Oktober 30, 2008

YANG TERPUJI

Setiap orang pasti merasa senang jika keberadaannya diakui oleh orang lain, atau sikap maupun perbuatannya dipuji. Dalam diri sejumlah orang, pengakuan & pujian itu bahkan menjadi suatu kebutuhan, dorongan atau motivasi untuk menampilkan sikap maupun melakukan perbuatan yang serupa atau yang lebih baik.

Termasuk dalam hal-hal yang menyangkut iman, orang senang diakui dan dipuji. Rajin ke gereja, pandai berdoa, punya pengetahuan tentang Kitab Suci, aktif dalam kegiatan Gereja... menjadi tolok ukur bagi pengakuan dan pujian. Padahal, iman bukan semata-mata apa yang tampak, melainkan juga yang tak tampak: apa yang dialami, apa yang dirasakan... tentang pergulatan, jatuh-bangun, tentang pemikiran dan impian, juga tentang pengertian.

Yang tak tampak, yang tersembunyi itulah yang dapat dilihat oleh Allah. Kata pemazmur: Tuhan, Engkau menyelidiki dan mengenal aku. Engkau mengetahui kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh. Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya semuanya telah Kau ketahui. (Mzm 139, 1.2.4).

Jika iman hanya sebatas yang tampak, tak heran jika kita mudah sekali dibenturkan dengan realitas keseharian. Rajin ke gereja, apakah juga rajin mengunjungi sesama yang membutuhkan bantuan kita? Pandai berdoa, apakah juga mau belajar untuk mengupayakan solusi-solusi konkret bagi masalah yang dihadapi sesama kita? Punya pengetahuan Kitab Suci, apakah juga mampu mengetahui tanda-tanda zaman? Aktif dalam kegiatan Gereja, apakah juga terlibat dalam hidup keseharian masyarakat luas?

Itulah iman yang sesungguhnya; pengalaman hidup yang konkret, bukan pengakuan... suatu pergulatan, bukan pujian. Seringkali, pengalaman & pergulatan iman justru jauh dari pengakuan & pujian; yang diterima adalah perasaan gagal, mandek, bahkan kegelapan. St. Teresia Avila menyatakan bahwa perjalanan iman bukanlah sesuatu yang linear. Seperti mendaki anak tangga, seseorang bisa terjungkal di tengah-tengah dan harus kembali memulai dari anak tangga yang paling bawah.

Barangkali, akan kita akan menjadi bijak apabila bersikap sebagaimana Maria: menyimpan semua perkara di dalam hati (bdk. Luk 4, 51b), di tempat yang tersembunyi.*

Tidak ada komentar: