuntut pertobatan terus-menerus; pembaruan diri yang terus-menerus. Iman tidak boleh setengah-setengah! Mengikuti Yesus berarti meninggalkan hal-hal lain yang bertentangan dengan kehendak-Nya (bdk. Lukas 9:62).


Injil hari ini mengisahkan bagaimana iman menuntut perubahan yang radikal. Ketika Yesus sedang dijamu makan oleh seorang Farisi (= pejabat agama), tiba-tiba masuklah seorang perempuan yang langsung merebahkan tubuhnya di lantai, membasahi kaki Yesus dengan air matanya, mengeringkan dengan rambutnya, menciumnya lalu meminyakinya dengan minyak wangi. Kejadian itu tentu tak terduga dan mengejutkan semua orang. Tidak semua orang senang akan kejutan, apalagi kalau kejutannya itu berupa seorang perempuan berdosa yang tiba-tiba menerobos masuk ke dalam rumah untuk menciumi kaki Yesus!

Reaksi tidak suka pun muncul dari si pemilik rumah. Reaksi itu mudah dipahami. Pertama, bukankah orang-orang berdosa cenderung untuk dijauhi dan bukannya dirangkul supaya kembali? Pada masa itu, orang-orang berdosa tidak diperkenankan mengambil bagian dalam peribadatan! Mereka hanya dipandang sebelah mata seperti dinyatakan oleh Simon sendiri di dalam hatinya, ”Jika Yesus ini seorang nabi, mestinya Ia tahu kalau yang menjamahnya ini adalah seorang perempuan yang berdosa!” (lihat ayat 39).

Kedua, Simon si pemilik rumah tahu persis bahwa yang dilakukan oleh perempuan itu adalah hal-hal yang tidak dilakukanya untuk Yesus. Ia memang mengundang Yesus masuk ke dalam rumahnya, tapi apakah ia juga mengundang Yesus masuk ke dalam hatinya? Lihatlah perempuan itu! Ia tak menyelenggarakan jamuan layak sebagaimana yang Simon lakukan untuk Yesus, namun ia telah memberikan keseluruhan yang dimilikinya: hatinya (yang membuatnya tersungkur di kaki Yesus), tubuhnya—air mata, rambut dan kecupan manisnya—serta minyak wangi yang selama ini digunakannya untuk memikat orang dalam perbuatan dosanya. Inilah suatu perubahan yang radikal dalam hidup iman perempuan itu, sementara Simon, meskipun ia telah mengajak Yesus untuk makan bersamanya, tampaknya tidak mengalami perubahan apapun karena masih saja memandang rendah mereka yang berdosa!

Bagaimana dengan kita sendiri? Sudahkah iman mengubah secara radikal keseluruhan hidup kita? Apakah kita sama seperti Simon, tampaknya saja hidup saleh dan membuka diri bagi kehadiran Yesus, namun masih menutup rapat-rapat pintu hati kita sehingga keselamatan yang datang dari Allah itu belum terjadi atas kita? ”Imanmu menyelamatkan engkau!” kata Yesus kepada perempuan itu (lihat ayat 50). Akankah Yesus mengucapkan perkataan yang sama kepada kita?