Juni 18, 2008

Love & Decision

08 Oktober 2007

Sebagaimana gelombang tak dapat hadir dengan sendirinya
tetapi harus selalu terkait dengan gejolak lautan
begitu pula kita tidak pernah dapat mengalami hidup sendirian
tanpa selalu ikut merasakan pengalaman hidup di sekitar kita.
(Albert Schweitzer)

”Bahkan memberi pun dapat dilakukan tanpa cinta,” begitu kata seseorang yang memperhatikan anaknya saat memberi sedekah kepada seorang pengemis. Ya. Anaknya itu masih berusia tiga tahun. Apa yang ia mengerti tentang kemiskinan atau ketidakadilan sistem perekonomian? Anak itu bahkan belum mengerti arti uang! Ia memberikan sedekah karena ibu meminta ia melakukannya dan ia menurut, itu saja.

Bagi kita yang telah mengerti banyak hal, memberikan sesuatu kepada orang lain yang berkekurangan atau membutuhkan, semestinya tidak menjadi hal yang sederhana. Di aula terbuka Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, tempat anak-anak muda nongkrong berdiskusi atau sekadar melepaskan lelah, terpampang sebuah poster besar dengan tulisan: LOVE IS A DECISION.

Ya. Cinta seharusnya adalah pilihan; sesuatu yang dilakukan karena kita dengan sadar memilih untuk melakukannya. Itulah yang juga diperbuat oleh seorang Samaria dalam Injil hari ini. Selagi dalam perjalanan, ia menemukan seseorang yang telah dirampok dan dipukuli hingga sekarat. Orang Samaria dibenci oleh orang-orang Yahudi karena mereka dianggap sebagai orang kafir. Stigma dan perlakuan itu bukah hal yang mudah untuk diterima, yang sebetulnya dapat menjadi alasan yang wajar bagi si orang Samaria untuk berjarak dengan siapapun juga. Tapi, apa yang dilakukan oleh orang Samaria itu? Ia malahan mengabaikan sejenak perjalanannya untuk menolong si sakit.

Love is a decision. Sekali kita memutuskan untuk mencinta, pada saat itu juga kita menetapkan untuk melintasi apapun demi cinta kita. Tak ada lagi jarak, batas, ketakutan, rendah diri, atau apapun juga yang selalu menjadi penghalang bagi cinta. Bukankah Allah pun menjelma manusia untuk disalibkan atas dosa-dosa kita? Bahkan Allah, karena cinta-Nya yang begitu besar kepada manusia, memutuskan untuk melintasi jarak antara yang surgawi dengan yang duniawi, Allah dan manusia, Sang Pencipta dengan ciptaan-Nya, kehidupan dan kematian, kematian dan kebangkitan.

Seekor angsa tak akan dapat berenang jika hanya berteriak-teriak dari tepi kolam saja, kata orang; ia harus terjun dan merasakan ’berenang’ sebagai sebuah pengalaman dan keterlibatan. Seseorang tak akan dapat memberi dengan cinta tanpa pengalaman akan penderitaan sesamanya. Jadi, mari lintasi jarak itu dan sungguh-sungguh menjadi sesama bagi sesama kita!

Domba & Serigala

04 Oktober 2007

”Aku mengutus engkau seperti anak domba ke tengah serigala,” sabda Yesus kepada kita melalui Injil hari ini (lihat ayat 3). St. Fransiskus Assisi, yang kita kenang hari ini, juga mendapat panggilan yang sama. Ia bahkan memiliki pengalaman dengan serigala sungguhan.

Alkisah, sebagaimana dituliskan di buku Santo Fransiskus dan Binatang-binatang (Bina Media, 2006), pada suatu hari St. Fransiskus mengunjungi sebuah kota bernama Gubbio. Penduduknya dicekam ketakutan karena ada seekor serigala buas yang berkeliaran di sana . Merasa iba pada penduduk itu, St. Fransiskus pun mendatangi si serigala buas tanpa takut. Ia sungguh mempercayai perlindungan Tuhan. Saat berjumpa si serigala, St. Fransiskus berkata, “Saudaraku serigala, kau telah memberikan kekuatan yang Tuhan berikan kepadamu dengan bertindak seperti seorang pencuri dan pembunuh. Aku ingin mendamaikanmu dengan penduduk Gubbio, agar kau tidak menyerang mereka lagi dan mereka akan meaafkanmu atas segala masalah dan kesalahan yang kau buat di masa yang lalu, dan menghentikan penduduk yang mengunakan senjata dan anjing-anjing mereka untuk menyerangmu. Aku akan memastikan untuk menyediakan makanan bagimu agar kau tidak kelaparan, yang merupakan alasan mengapa kau menyerang.”

Begitulah St. Fransiskus Assisi memperdamaikan serigala buas dengan penduduk kota Gubbio. Para penduduk diminta untuk berbelas kasih pada serigala yang kelaparan dengan menyisihkan makanan, sehingga serigala buas itu tak perlu menyerang penduduk untuk mendapat makan.

Kisah serigala Gubbio merupakan bahan refleksi yang sangat menarik bagi kita. Allah menghendaki hubungan yang harmonis di antara semua makhluk ciptaan-Nya (bdk. Kejadian 1:1-31). Bahkan bagi seekor serigala buas, kehendak Allah itu pun dapat terlaksana melalui hati dan tindak-tanduk St. Fransiskus yang lemah-lembut, penuh kasih dan berani. Kita sendiri seringkali menjadi kurang sabar dan memaksa saat mewartakan Allah bagi sesama. Padahal, segala sesuatu ada waktunya sendiri! Karena itulah Yesus berpesan melalui Injil hari ini agar kita sabar, berlapang dada, ikhlas dan tetap setia menjalani perutusan kita.

Ada banyak serigala di luar sana. Pertanyaannya adalah: mampukah kita meneladan St. Fransiskus Assisi, yang hanya mengandalkan kerendahan hati, kemiskinan dan cinta untuk menyapa sesamanya, serta semata-mata bersandar pada kepercayaan akan Allah dan perlindungan-Nya?

Singkirkan Dia!

02 Oktober 2007

Apa yang biasanya kita lakukan terhadap orang yang tidak kita sukai? Secara umum, reaksi kita adalah menjauhi orang itu. Menjauhi dapat dilakukan dengan meminimalkan kesempatan untuk bertemu, sengaja menghindar, bahkan sampai memutuskan tali komunikasi. Yang lebih kompleks daripada sekadar menjauhi adalah membalas perbuatan orang itu. Kita mengambil jarak darinya, supaya dapat merencanakan sesuatu secara rahasia karena kita ingin orang itu juga merasakan penderitaan yang kita alami. Yang lebih kompleks lagi adalah mengajak orang lain untuk ikut-ikutan tidak menyukai orang itu; seolah-olah kita membutuhkan teman atau pembenaran akan perasaan tidak suka yang kita rasakan. Yang paling kejam, tentu saja, menyebarkan cerita-cerita jahat mengenai orang itu sehingga ada kemungkinan orang tersebut dikucilkan oleh lingkungannya.

Apa yang terjadi jika kita punya otoritas atau kekuasaan tertentu atas orang yang tidak kita sukai itu? Bisa saja, kita menggunakan otoritas atau kekuasaan itu untuk menyingkirkan dirinya.

Adilkah kita? Seringkali, orang memang tidak mau repot-repot merenungkan: mengapa aku tidak suka padanya? Apakah ia sungguh-sungguh orang yang menjengkelkan, ataukah sekadar egoku saja yang terusik sehingga aku bereaksi begitu keras?

Kedua murid Yesus, Yakobus dan Yohanes, sebagaimana dikisahkan dalam Injil hari ini, juga melakukan ketidakadilan itu. Ketika orang-orang Samaria menhalangi perjalanan Yesus ke Yerusalem, mereka menjadi marah dan bertanya kepada Yesus, ”Bolehkah kami menurunkan api dari langit untuk membinasakan mereka?” (lihat ayat 54). Tentu saja Yesus melarangnya. Ia justru menegaskan bahwa, ”Anak Manusia datang bukan untuk membinasakan orang, melainkan menyelamatkannya.” (lihat ayat 55).

Sesungguhnya, mudah saja bagi Yesus untuk mewujudkan Kerajaan Bapa-Nya di dunia ini. Ia tinggal membinasakan yang jahat dan membiarkan yang baik untuk tetap hidup. Bukankah ia mengetahui segala rahasia? Tapi kita sendiri pun sebenarnya mengenal sebuah pepatah lama: jika ingin menguji karakter seseorang, berilah ia kekuasaan.

Ini adalah saat yang tepat untuk merenungkan kembali segala yang pernah kita perbuat. Sudahkah kita, dengan kekuasaan yang kita miliki, menyebarkan keselamatan atau malahan membuat pembinasaan di mana-mana? Menyingkirkan orang lain dalam hidup kita selalu menjadi jalan yang mudah. Bila Yesus sendiri memilih jalan yang sulit, tidakkah kita para pengikutnya pun harus mengambil langkah yang sama? Jika Yesus rela mati di kayu salib, semestinya kita pun rela mengorbankan ego, harga diri dan gengsi kita untuk merengkuh sesama. Dengan cara itulah sejarah keselamatan akan berlangsung terus dan bukannya terhenti di tengah jalan

Anak-anak

01 Oktober 2007

Anda pasti pernah melihat mereka ini: anak-anak yang mengemis di jalanan... anak-anak yang memainkan alat musik dari rangkaian tutup botol dan menyanyi dengan suara sumbang... anak-anak yang berjualan stiker atau majalah di pompa bensin... anak-anak yang pagi-pagi benar membawa karung dan mengacak-acak tempat sampah kita untuk mencari barang-barang yang masih dapat dijual... anak-anak yang bermain dengan batu di perempatan jalan sambil menunggu ibunya yang sedang meminta-minta di jendela mobil kita... anak-anak yang berjualan rempeyek di gerbang gereja kita...

Pernahkah Anda menatap matanya? Jika ya, apakah yang Anda lihat di sana?

Jika Anda adalah seorang yang lembut hati, anak-anak adalah hal-hal yang akan selalu membuat Anda tersentuh, tersenyum atau menangis. Mereka ibarat sebuah tunas hijau kecil yang tumbuh di tanah. Akan menjadi apakah mereka? Sebuah pohon besar yang kuat dan rindang, tanaman sederhana yang tak menjadi perhatian orang, rumput yang berjuang dan bertahan untuk hidup di trotoar jalan, pohon yang tak menghasilkan buah karena mandul, atau bahkan tak sempat menjadi apapun karena daya hidupnya telah direnggut?

Bukan suatu kebetulan, jika hari ini, saat kita merayakan Pesta St. Teresia dari Kanak-kanak Yesus, Injil pun berkisah mengenai anak-anak. Yesus memanggil seorang anak dan berkata, ”Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku.” (lihat ayat 5). St. Teresia sendiri, sejak kecil telah menunjukkan teladan iman yang baik. Sama seperti anak-anak lainnya, ia pun polos, naif dan juga nakal sehingga orang sering merasa jengkel atau marah kepadanya. Dalam buku Riwayat Hidup Para Kudus (Bina Media, 2002), dikisahkan Teresia pernah memukul seorang temannya. Setelah mengerti bahwa hal itu tak dapat dibenarkan, ia langsung meminta maaf tanpa perlu repot-repot membela diri terlebih dahulu. Ayahnya sendiri pernah bersedih karena ketika meminta ciuman darinya, Teresia malahan berkata menantang, ”Datang saja sendiri untuk mendapatkannya!” Perkataan yang kurang sopan itu membuat sang ayah pergi tanpa berbicara, dan Teresia kecil pun mendapat teguran dari kakaknya. Mengetahui telah membuat hati ayahnya terluka, Teresia pun berlari menyusul sang ayah sambil menangis. Bukankah kisah ini mengingatkan kita pada perikop ’Anak yang Hilang’ di Kitab Suci (lihat Lukas 15:11-32), ketika si anak nakal berlari pulang untuk mendapatkan pelukan ayahnya?

Penulis buku Riwayat Hidup Para Kudus menyatakan bahwa masa muda Teresia, yang dikelilingi oleh cinta kasih orang tua dan keluarga itu membentuk kepercayaan penuh dalam hatinya akan kasih Bapa Ilahinya. Hal itulah yang kemudian menjadi kunci dalam pengajaran rohaninya yang begitu kuat.

Ya. Pengalaman akan dunia mengarahkan kita pada pengalaman akan Allah. Mari kita lihat kembali anak-anak miskin dan malang yang kita temui di jalanan tadi. Kehidupan mereka begitu keras, bukan? Kemiskinan, adalah satu sumber dosa dan kesalahan. Orang-orang yang dibelit oleh kemiskinan, akan sangat sulit mengalami Allah dalam kehidupan mereka. Mereka jadi tak perlu malu saat menipu sesamanya, sebab mereka hanya mengerti bahwa hal itu merupakan satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Mereka berani mencuri karena lapar. Mereka sanggup membunuh karena butuh uang.

Relakah kita, melihat anak-anak jalanan itu akan tumbuh besar menjadi penipu, pencuri bahkan juga pembunuh? Relakah kita membiarkan anak-anak itu tumbuh besar sambil melupakan wajah ilahinya, dan semakin tak lagi mampu melihat wajah Allah di wajah sesamanya? Menyelamatkan anak-anak, dengan demikian, bukan sekadar memberikan mereka hak-haknya sebagai manusia. Menyelamatkan anak-anak berarti juga menyelamatkan kehidupan yang tak hanya milik mereka, melainkan milik kita semua. Menyelamatkan anak-anak, bahkan juga berarti menyelamatkan harapan, sebab harapan adalah hal yang mampu membuat kita bertahan untuk mewujudkan Kerajaan Allah di muka bumi.

Yesus menyambut seorang anak ke dalam pelukan-Nya. Yesus pasti ingin kita melakukan-Nya juga, sebab dengan tegas Ia berkata, ”Barangsiapa menyambut seorang anak ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku!” Sanggupkah kita melihat wajah Yesus di wajah anak-anak itu?

Juni 12, 2008

Panggilan Menjadi Saudara

25 September 2007

Berpaling kepada Allah tidak akan berarti
kalau pada saat yang sama tidak berpaling kepada sesama
dari muka ke muka, dalam suatu cara yang baru.
(Kongres IV Dewan Gereja Uppsala, Swedia)


Siapakah saudaraku? Yesus menjawabnya untuk kita, ”Saudara-saudara- Ku ialah mereka yang mendengarkan Sabda Allah dan melaksanakannya!” (lihat ayat 21).

Aku termasuk orang yang punya banyak sekali saudara. Nenekku adalah anak ke-23 dari 25 bersaudara. Tak cukup sebuah buku silsilah untuk menuliskan semua keluarga itu secara turun-temurun! Saking banyaknya, kami sampai memiliki perkumpulan di banyak kota ; ada di Jakarta , Rembang, Malang , Blitar, Jember dan entah di mana lagi. Karena sulit sekali berkumpul bersama di satu tempat, jadilah kami hanya melakukan pertemuan rutin di tiap ‘cabang’ itu. Biasanya, kami mengadakan arisan, syukuran atau halal bihalal saat Lebaran, sama seperti lazimnya aktivitas yang dilakukan keluarga-keluarga lainnya.

Sewaktu kecil, pengertianku tentang keluarga hanya sebatas itu; orang-orang yang punya hubungan darah. Semakin dewasa, juga dengan semakin bertambahnya pengalaman bersama Yesus, aku jadi mengerti bahwa Yesus bermaksud mengajak semua orang untuk menjadi saudara, melampaui batasan pertalian darah.

Sungguh indah, bukan? Kita biasanya memberi perhatian lebih kepada mereka yang menjadi saudara kita, melebihi perhatian kita kepada orang lain. Kini, ketika Yesus mengajak kita untuk bersaudara, kita pun memperluas perhatian dan kasih sayang kita itu. Ini adalah sudut pandang yang menghancurkan sekat-sekat agama, ras, suku dan kelompok-kelompok dalam masyarakat. Kita dapat memandang mereka ini sebagai saudara: pengemis di sudut jalan itu, anak-anak jalanan yang setiap hari mengamen, orang-orang lanjut usia yang terlupakan, kaum miskin kota, mereka yang cacat dan hidupnya bergantung pada orang lain, mereka yang belum tersapa atau terlibat dalam kegiatan Gereja. Dengan menjadikan mereka saudara, kita akan memberikan perhatian dan kasih sayang kepada mereka, dan mengasihi mereka itu berarti menyempurnakan hidup mereka yang belum sempurna.

Santo Fransiskus Asisi tak hanya memandang manusia sebagai saudaranya. Ia menganggap semua makhluk hidup sebagai saudara, bahkan yang biasanya tak diperhatikan seperti cacing tanah, dimanfaatkan oleh manusia seperti binatang ternak dan ditakuti seperti serigala dan binatang-binatang buas lainnya. Seluruh alam ciptaan merupakan saudara baginya. Karena itulah, hidupnya senantiasa harmonis. Bukankah ini berbeda dengan kecenderungan manusia untuk mengekploitasi alam, sehingga di sana-sini timbul kehancuran ekosistem dan manusia pun terpaksa berperang dengan binatang untuk memperebutkan lahan untuk hidup, serta berperang dengan alam melalui bencana yang susul-menyusul?

Hari ini, Yesus memanggil kita untuk menjadi saudara. Mari kita sahuti panggilan itu!

Api Cinta

24 September 2007

Sewaktu SMA dan kuliah, aku dan teman-teman Katolik sering sekali menyanyikan lagu ini: masa muda sungguh senang, jiwa penuh dengan cita-cita... dengan api yang tak kunjung padam, selalu membakar dalam hati...Setiap kali menyanyikannya, biasanya diiringi dengan gitar, kami merasa sangat senang dan bersemangat. Terbayang kembali hari-hari kami yang telah lewat; penuh dengan kesibukan belajar, aktivitas di luar kuliah dan kesenangan bersama kawan-kawan. Bahkan juga, tak jarang muncul pertanyaan dan harapan-harapan tentang masa yang akan datang. Hendak menjadi siapakah kami nantinya? Mengerjakan apa?

Pertanyaan-pertanya an macam itu terjawab belasan tahun kemudian. Tak semuanya sama seperti impian dan juga tak semuanya menyenangkan. Aku masih ingat dengan jelas malam-malam ketika kami duduk bersama dan menyeruput kopi di warung kecil pinggir jalan depan kampus kami. Ada kebersamaan yang hangat saat itu. Belasan tahun berlalu, kehangatan itu tak lagi mudah dipercayai seolah-olah hanya pernah menjadi sekadar mimpi.

Beberapa di antara kami memang masih idealis. Ada yang menjadi wartawan dan di sela-sela kesibukannya meluangkan waktu untuk mendirikan taman bacaan bagi anak-anak di desanya. Ada yang tetap bohemian dan menjadi seniman, tapi tak pernah berhenti membaca buku dan kini tengah menggarap radio komunitas bagi kepentingan kelompok tani dan nelayan. Mereka yang semacam ini tak pernah ingin hidup berlebih; bagi mereka, ’secukupnya’ itu sudah baik. Sisa dari yang ’bercukupan’ ini berarti perlu dibagikan kepada yang masih ’berkurangan’.

Tapi toh banyak di antara kami yang tak lagi peduli pada hidup sesamanya. Beberapa kawan bekerja di instansi pemerintah, dan hanya dalam beberapa bulan saja, dapat meraup uang ratusan juta rupiah dari dana pengentasan rakyat miskin. Lainnya, dengan kecerdikan yang mereka punya, menjadi semacam broker politik. Dengan santai mereka meloncat dari satu partai ke partai lainnya. Sungguh memprihatinkan; hari ini mereka tampil di sebuah stasiun TV sebagai seorang tokoh dari Partai A, esok mereka sudah menjadi seorang tokoh di Partai B. Ada juga yang menjadi dosen, tapi selalu mengejar berbagai proyek yang akan memperbanyak pundi-pundi uangnya dan tak hirau pada mahasiswa yang membutuhkan bimbingannya.

Itulah realitas kehidupan. Tak perlu bersedih, tak usah menghujat. Setiap orang pasti punya alasan untuk menjalani hidupnya, pun ketika hidup itu begitu berbeda dengan cita-cita masa muda. Ketika kurenungi Injil hari ini, memang terbersit galau di dalam hati; lalu untuk apakah pelita, jika ia tak lagi bernyala dan menerangi kegelapan?

Allah melahirkan manusia dalam cinta; Ia pun menginginkan manusia untuk saling mencintai agar dapat menyempurnakan satu dengan yang lain. Dengan demikian, kita pun akan menyempurnakan cinta Allah itu! Tapi bagaimana jika api cinta itu telah padam? Kehangatan dan terang tak lagi memancar dari hati kita; lalu apakah yang dapat kita berikan kepada sesama? Hati yang dingin? Pikiran yang dibutakan oleh kegelapan? Orang yang dingin tak akan mau menyentuh tangan sesamanya, dan mereka yang buta tak akan sanggup menuntun orang lain. Bukankah itu realitasnya?

Mari bersama menjaga api cinta dari Allah, sebab hanya itulah kehangatan dan terang yang sejati bagi kita & dunia!

Juni 11, 2008

Radikal

20 September 2007

Radikal. Kata itu adalah istilah dalam politik, yang artinya ‘dengan keras menuntut perubahan’. Kelompok yang dengan keras menuntut atau memperjuangkan perubahan di dalam masyarakat disebut dengan kelompok radikal. Radikal juga mempunyai arti ‘maju dalam berpikir’. Orang-orang yang pikirannya melampaui pencapaian orang-orang di sekitarnya pun disebut berpikiran radikal.

Dalam hidup iman, kita pun dapat menjadi orang-orang yang radikal. Iman menuntut pertobatan terus-menerus; pembaruan diri yang terus-menerus. Iman tidak boleh setengah-setengah! Mengikuti Yesus berarti meninggalkan hal-hal lain yang bertentangan dengan kehendak-Nya (bdk. Lukas 9:62).


Injil hari ini mengisahkan bagaimana iman menuntut perubahan yang radikal. Ketika Yesus sedang dijamu makan oleh seorang Farisi (= pejabat agama), tiba-tiba masuklah seorang perempuan yang langsung merebahkan tubuhnya di lantai, membasahi kaki Yesus dengan air matanya, mengeringkan dengan rambutnya, menciumnya lalu meminyakinya dengan minyak wangi. Kejadian itu tentu tak terduga dan mengejutkan semua orang. Tidak semua orang senang akan kejutan, apalagi kalau kejutannya itu berupa seorang perempuan berdosa yang tiba-tiba menerobos masuk ke dalam rumah untuk menciumi kaki Yesus!

Reaksi tidak suka pun muncul dari si pemilik rumah. Reaksi itu mudah dipahami. Pertama, bukankah orang-orang berdosa cenderung untuk dijauhi dan bukannya dirangkul supaya kembali? Pada masa itu, orang-orang berdosa tidak diperkenankan mengambil bagian dalam peribadatan! Mereka hanya dipandang sebelah mata seperti dinyatakan oleh Simon sendiri di dalam hatinya, ”Jika Yesus ini seorang nabi, mestinya Ia tahu kalau yang menjamahnya ini adalah seorang perempuan yang berdosa!” (lihat ayat 39).

Kedua, Simon si pemilik rumah tahu persis bahwa yang dilakukan oleh perempuan itu adalah hal-hal yang tidak dilakukanya untuk Yesus. Ia memang mengundang Yesus masuk ke dalam rumahnya, tapi apakah ia juga mengundang Yesus masuk ke dalam hatinya? Lihatlah perempuan itu! Ia tak menyelenggarakan jamuan layak sebagaimana yang Simon lakukan untuk Yesus, namun ia telah memberikan keseluruhan yang dimilikinya: hatinya (yang membuatnya tersungkur di kaki Yesus), tubuhnya—air mata, rambut dan kecupan manisnya—serta minyak wangi yang selama ini digunakannya untuk memikat orang dalam perbuatan dosanya. Inilah suatu perubahan yang radikal dalam hidup iman perempuan itu, sementara Simon, meskipun ia telah mengajak Yesus untuk makan bersamanya, tampaknya tidak mengalami perubahan apapun karena masih saja memandang rendah mereka yang berdosa!

Bagaimana dengan kita sendiri? Sudahkah iman mengubah secara radikal keseluruhan hidup kita? Apakah kita sama seperti Simon, tampaknya saja hidup saleh dan membuka diri bagi kehadiran Yesus, namun masih menutup rapat-rapat pintu hati kita sehingga keselamatan yang datang dari Allah itu belum terjadi atas kita? ”Imanmu menyelamatkan engkau!” kata Yesus kepada perempuan itu (lihat ayat 50). Akankah Yesus mengucapkan perkataan yang sama kepada kita?

Keinginan

19 September 2007

Jangan terlalu banyak berharap, nanti kecewa! Kalimat itu mungkin sering kita dengar, atau diucapkan orang kepada kita, saat mengharapkan sesuatu dapat terjadi sesuai dengan harapan kita. Memang benar, kadang kita terlalu percaya pada harapan sehingga ketika kenyataan menunjukkan hal sebaliknya, kita menjadi sangat kecewa. Barangkali, kita bahkan tidak mau menerima kenyataan tersebut.

Situasi itu sama persis dengan yang dialami ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang dikisahkan Injil hari ini. Mereka yang menanti-nantikan Mesias itu, tidak mau dibaptis oleh Yohanes. Yesus pun menanggapi sikap mereka itu dengan perkataan yang indah, “Mereka seperti anak-anak di pasar yang berkata: kami meniup seruling bagimu, tapi kamu tidak menari. Kami menyanyikan kidung duka, tapi kamu tidak menangis!” (lihat ayat 32).

Pada masa itu, orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat adalah kelompok yang mempunyai kekuasaan di dalam masyarakat. Mereka dapat menentukan banyak hal dalam kehidupan masyarakat. Para ahli Taurat adalah mereka yang ahli menafsirkan Kitab Suci, sementara orang-orang Farisi adalah para pejabat agama. Gambaran masyarakat pada masa itu cukup menyedihkan, karena terjadi pemiskinan yang makin meluas karena ketidakadilan sistem politik dan sistem ekonomi. Situasi juga diperparah karena dalam hal sistem peribadatan, ketidakadilan pun terjadi. Banyak orang tidak diperkenankan mengikuti ibadat karena dianggap orang yang najis atau kotor, seperti pelacur, pemungut cukai, berpenyakit kusta, orang-orang berdosa, mereka yang bodoh dan tidak berpendidikan serta banyak lagi lainnya.

Nah, pada masa itu, siapakah Mesias menurut mereka? Bagi yang tersisih dan teraniaya, Mesias adalah Dia yang akan memberikan kebebasan kepad mereka. Bagaimana dengan orang Farisi dan ahli Taurat? Mesias jelas adalah Dia yang akan menjamin kekuasaan dan kenyamanan hidup mereka! Ketika Mesias itu sungguh-sungguh datang, seperti apakah Mesias itu?

Orang Farisi dan para ahli Taurat pun kecewa, ketika Mesias yang mereka nantikan itu bukanlah seperti yang mereka harapkan. Yesus, sang Mesias itu, ternyata adalah Dia yang jelas-jelas menunjukkan keberpihakan kepada yang lemah, miskin, tersisih dan teraniaya. Ia menyembuhkan orang-orang sakit, membangkitkan yang mati, bergaul dengan para pendosa dan memanggil orang-orang sederhana yang tak bependidikan untuk menjadi murid-Nya. Bukan Mesias macam ini yang mereka inginkan! Tak heran, orang-orang Farisi dan para ahli Taurat adalah mereka yang sangat membenci Yesus, bahkan merencanakan berbagai hal buruk terhadap-Nya...

Merenungkan situasi itu, kita dapat bertanya pada diri kita sendiri: seperti apakah Mesias yang kita inginkan? Jikalau mengimani Yesus sebagai Mesias itu, sudahkah pikiran, perkataan dan perbuatan kita selaras dengan pikiran, perkataan dan perbuatan Yesus? Apakah di depan orang banyak kita mengakui Yesus sebagai Mesias, tapi diam-diam kecewa karena Yesus bukanlah Mesias yang kita inginkan? Barangkali kita termasuk orang yang merasa tersindir, jengkel dan dongkol setiap kali mendengar pembacaan Injil, karena cara hidup kita belum sesuai dengan cara hidup yang diinginkan Yesus!

Yang lebih menyulitkan bagi diri kita sendiri adalah: alih-alih menuruti kehendak Yesus, kita justru menginginkan Yesus yang menuruti keinginan kita, melalui setiap doa dan pergulatan hidup kita. Jangan-jangan, kita sudah menyerupai mereka yang berkata, ”Aku sudah meniup seruling tapi kau tidak menari. Aku sudah menyenandungkan lagu duka tapi kau tidak menangis!” Kalau begitu, bersiaplah untuk kecewa!

Pergulatan

18 September 2007

Berbahagialah orang yang menaruh belas kasihan pada orang yang menderita! (lihat Amsal 14:21b). Dalam Injil hari ini, dikisahkan Yesus tersentuh melihat seorang janda yang menangis karena anaknya tunggalnya mati. Yesus berkata kepada janda itu, “Jangan menangis!” Tak hanya berkata-kata saja, Ia bahkan membangkitkan anak itu dari kematian.

Yesus sungguh penuh perhatian dan murah hati. Ia masuk ke kota itu bersama para murid dan banyak orang; tentu Ia sibuk bercakap-cakap dan menjawab berbagai pertanyaan yang dilontarkan mereka kepada-Nya. Dengan dikelilingi banyak orang seperti itu, Yesus masih dapat melihat hal-hal yang terjadi di luar kelompok-Nya, terutama memandang mereka yang menderita.

Aku membayangkan situasi ini: Yesus tengah menjadi pusat perhatian dalam rombongan kecil itu. Setiap orang menatap keada-Nya dengan penuh kagum dan mungkin juga, dengan pandangan memuja. Bukankah Ia adalah guru dan ‘idola’ mereka? Tiba-tiba, Yesus keluar dari rombongan kecil itu dan nyelonong menuju si janda untuk mengatakan, “Jangan menangis!” Sangat wajar bukan, jika orang-orang yang ada di sana menjadi terperangah?

Ini adalah suatu ‘teguran’ untuk kita! Bukankah kita punya kecenderungan untuk lebih memperhatikan orang-orang yang dekat dengan kita saja? Kita selalu disibukkan oleh mereka yang menjadi inner circle kita, lupa bahwa sesama kita adalah semua manusia, bukan hanya inner circle saja! Mampukah kita melihat penderitaan orang-orang yang tidak berada dekat dengan kita? Lebih konkretnya lagi: mampukah kita berbuat sesuatu untuk menolongnya? Tidak mudah melakukannya!

Terhadap orang yang dekat dengan kita, mudah memberinya pertolongan karena selain kita telah mengenal dia (sehingga tahu persis yang dibutuhkannya) , kecil kemungkinan orang itu menolak karena dia pun telah mengenal kita. Tapi bagaimana jika kita bermaksud menolong orang yang tidak dekat dengan kita? Ada risiko dicurigai, bahkan ditolak! Artinya, kita harus siap dengan kemungkinan bahwa yang kita niatkan baik belum tentu diterima secara baik oleh orang yang kita hadapi.

Yesus membangkitkan anak janda itu dari mati. Sebegitu murah hatikah Yesus? Tentu saja ya! Bukankah Ia telah banyak menyembuhkan orang dan membangkitkan sejumlah orang dari kematian? Hanya orang-orang yang berhati lembut-lah yang dapat melihat penderitaan sesamanya serta berbuat sesuatu yang konkret bagi sesamanya itu. Akan tetapi, Injil hari ini mengandung suatu permenungan yang lebih dalam dari sekadar kemurah-hatian Yesus.

Situasi penderitaan janda itu, di mata Yesus, mungkin menjadi gambaran situasi yang akan dihadapi oleh ibu tercinta-Nya, Maria, ketika kelak Yesus harus memenuhi kehendak Bapa. Tidak tanggung-tanggung, Maria bahkan akan merasakan penderitaan yang sangat berat dengan melihat proses penyaliban Yesus. Yesus menyaksikan seorang janda dan hati-Nya pun tersentuh; apakah Yesus melihat gambar ibu-Nya pada diri janda itu? Bukankah yang mati adalah anak laki-lakinya yang tunggal?

Mukjizat yang dilakukan Yesus kali ini sungguh luar biasa, karena Ia sekaligus mewartakan yang akan dialaminya kelak. Ia membangkitkan anak laki-laki tunggal seorang janda, sama seperti Ia, anak tunggal Allah, nantinya akan bangkit dari mati. Yang dilakukan oleh Yesus ini adalah suatu peneguhan; Ia mengembalikan kegembiraan dan harapan bagi si janda dan keluarganya, sekaligus juga menjanjikan sukacita yang besar kepada para murid dan pengikut-Nya.

Bagi kita sendiri yang mengimani Dia, sungguhkah kebangkitan Yesus dari kematian itu telah menjadi sukacita yang besar? Sudahkah hal itu menjadi inspirasi bagi hidup iman kita? Yesus telah menyerahkan nyawa bagi kita semua; Ia tak melihat itu sebagai sesuatu yang sia-sia. Sudahkah kita tergerak untuk mengikuti teladan Yesus; membagikan diri kita kepada sesama, membangkitkan mereka dari penderitaan dan menunjukkan bahwa kegembiraan dan harapan itu ada, sebab Allah sungguh-sungguh hadir dalam setiap pergulatan kita di dunia?

Persimpangan Jalan

17 September 2007

Allah menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran (lihat 1 Timotius 2:4). Itulah sebabnya, dalam Injil hari ini, dikisahkan bahwa Yesus pun tetap membawa keselamatan bahkan kepada orang yang bukan pengikut-Nya. Bagaimana Yesus melakukannya?

Adalah seorang perwira (Romawi) yang mengasihi hambanya. Ketika hamba itu sakit, sang perwira mengupayakan kesembuhan sedemikian gigihnya, sampai-sampai ia memohon kesembuhan dari Yesus meskipun ia bukanlah pengikut-Nya. Karena itulah, sang perwira meminta bantuan orang-orang Yahudi untuk menyampaikan pesannya kepada Yesus, “Sebab aku merasa tidak pantas datang sendiri mendapatkan- Nya!” (lihat ayat 7). Tentu saja, Yesus yang selalu tergerak oleh belas kasih bersedia menyembuhkan hamba sang perwira. Yesus bahkan mau mendatangi rumah sang perwira itu! Kesediaan Yesus inilah yang membuat sang perwira menyatakan imannya, “Aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku. Katakanlah sepatah kata saja, maka hambaku akan sembuh!” (lihat ayat 6-7).

Relasi yang terjalin antara Yesus dan sang perwira ini sangatlah indah. Bagaimana tidak; keduanya tidak memiliki hubungan apapun. Yesus bukanlah guru dan Tuhan bagi sang perwira. Kabar tentang Yesus pastilah ia dengar dari perkataan orang, bukan sesuatu yang ia imani sendiri. Yesus dan sang perwira dipertautkan oleh kasih yang terpancar dari diri mereka masing-masing; Yesus selalu mau membebaskan orang dari penderitaan, sementara sang perwira begitu peduli pada kehidupan hambanya. Dua sosok penuh kasih inipun bertemu pada satu persimpangan jalan, meski awalnya mereka berangkat dari titik yang berbeda dan barangkali menuju arah yang tak sama.

Dalam hidup kita sendiri, kita pun sering berada dalam situasi yang sama, barangkali tanpa kita sadari. Kita seringkali terlalu mudah dipisahkan oleh perbedaan-perbedaan; titik awal, titik akhir, Dia yang diimani, guru dan teladan, cara hidup, pemimpin-pengikut dan entah apa lagi. Perbedaan-perbedaan itu toh akhirnya luluh ketika kita berbicara tentang sesuatu yang universal: keadilan, perdamaian serta penghargaan pada martabat manusia.

Kapankah kita sungguh-sungguh menyadari hal ini? Kapankah kita benar-benar percaya, bahwa hanya dalam persaudaraan yang sejati-lah, Kerajaan Allah akan terwujud di muka bumi? Barangkali kita masih harus banyak belajar dari sang perwira; mencoba mengerti bahwa pada akhirnya yang tinggal adalah iman, harapan serta kasih, dan yang terbesar di antaranya adalah kasih! (bdk. 1 Korintus 13:13).

Saat Gelap

15 September 2007

Hari ini, kita mengenang Santa Perawan Maria yang Berduka Cita. Di bawah salib Yesus, sebagaimana dikisahkan Injil, kita dapat mengerti betapa dalam duka seorang Bunda menyaksikan puteranya telah diperlakukan dengan begitu kejam, di luar batas-batas kemanusiaan, bahkan sampai mati-Nya. Bunda itulah yang telah melahirkan puteranya di antara penderitaan, di tengah keharusan untuk menempuh perjalanan yang jauh dan penolakan banyak orang. Bunda itu jugalah yang membesarkan seorang putera yang luar biasa istimewa; hatinya pasti penuh dengan kecemasan dan ribuan pertanyaan yang tak selalu terjawab.

Barangkali, tak satu pun di antara kita yang sungguh-sungguh bisa setia sebagaimana Maria berserah pada kehendak Tuhannya. Maria, pada zamannya, bukanlah seorang perempuan yang hebat dan dikagumi orang sebagaimana banyak di antara kita. Ia bukan seorang organisatoris andal; ia tak pernah menjadi ketua organisasi apapun dan tampil keren di hadapan banyak orang. Ia bukan seorang pengusaha hebat; ia tak punya perusahaan yang selalu jadi nomor satu di dunia bisnis. Ia bukan seorang pujangga yang mampu meluluhkan hati banyak orang dengan kata-kata indah dan rayuan yang syahdu. Ia bahkan bukan supermom ala zaman sekarang, yang sibuk sekali me-manage rumah tangga; menjadi pendamping suami, pembimbing anak-anak, manajer keuangan rumah tangga, pemimpin sebarisan PRT-sopir-satpam, dan jeung gaul yang cantik-modis- populer dengan tas bermerek dan handphone tercanggih sebagai tentengannya.

Maria adalah seorang gadis desa yang sangat sederhana. Banyak hal yang tak dimengertinya, namun dengan sepenuh kerelaan, ia selalu menyimpan semua perkara di dalam hatinya. Satu hari yang panas di bawah salib puteranya, mungkin adalah satu dari sekian banyak hal yang tak dimengertinya itu. Tapi Maria tetap setia. Ia bertahan di bawah salib pada saat-saat terakhir dari hidup puteranya. Ia tabah menyaksikan tubuh yang telah hancur itu diturunkan dari salib; tubuh yang pernah mendiami rahimnya dan dilahirkan dengan penuh kesakitan olehnya. Ia dengan sabar memandang tubuh yang asalnya begitu mulia itu, telah dinistakan dengan mudahnya, bahkan oleh mereka yang mengaku percaya kepada Allah dan memperjuangkan kepentingan- Nya.

Elie Wiesel, seorang Yahudi, masih berusia 15 tahun ketika berada di kamp konsentrasi Nazi, Auschwitz. Pada suatu hari semua tahanan dipaksa berbaris dan melewati tiga orang yang dihukum gantung. Satu di antara terhukum itu adalah seorang anak laki-laki, dan kedua bola matanya masih tampak hidup saat Wiesel berjalan melewatinya. Seseorang di belakang Wiesel bertanya dalam geraman, ”Di mana Allah sekarang? Di mana Dia sekarang?” Wiesel diam saja, namun sebuah suara hati seorang anak yang baru berusia 15 tahun berkata, ”Dia ada di sini; Dia-lah yang sedang tergantung di sini, di tiang gantungan ini...”

Tak semua orang sanggup melampaui saat-saat gelap dalam imannya dengan selamat. Elie Wiesel adalah satu di antara mereka yang sanggup itu, sementara banyak lainnya memutuskan bahwa Allah sudah mati karena Ia ternyata tak berdaya melawan kekejaman yang menghancurkan kemanusiaan. Elie Wiesel adalah seorang Yahudi. Bagi kita yang Katolik ini, kita punya teladan sendiri; siapa lagi kalau bukan Maria?

Kenangan tentang Maria, Bunda yang Berduka Cita, semoga menyentak kesadaran kita mengenai hidup iman yang sesungguhnya. Kesadaran itu, semoga juga membebaskan kita dari segala arogansi duniawi yang diwakili oleh kekuasaan, pengaruh, pangkat, jabatan, kekuatan, popularitas, tas bermerek dan handphone canggih yang menyesaki ruang hidup kita.

Ular

14 September 2007

Ular adalah binatang yang terkutuk. Ular dikutuk Allah karena ular-lah yang menggoda Hawa di Taman Firdaus sehingga manusia jatuh ke dalam dosa (lihat Kejadian 3:13-15). Salib pun terkutuk. Salib adalah satu bentuk hukuman yang paling brutal dan sadis sepanjang sejarah kemanusiaan, dan hanya dijatuhkan pada orang-orang yang melakukan kejahatan besar.

Banyak umat beriman begitu tersentuh pada penderitaan Yesus di kayu salib; mereka seolah dapat merasakan sakitnya, perih luka-luka-Nya dan kepedihan di hati-Nya. Salib memang menjadi sebuah kepedihan yang dalam; bukan semata-mata karena kesakitan fisik yang diderita Yesus, melainkan lebih daripada itu, karena kerelaan-Nya untuk menanggung hukuman yang paling hina atas kesalahan yang tak pernah dilakukan-Nya.

Yang dilakukan Yesus itulah yang mengubah makna salib. Sama seperti ular tembaga, binatang terkutuk yang ditinggikan di padang gurun oleh Musa untuk membuat mereka yang dipagut ular tetap hidup (lihat Bilangan 21:4-9), salib pun tak lagi hina dan bodoh karena seseorang telah menyerahkan nyawa di sana bagi kelangsungan hidup sahabat-sahabatnya. Salib telah menjadi tanda kasih yang suci. Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi maupun bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah (1 Korintus 1:22-24).

Sejumlah teolog yang memusatkan perhatian pada penderitaan Yesus di salib, menegaskan bahwa penderitaan itu adalah tanda solidaritas Allah terhadap penderitaan manusia. Allah mau mengambil bagian dalam penderitaan yang paling berat, sebab dengan begitu manusia akan mengingatnya dan ingatan itu akan menjadi kekuatan baginya untuk berjuang mengatasi penderitaannya sendiri.

Tapi sungguhkah kita mampu menyerap makna penderitaan itu, dan masih mengambil posisi yang sama dengan Allah di dalam Gereja-Nya?

Jawaban pertanyaan itu adalah ‘tidak’, ketika Gereja tidak lagi bersolider pada yang termiskin, yang paling menderita, paling sakit, paling hina, dan paling teraniaya. Gereja tidak mampu bersolider karena Gereja tidak lagi mengambil bagian dalam penderitaan mereka. Bagaimanakah kita dapat mengetahui hal ini? Mudah saja: mari kita refleksikan perjalanan panjang kita sebagai Gereja, dan jika di sana kita temui begitu banyak aksi yang tak berpihak kepada yang miskin, menderita, sakit, hina dan teraniaya, kita telah menjadi Gereja yang tak mampu bersolider itu. Sayang sekali bukan, ketika makna salib yang suci itu ternyata kita nodai dengan tindakan-tindakan yang berlawanan dengan tindakan yang dulu dipilih oleh Allah sendiri?

Bola Karet

13 September 2007

Aku pernah mempunyai seekor anjing yang senang sekali bermain bola. Ia akan memberikan bola itu kepadaku, lalu dengan tubuh bergetar menungguku melemparkannya. Setiap kali aku melemparkan bola itu, ia akan mendengking gembira dan berlari dengan penuh semangat untuk mengejarnya. Kami dapat menghabiskan sepanjang sore untuk bermain seperti itu, dan tak akan pernah berhenti sampai anjingku itu menghempaskan diri ke tanah karena kelelahan.

Anjingku itu sudah lama meninggal. Ia mati di usia 14 tahun. Kata orang, seekor anjing tak boleh berumur lebih panjang lagi; jika dalam usia sesingkat itu saja kita begitu kehilangan dia, bagaimana jika ia lebih lama tinggal bersama kita? Barangkali kita tak akan pernah dapat menanggung rasa kehilangan itu! Seusai pemakaman, dengan pedih kubereskan semua mainannya. Sebuah bola karet yang bocel-bocel tergeletak diam di teras. Aku memungutnya dan melemparkannya jauh-jauh. Bola itu memantul berkali-kali sampai akhirnya menghilang ke dalam semak.

S. Teresia dari Kanak-kanak Yesus menganggap dirinya sebagai sebuah bola di tangan Yesus. Ia rela ‘dipermainkan’ oleh Yesus; diangkat tinggi-tinggi, dihempaskan jauh, bahkan ditinggalkan di sudut kamar karena yang empunya sudah bosan memainkannya.

Bola sebagai ibarat bagi diri merupakan perlambang yang sarat dengan makna. Seorang psikolog berkata bahwa satu hal yang membedakan seseorang dengan yang lain adalah resiliensi; semacam gaya pegas yang dimiliki antara lain oleh bola karet. Sebagaimana bola karet dapat memantul ketika dihempaskan ke tanah yang mulus ataupun yang tak rata, manusia pun dapat memiliki daya pantul saat kehidupan menghempaskannya melalui pengalaman-pengalam an baik maupun buruk.

Para petenis biasanya akan memengetes bola mereka sebelum memainkannya. Bola yang tak dapat memantul dengan baik, tak akan dipakai karena hanya mengurangi kualitas permainan saja. Manusia pun dapat kehilangan resiliensinya; ia tak lagi memantul ketika pengalaman hidup membekapnya. Lalu bagaimanakan nasib kita yang seperti itu? Apakah kita akan seperti sebuah bola tenis yang tak dapat lagi dipergunakan?

Dalam Injil hari ini, Yesus membesarkan hati kita sebagai bola-bola karet di tangan-Nya. Apabila sesuatu yang jahat menimpa kita, terlebih-lebih karena manusia-lah yang menjadi penyebabnya, Yesus meminta kita untuk mengampuni dan mengasihi mereka. Inilah daya pegas yang diisikan Yesus ke dalam semua bola karet-Nya. Kemarahan, kebencian dan balas dendam hanya akan membuat sebuah bola karet yang tak lagi punya gaya pegas tercemplung ke dalam lubang yang dalam dan gelap; ia tak mampu keluar dari lubang itu. Akan tetapi, bola karet yang punya daya pantul yang kuat akan mampu keluar dari lubang, memantul terus dan dengan begitu akan melanjutkan perjalanannya. Si pelempar pasti punya tujuan terhadap bola yang dimainkannya, dan dengan kecintaan dan kepercayaan penuh kepada si pelempar, bola itu akan riang gembira mencapai tujuannya...

Sabda Bahagia

12 September 2007

Injil hari ini adalah tentang Sabda Bahagia yang disampaikan oleh Yesus. Ia menyatakan bahwa orang-orang yang miskin, tertindas dan teraniaya adalah mereka yang empunya Kerajaan Allah.

Umumnya, orang menafsirkan Kerajaan Allah adalah suatu situasi ‘nanti’ dan bukan ’sekarang’. Tidak demikian! Sebagai murid Yesus, kita dituntut untuk hadir bagi sesama seperti Yesus telah melakukannya, juga berbicara, bertindak, menyembuhkan, berjuang dan mengampuni seperti Yesus. Kerajaan Allah harus terwujud di muka bumi ini. Karena itulah, kita semua terpanggil untuk menjadi bagian dari rencana keselamatan Allah ini!

Buku Pegangan bagi Promotor Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (Kanisius, 2001) menyarankan ‘pembacaan ulang’ terhadap Sabda Bahagia, sebagaimana dapat Anda baca berikut ini...

Pembacaan Kembali Sabda Bahagia
Tuhan, bantulah kami untuk menjadi sungguh-sungguh miskin, dengan tidak mencari gebyar, dan dengan gaya hidup sederhana.

Tuhan, bantulah kami untuk bersikap baik hati, lemah lembut, dan menjauhkan kekerasan, dalam gaya hidup kami, dan dengan mengembangkan sikap aktif tanpa kekerasan.

Tuhan, biarkanlah kami berduka cita melihat kejahatan di atas bumi, dan berusaha untuk melenyapkan kejahatan itu dengan memperhatikan setulus hati orang-orang yang menderita dan tertindas di negeri kami.

Tuhan, bantulah kami untuk berbelas kasih, dengan secara aktif berbelas kasih kepada orang-orang yang menjadi korban kekerasan dan peperangan, para pengungsi, dan orang-orang tergusur.

Tuhan, bantulah kami untuk menjadi pembawa damai, dengan menjadi jembatan dan alat perdamaian, antara orang-orang, ras, agama dan kebudayaan.

Tuhan, bantulah kami untuk bersikap adil, dengan berusaha sekuat tenaga untuk meningkatkan hubungan-hubungan yang benar dengan Allah, dengan semua orang, dan dengan segenap ciptaan lain.


Berdoa dengan Sabda Bahagia
Berbahagialah orang yang miskin...
bukan mereka yang tak punya sepeser pun uang melainkan orang yang hatinya bebas.

Berbahagialah orang yang berduka cita...
bukan mereka yang suka merengek-rengek melainkan orang yang mengangkat suaranya.

Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran...
bukan mereka yang suka merintih melainkan orang yang berjuang.

Berbahagialah orang yang murah hatinya...
bukan mereka yang lupa melainkan orang yang mengampuni.

Berbahagialah orang yang suci hatinya...
bukan mereka yang berlaku seperti malaikat melainkan orang yang hidupnya bening.

Berbahagialah orang yang membawa damai...
bukan mereka yang menghindari pertentangan melainkan orang yang menghadapinya secara jujur.

Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran...
bukan karena mereka menderita melainkan karena mereka mencinta.

Yang Terpilih

11 September 2007
Injil hari ini mengisahkan cara Yesus memilih murid-murid- Nya. Semalam-malaman, Ia berdoa kepada Bapa sebelum memanggil orang-orang yang Ia pilih.

Yang dilakukan Yesus sungguh unik dan menyentuh. Ia berdoa begitu lama. Kira-kira, apa yang dikomunikasikannya kepada Bapa-Nya? Apakah Ia meminta sesuatu? Ataukah Bapa memberikan petunjuk-petunjuk tertentu?

Saya membayangkan cara-cara yang biasa kita ambil ketika memutuskan untuk memilih rekan-rekan kerja kita. Sederet nama dibentangkan di meja lengkap dengan profil dan backgrounds mereka. Berbagai pertimbangan pun dijajaki. Si A memang pandai, tapi ia kelewat idealis dan keras sehingga sepi penggemar. Si B sama sekali tidak pintar tapi populer karena ia ramah dan pandai membawa diri. Si C, sudah tak pintar, tak populer pula... tapi ia punya teman-teman yang kaya dan berkuasa untuk dimanfaatkan. Apakah Yesus memiliki pertimbangan yang sama seperti kita? Apakah kemudian Ia mendapat orang-orang terbaik?

Yang jelas, kini kita bisa mengatakan bahwa Yesus memang telah menemukan orang-orang terbaik, karena Gereja masih ada dan terus berkembang hingga ribuan tahun lamanya! Tapi mari kita lihat mereka pada hari ditemukan oleh Yesus. Petrus, Andreas, Yakobus dan Yohanes adalah nelayan yang semalaman gagal total menangkap ikan; Yesus-lah yang kemudian memenuhi jala mereka. Matius adalah seorang pemungut cukai; Yesus memanggilnya ketika ia sedang sibuk menghitung uangnya. Tomas si skeptis, Filipus, Bartolomeus, Yakobus anak Alfeus dan Yudas Tadeus yang sederhana dan tak populer, Simon yang gerilyawan pemberontak Zelot dan Yudas Iskariot yang gemar uang. Melihat tokoh-tokoh itu pada hari ditemukannya mereka, kita mungkin berpikir: apa-apaan Yesus ini...

Tapi itulah Yesus! Ia tidak memilih orang-orang yang kaya atau berkuasa, bahkan ia tak selalu memilih orang yang lurus hidupnya. Dalam perjalanan para Rasul selanjutnya bersama Yesus, hidup mereka pun penuh dinamika. Petrus, yang disebut primus inter pares (yang utama di antara yang sejajar), adalah dia yang nyaris tenggelam di laut karena kurang percaya (lihat Matius 14:22-33), dia yang mengakui Yesus sebagai Mesias, Anak Allah (lihat Matius 16:13-20), namun juga dia yang menyangkal Yesus sebanyak tiga kali (lihat Matius 26:69-75), dan bukankah dia menghilang sejak itu hingga mendengar berita mengenai kosongnya kubur Yesus? Kendati semua Rasul tak percaya, Petrus-lah yang pergi ke kubur itu dan melihat kain kafan yang tergolek lemas (lihat Lukas 24:9-12). Lantas apa yang dilakukan Petrus selanjutnya? Ia kembali menjadi nelayan! Lalu, Yesus dengan kasih dan kesabaran-Nya, menampakkan diri dan menguatkan iman mereka (lihat Yohanes 21:1-14).

Mengingat perjalanan hidup Para Rasul ini, bukankah kita sendiri makin dikuatkan? Apapun latar belakang kita, bagaimanapun cara hidup kita, Allah telah memilih kita untuk menjadi saksi bagi-Nya dan pelaksana jalan keselamatan- Nya. Allah tidak memilih kita karena kebaikan, kekayaan, kekuatan, kekuasaan maupun ketenaran yang kita punya. Allah memilih karena kita mau dipilih.

Kalau begitu, mari hidup sebagaimana layaknya orang-orang yang dipilih dan dikasihi oleh Allah!

Takut

10 September 2007
Papaku seorang wartawan; ia telah menjadi wartawan sejak sebelum menikah. Banyak kisah hidupnya yang tak kuketahui, selain karena ‘ketiadaanku’ dalam masa-masa itu, tapi juga karena ayahku adalah seseorang yang pendiam, sehingga tak banyak cerita yang dituturkannya bagiku. Baru saja, ia menerbitkan bukunya yang berjudul Tapak Kecil di Kompas, Antara Pena dan Pistol (Dioma, 2007). Begitu banyak kisah yang tak kuketahui, sehingga buku kecil itu membuatku terkejut-kejut dari awal hingga akhir.

Menjadi wartawan bukan hal gampang, apalagi saat terpaksa berhadapan dengan kekuasaan ketika harus menyajikan suatu kebenaran. Aku membaca bagaimana Papa mengalami pergulatan batin saat berada di bawah tekanan militer sebagai akibat dari berita yang ditulisnya. Ia dipanggil ke kantor seorang pejabat militer untuk diinterogasi. Pejabat itu mengeluarkan pistol dan terang-terangan mengancam, “Jangan sampai saya menggunakan ini.” (hlm. 49).

Mudah memahami pergulatan batin Papa, karena pada tahun 1969 itu, banyak orang dipanggil ke kantor militer itu dan mereka tidak pernah kembali lagi, atau tidak diketahui nasib selanjutnya. Papa sendiri dikuatkan oleh Rm. Taman Dipoyudo O.Carm (alm.) -- yang pernah bertugas di MBK --, melalui pendampingan dan janjinya, “Saya akan terus memonitor.” (hlm. 46). Rm. Taman adalah seorang pastor tentara. Melalui bantuan Rm. Taman-lah Papa dapat melalui masa-masa sulit itu, bahkan terhindar dari hal-hal buruk yang menjadi teror dalam hidupnya.

Menjadi pengikut Kristus memang bukan hal yang mudah, bukan? Saat memutuskan untuk berpihak kepada yang lemah, menderita dan teraniaya sebagaimana dilakukan oleh Kristus sendiri, Papaku sekaligus juga memutuskan untuk menerima segala bentuk perlakuan tak menyenangkan, bahkan yang sampai mengancam nyawanya. Papaku tak sendirian; banyak wartawan lain mengalami hal serupa, bahkan menerima yang jauh lebih buruk lagi. Dunia pers mencatat nama-nama mereka yang telah dicoba dihapuskan dari sejarah. Nama-nama itu justru jadi melegenda; mengekalkan pengharapan bahwa mereka yang berjuang bagi kemanusiaan tak akan pernah dapat diakhiri begitu saja.

Hal semacam itulah yang hendak ditegaskan oleh Yesus melalui Injil hari ini. Yesus menyembuhkan orang pada hari Sabat. Dengan melakukannya, Ia menentang hukum dan orang Farisi pun menjadi marah. Padahal, Yesus menyembuhkan hanya karena hati-Nya tergerak oleh rasa iba terhadap penderitaan orang lain. Mengapa kemanusiaan harus kalah oleh aturan dan tunduk pada kekuasaan?

”Domba-domba- Ku mendengar suara-Ku karena mereka mengenal Aku!” sabda Tuhan (lihat Yohanes 10:27). Menjadi pengikut Yesus berarti menjalankan perintah-Nya dan meneladani perbuatan kasih-Nya. Dengan kata lain: tak perlu takut untuk melakukan suatu kebaikan meskipun dengannya kau justru melawan aturan dunia dan terpaksa berhadapan dengan kekuasaan... Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka. (Matius 10:28)

Rasio & Iman

06 September 2007

Sebagai nelayan, telah semalaman kita mencoba menangkap ikan, namun tak satu ekor pun didapat. Ketika pagi tiba, datang seorang asing untuk mengajar orang banyak. Sambil membereskan jala, kita mendengarkan pengajarannya itu. Tiba-tiba, orang asing itu meminta kita untuk kembali melaut dan menebarkan jala. Apa reaksi kita?

Mungkin saja, kita malahan merasa jengkel. Pertama, bukankah kita ini nelayan yang sehari-harinya bekerja mencari ikan? Siapakah orang itu, sehingga ia bisa-bisanya mengajari kita? Bukankah ia hanya seorang ’public speaker’; tahu apa ia tentang melaut? Kedua, bukankah kita sudah berusaha mencari ikan semalaman penuh dan gagal? Mengapa orang itu hendak ’membantah’ pengalaman kita?

Dalam dunia ilmu pengetahuan, pada dasarnya terdapat dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri pada rasio dan yang kedua mendasarkan diri pada pengalaman.

Pertanyaan yang menarik adalah: di manakah letak iman?

Petrus, melalui perjumpaannya dengan Yesus, menemukan jawabannya. Dalam Injil hari ini, Petrus-lah nelayan yang telah semalaman menangkap ikan dan gagal. Barangkali saat itu ia sudah hendak pulang dan beristirahat, namun masih sempat mendengar pengajaran dari seorang asing. Yang sungguh mengherankan, ia menuruti permintaannya! Padahal, Petrus sudah memberikan alasan dengan enggan, namun toh akhirnya ia kembali melaut dan menebar jala. “Kami sudah semalaman bekerja keras, tapi atas perintah-Mu, aku akan menebarkan jala,” begitu katanya kepada Yesus. Hasilnya? Ia mendapat ikan yang berlimpah!

Sebagai manusia, kita sering (bahkan mungkin selalu) didikte oleh rasio dan pengalaman dalam menjalani hidup. Kita menuruti apa kata rasio, atau apa yang diajarkan oleh pengalaman kita. Nah, iman justru seringkali menantang bahkan menentang rasio dan pengalaman. Bukankah Yesus mengajar kita untuk mengasihi musuh dan mendoakan mereka (lihat Matius 5:44), bahkan kalau perlu memberikan pipi kiri kepada orang yang telah menampar pipi kanan kita (lihat Matius 5:39)? Itu hanyalah satu contoh; masih banyak contoh yang lain!

Mengikuti Yesus bukan persoalan salah atau benar; sebab bukankah rasio dan pengalaman pun mempunyai kebenarannya sendiri? Mengikuti Yesus adalah persoalan hati! Maukah kita mengiyakan kehendak-Nya meskipun itu berarti menyangkal diri kita sendiri? Relakah kita meninggalkan atau melepaskan semua yang kita miliki? Maukah kita diubah?

Petrus telah mengesampingkan akal dan pengalamannya; ia memilih untuk menuruti permintaan seorang asing. Dengan melakukannya, ia menemukan iman dan hidupnya pun telah diubah untuk selamanya... ”Mulai sekarang, engkau akan menjadi penjala manusia!” sabda Yesus (lihat ayat 10).

Iman yang Dipertaruhkan

05 September 2007

Tentang Yesus yang menyembuhkan orang-orang sakit, kita semua sudah sering membacanya di Kitab Suci. Satu di antaranya adalah sebagaimana dikisahkan melalui Injil hari ini. Yesus menyembuhkan ibu mertua Simon, sepulang mengajar di Kapernaum. Melihat mukjizat itu, banyak orang datang berduyun-duyun membawa kerabatnya untuk disembuhkan oleh Yesus.

Keesokan harinya, Yesus pergi ke suatu tempat yang sunyi. Orang-orang pun mencari Dia, lalu ketika bertemu dengan-Nya, mereka pun berusaha menahan Yesus agar tinggal bersama mereka. Bagaimana reaksi Yesus? Ia berkata, ”Aku diutus untuk mewartakan Injil Allah, juga di kota-kota lain!” (lihat ayat 42-43).

Injil hari ini sungguh menarik; kita dapat mengetahui bahwa setelah menyembuhkan banyak orang, Yesus mencari tempat yang sunyi. Untuk apa? Saya yakin, Yesus membutuhkan tempat yang sunyi itu untuk beristirahat, menenangkan diri, bahkan untuk berkomunikasi dengan Bapa-Nya! Bukankah hal itu sama juga seperti kita; setelah melakukan pekerjaan yang melelahkan, kita pun butuh ketenangan untuk beristirahat dan memulihkan diri?

Dalam ketenangan itu, kita mencoba memikirkan yang lalu dan merencanakan yang akan datang. Agaknya Yesus pun demikian. Ia merenungkan kehendak Bapa atas diri-Nya. Oleh karena itu, ketika orang banyak datang kepada-Nya dan meminta-Nya untuk tinggal bersama mereka, Yesus menolak. Ia paham bahwa bukan itu yang dikehendaki oleh Bapa-Nya, sebab Ia harus mewartakan Bapa-Nya itu ke tempat-tempat lain.

Seandainya saja kita selalu bisa seperti Yesus... Seandainya saja kita selalu bisa menyatukan kehendak Bapa dengan kehendak kita, pasti semua akan begitu indah! Akan tetapi, kita tidak selalu seperti itu, bukan? Kita sering tergoda untuk berhenti dan tinggal di dalam kenyamanan-kenyaman an hidup kita. Kita tidak ingin melakukan sesuatu yang lain, yang barangkali berbeda dengan yang biasanya kita perbuat. Kita tidak ingin mengubah diri & hidup kita, karena tinggal dalam kemapanan tertentu membuat kita merasa aman, nyaman dan senang. Padahal, barangkali tanpa kita sadari, kita sudah menolak Allah yang hendak menjadikan hidup kita lebih baik lagi melalui segala rencana-Nya!

Tak semua rencana Allah mudah dipahami. Sebagian besar, barangkali tetap tinggal sebagai misteri. Tapi justru di situlah iman dipertaruhkan; ketika yang tersisa hanyalah sebuah kepercayaan yang besar, tatkala hidup yang harus ditempuh sama sekali tak menawarkan titik terang, apalagi jaminan tentang sebuah kenyamanan...

Luar Biasa

04 September 2007
Yesusku luar biasa! Kalimat itu saya dapati menjadi judul sebuah buku rohani untuk kaum muda. Judul yang menarik, bukan? Tentu si penulis punya semacam pengalaman tertentu dengan Yesus, sehingga bisa mengungkapkannya ke dalam kalimat pendek yang sungguh bernas itu: Yesusku luar biasa!

Ke-luarbiasa- an Yesus dapat dirasakan setiap orang. Dalam Injil hari ini, dikisahkan Yesus memukau banyak orang di Kapernaum dengan pengajaran-Nya, karena perkataan-Nya penuh kuasa (lihat ayat 32). Tak hanya kata-kata-Nya, perbuatan-Nya juga memukau. Yesus mampu mengusir roh jahat yang ada di dalam diri seseorang (lihat ayat 35).

Barangkali, orang-orang Kapernaum itu takjub melihat sosok Yesus yang luar biasa; jarang sekali orang mempunyai kekuatan berupa kata-kata dan tindakan secara sekaligus. Lagipula, Yesus tak hanya memukau manusia, melainkan juga menaklukkan setan! Wah, siapa yang mempunyai kekuasaan sebesar itu? Yang lebih hebat lagi, Yesus yang penuh kuasa itu diutus untuk membawa keselamatan dari Allah bagi manusia. Semata-mata untuk manusia!

Kita yang menjadi pengikut Yesus mungkin lantas berkecil hati... Mungkinkah aku dapat menjadi seperti Dia? Kata-kata dan tindakanku tak selalu selaras... Aku tak punya banyak kekuatan, karena seringkali menaklukkan diri sendiri saja sulit... Aku juga tak selalu mengutamakan kepentingan banyak orang, sebab lebih sering memikirkan kepentingan diriku sendiri saja...

Jangan sedih dan cemas! Santo Paulus menguatkan kita melalui suratnya yang indah: kamu semua adalah anak-anak terang dan anak-anak siang. Kita bukanlah orang-orang malam atau orang-orang kegelapan. Tetapi kita, yang adalah orang-orang siang, baiklah kita sadar, berbajuzirahkan iman dan kasih, dan berketopongkan pengharapan keselamatan. Karena Allah tidak menetapkan kita untuk ditimpa murka, tetapi untuk beroleh keselamatan oleh Yesus Kristus, Tuhan Kita (1 Tesalonika 5:5.8-9).

Tuhan tidak memilih kita karena kekuatan yang kita punya, atau menanti kita sempurna untuk ambil bagian dalam karya penyelamatan- Nya. Justru kita akan terus Ia sempurnakan di dalam karya penyelamatan itu sendiri. Yang perlu kita lakukan hanyalah membuka hati bagi kehadiran Allah sebagaimana Bunda Maria mengucapkannya, ”Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataan-Mu!”

Saudara

03 September 2007

“Tentu kalian akan mengatakan pepatah ini kepada-Ku: ’Hai Tabib, sembuhkanlah diri-Mu sendiri. Perbuatlah di sini, di tempat asal-Mu ini, segala yang kami dengar telah terjadi di Kapernaum’!” demikian sergah Yesus kepada orang-orang yang mengerumuni- Nya di Nazaret (lihat ayat 23).

Waktu itu, Yesus berada di tengah orang banyak untuk membacakan Kitab Suci dan mengajar mereka. Orang banyak itu terheran-heran, karena Yesus di mata mereka hanyalah seorang anak tukang kayu yang miskin. Bagaimana mungkin Ia dapat berkata-kata dengan begitu indah?

Yesus tentu begitu sedih sehingga mengucapkan hal ini, ”Tiada nabi yang dihargai di tempat asalnya sendiri! Ada banyak janda di Israel, tapi Elia diutus kepada seorang janda di Sidon. Ada banyak orang kusta di Israel, tapi Elia menyembuhkan Namaan, seorang Siria.” (lihat ayat 25-27). Perkataan Yesus itu memicu kemarahan orang banyak itu, sehingga Yesus diusir keluar kota.

Kalau kita mau sedikit merefleksikan Injil hari ini dan mengaitkannya dengan pengalaman hidup kita sehari-hari, mungkin akan terbayangkan situasi ini: di MBK, setiap akhir pekan, gereja disesaki banyak orang yang mengikuti misa. Berapa banyakkah orang yang sungguh-sungguh mendengarkan Sabda Allah, lalu sepulang misa, kembali kepada hidup sebagai sebuah perutusan? Apakah kita termasuk orang yang mendengarkan dan menjalankan Sabda Allah itu?

Yesus bukan hanya sekadar anak seorang tukang kayu miskin. Sejak semula, Ia adalah bagian dari rencana keselamatan Allah. Demikian juga halnya dengan kita. Sejak awal, kita diciptakan oleh Allah sesuai citra-Nya. Kita juga dianugerahi dunia beserta segala isinya untuk dikelola dan dikembangkan demi kesejahteraan bersama. Namun, apa yang telah kita perbuat? Kita kerap kali jatuh ke dalam dosa; kita rusak diri kita, kita rusak dunia beserta segala isinya. Dengan merusak semuanya itu, kita pun telah merusak wajah Allah.

Di Nazaret, betapa sedihnya Yesus ketika setelah mendengarkan kata-kata-Nya yang indah, orang justru bertanya dengan heran, ”Bukankah dia anak Yusuf, si tukang kayu itu?” Adalah sesuatu yang sangat menyedihkan, ketika orang tak lagi dapat melihat keilahian dalam diri orang lain, karena matanya telah tesaput kegemilangan duniawi! Bukankah kita sendiri juga mudah silau oleh harta/kekayaan, pangkat dan kekuasaan? Tak hanya silau! Kita seringkali takluk oleh harta, pangkat dan kekuasaan itu, sehingga berani menyimpang dari jalan yang digariskan Allah untuk kita.

Ada pengemis di sudut jalan itu, Saudara. Mendekatlah padanya. Pandangilah ia. Dapatkah kau lihat wajah Allah di sana? Pengemis itu barangkali sungguh-sungguh menderita; bisa jadi, ia mungkin juga hanya berpura-pura saja. Satu hal yang tak perlu kau terka adalah bahwa ia adalah saudaramu juga. Adalah tugas kita untuk mengembalikan martabatnya sebagai manusia.

Barangkali, sudah tiba waktunya untuk mengubah keberpihakan kita; bukan menjadi hamba bagi yang berkelimpahan, namun justru melayani yang berkekurangan. Paus Gregorius Agung menyebut dirinya sebagai abdi dari segala abdi (servus servorum Dei). Yesus pun berpesan, ”Barangsiapa melayani yang paling hina di antara kamu, ia melayani Aku!” (lihat Matius 25:40).

Talenta

01 September 2007
Hidup seorang Yuli Maiheni tak lagi sama ketika ia menjadi seorang pekerja rumah tangga (PRT). Ia adalah anak pertama dari enam bersaudara; lahir di Yogyakarta pada 15 Juli 1975. Berbagai persoalan yang dihadapi oleh orang tuanya memaksa Yuli tinggal bersama neneknya. ”Saya korban broken home. Orang tua saya bercerai dan masing-masing sudah menikah kembali, maka saya dititipkan ke Simbah (=nenek),” katanya. Keterbatasan biaya membuatnya tidak bisa melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Ia hanyalah tamatan sekolah menengah pertama (SMP).

Menjadi seorang PRT pun terpaksa ia lakukan. Oleh tetangga, ia diajak untuk bekerja di Jakarta. Empat tahun lamanya ia bertahan di kota megapolitan itu, sebelum sang nenek memaksanya untuk pulang ke Yogyakarta. Yuli menurut, lalu mencari pekerjaan di daerah yang lebih dekat. Ia menjadi PRT bagi sebuah keluarga muda di wilayah Godean, Yogyakarta.

Majikan baru ini sangat baik. Yuli diberi banyak kesempatan dan kemudahan untuk berkembang. Ia dibekali banyak pendidikan keterampilan seperti memasak dan menjahit. Selain itu, Yuli juga diperkenankan mengikuti kegiatan pengajian PRT di kompleks perumahan tempatnya menetap. Aktivitas pengajian itulah yang membuka mata Yuli, dan mengubah hidupnya untuk selamanya.

Yuli disadarkan bahwa banyak PRT yang tak seberuntung dirinya. Banyak PRT yang mengalami tindak kekerasan oleh majikan; disiksa dan dianiaya sebagai bentuk hukuman fisik atau sekadar pelampiasan kemarahan si majikan. Banyak PRT yang gajinya tidak dibayarkan, atau dibayar dengan jumlah yang jauh di bawah kesepakatan. Banyak PRT yang tak diberi makan secara cukup, atau berada dalam kondisi rawan gizi.. Banyak PRT yang dipaksa untuk bekerja terus-menerus oleh majikan dan tidak pernah diberi hari libur. Banyak PRT yang sama sekali tak mempunyai akses pada pendidikan dan tak diperbolehkan keluar rumah oleh majikan, sehingga bagi mereka, pintu bagi pengembangan diri telah tertutup sama sekali.

Yuli pun gelisah menyadari penderitaan sesamanya. ”Setiap saya mendengar masalah yang datang dari PRT, hati saya seolah-olah selalu terpanggil untuk melakukan sesuatu. Kalau sudah begini saya tidak memedulikan lagi segala kesulitan yang akan saya hadapi, yang penting saya bisa membantu,” katanya. Yuli pun berhenti menjadi PRT dan menjadi anggota sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memberikan layanan pendampingan bagi para PRT.

Yuli harus belajar banyak. Ia tak hanya berhadapan dengan PRT yang mengeluhkan kesusahan hidupnya, melainkan juga harus berurusan dengan majikan yang kejam. Ia harus menggalang simpati dan dukungan dari masyarakat agar PRT dapat menjalani kehidupan yang lebih bermartabat. Yang paling berat adalah mengambil bagian dalam perumusan kebijakan pemerintahan; bersama pemerintah daerah, menggagas sebuah peraturan yang akan menjadi jaminan atas hak-hak PRT sebagai manusia serta menjadi perlindungan hukum bagi mereka. Hingga kini, setelah bertahun-tahun, peraturan itu masih menjadi perdebatan di Pemerintahan Kota Yogyakarta. Kalaupun peraturan itu telah disahkan, Yuli dan kawan-kawan masih harus mendorong daerah-daerah lain untuk memiliki peraturan daerah (Perda) yang serupa, juga mendorong Pemerintah RI untuk membuat undang-undang mengenai PRT. (Catatan: sebagai perbandingan, Filipina telah memiliki undang-undang mengenai hal tersebut.)

Seorang Yuli Maiheni bukan lagi gadis cilik yang miskin, bodoh dan tak punya masa depan. Ia, yang tadinya barangkali hanya memiliki satu talenta saja, telah mengembangkan talenta itu sedemikian rupa, sehingga hasilnya menjadi puluhan kali lipat. Yuli tak lagi miskin; ia punya pekerjaan yang bermartabat dan dengan cara itulah ia mencukupi kebutuhan hidupnya. Yuli tak lagi bodoh; ia banyak belajar sehingga tak gentar berdebat mengenai hukum dan hak asasi manusia dengan pejabat pemerintahan dan pemegang kekuasaan lain di masyarakat. Yuli tak lagi suram masa depannya; di tangannya kini, justru tergenggam masa depan begitu banyak orang yang harus terus diperjuangkan, hanya supaya orang-orang itu dapat hidup secara lebih manusiawi.

Injil hari ini, perumpamaan yang disampaikan Yesus tentang talenta, semoga menjadi bahan refleksi yang dalam bagi kita. Bila seorang Yuli Maiheni saja, yang begitu penuh dengan keterbatasan itu, mampu mengembangkan diri dan hidup seluas-luasnya, bagaimana dengan kita? Barangkali persoalannya bukan terletak pada jumlah talenta yang kita punya, melainkan pada kemauan untuk menanggapi dunia dengan hati, menjawab panggilan Allah, dan dengan demikian berarti menjadi bagian dari rencana keselamatan- Nya yang indah.

Bahan tentang Yuli Maiheni: Jurnal Perempuan, edisi 39 (2005), hlm. 100-109.

Juni 09, 2008

Yang Bijaksana & Yang Bodoh

31 Agustus 2007

Seorang tua yang bijak, dengan nada suara jenaka pernah berkata kepadaku, “Saat kau seumurku nanti, kau akan lebih banyak menyesali hal-hal yang belum pernah kau lakukan ketimbang hal-hal yang telah kau perbuat!”

Aku tidak sepenuhnya mengerti maksud ucapan itu, tapi menurutinya saja. Perlukah meragukan kearifan seseorang yang telah hidup jauh lebih lama daripada kita? Aku pun pergi dan menjelajahi dunia; ibarat lagu yang didendangkan seorang biarawati dalam film klasik The Sound of Music: Climb every mountain, search high and low, follow every biway, every part you know...Climb every mountain, follow every stream, follow every rainbow till you find your dream...

Perjalanan itu ternyata memang penuh dinamika. Bahkan, tak semua jalan menawarkan kebaikan. Ada jalan yang tampaknya lurus, namun ujungnya mengandung maut. Sebaliknya, ada jalan yang awalnya kelihatan sama sekali tak meyakinkan, tapi pada akhirnya mengantar kepada kemuliaan.

Perjalanan iman pun demikian halnya. Aku pernah membaca sebuah tulisan yang sayangnya tak kuingat lagi nama pengarangnya, yang menyatakan bahwa ’iman yang hidup adalah iman yang sungguh-sungguh bergulat dengan hidup itu sendiri’...

Iman mendapat tantangannya dalam hidup. Iman bukan sekadar kepercayaan, melainkan juga sebuah ketetapan hati; dan ketetapan hati itu harus menjumpai ujian-ujiannya sendiri. Iman tak boleh hanya berupa warisan, tetapi ia hendaknya lahir dari sebuah keputusan; dan keputusan itu adalah semacam kesetiaan pada sebuah visi yang kekal... The dream, that will need all the love you can give; every day of your life for as long as you live...

Injil hari ini berkisah tentang perumpamaan mengenai gadis-gadis bijaksana dan gadis-gadis yang bodoh. Gadis yang bijaksana menyimpan kelebihan minyak untuk berjaga-jaga, namun gadis yang bodoh menghabiskan semua minyaknya. Apa yang sekiranya hendak disampaikan Yesus melalui perumpamaan ini?

Apapun yang boleh kita kerjakan di dunia ini, hendaknya itu dapat mengantar kita kepada kehidupan yang kekal. Selalu ada minyak yang harus disimpan, sebab kita tidak tahu waktu ketika kekekalan itu akan tiba. Jikalau ia belum juga tiba ketika kita tak lagi mempunyai minyak, bukankah pelita tak akan menyala? Pelita itu akan padam! Lalu dengan apakah kita akan menerangi jalanan panjang yang masih harus disusuri itu? Di dalam kegelapan, bukankah sangat mungkin kita akan tersandung dan jatuh? Ketika kemudian berdiri untuk melanjutkan perjalanan kembali, bagaimana kita dapat merasa yakin bahwa jalan yang sedang ditapaki adalah jalan yang benar, atau jalan yang masih sama seperti sebelumnya?

Gadis-gadis yang bijaksana memelihara iman, harapan dan kasih sambil menantikan Pengantinnya. Gadis yang bodoh lebih suka menghabiskan semuanya itu dan menyadari pada akhirnya, bahwa ia telah menukar Pengantinnya yang berharga dengan ketidakmengertiannya yang sia-sia...

Keselamatan

30 Agustus 2007

Yesus berkata kepada kita, ”Hendaklah kalian selalu siap siaga, sebab Anak Manusia datang pada saat yang tidak kalian duga!” (lihat ayat 44)

Kesetiaan itu bukan hal mudah. Untuk menjadi setia, orang harus terus-menerus memupuk kepercayaan kepada yang disetiai. Kepercayaan itulah yang akan menjaga kesetiaan sehingga tidak gampang rasanya untuk meninggalkan orang yang disetiai itu begitu saja.

Allah itu setia. Ia tidak pernah meninggalkan manusia, meskipun manusia senantiasa berbuat dosa dan dengan demikian menjadi tidak setia kepada Allah. Ketidaksetiaan manusia, justru semakin menunjukkan kesetiaan Allah! Jika di antara mereka ada yang tidak setia, dapatkah ketidaksetiaan itu membatalkan kesetiaan Allah? Sekali-kali tidak! (Roma 3:3-4a).

Lalu mengapa manusia seringkali tidak setia kepada Allah? Bisa saja, hal itu terjadi karena kurang percaya pada segala kehendak dan rencana-Nya yang indah. Kita tertawa saat kehendak Allah yang baik dan menyenangkan terjadi atas kita, namun kita marah dan kecewa ketika kehendak Allah tak selalu terasa menyenangkan untuk dihadapi atau dijalani. Dapatkah kita, dengan rela, selalu bersikap sebagaimana Maria, ”Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu!” ?

Bisa juga, kita tak mengerti bahwa Allah mempunyai rencana besar atas hidup kita, sehingga kita malahan melalaikan tugas-tugas yang justru akan membuat kita semakin pantas bagi-Nya. Allah selalu mengajak kita mengambil bagian dari rencana keselamatan- Nya! Santo Paulus menulis: di dalam segala kesusahan dan penderitaan kami, kami terhibur oleh berita tentang kalian. Percayamu kepada Kristus membesarkan hati kami, sehingga sekarang kami merasa sungguh-sungguh hidup, asal kalian tetap berdiri teguh, bersatu dengan Tuhan (1 Tesalonika 3:7-8).

Kesetiaan pada Allah; itulah yang akan mengantar kita kepada keselamatan yang sejati. Kesetiaan kepada Allah itu jugalah yang akan menjadikan Gereja sungguh-sungguh menjadi komunitas umat beriman yang berpengharapan!

Munafik!

29 Agustus 2007

Munafik! Kata itulah yang mungkin terlintas di benak kita, terucapkan dalam diam, atau barangkali dilontarkan dengan keras ketika menyikapi orang lain yang tindakannya tidak sesuai dengan ucapannya. Ah ya, mengapa kita selalu saja terlalu cepat menilai dan menghakimi orang lain?

Dalam Injil hari ini, Yesus sekali lagi memberi teguran keras kepada para ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Kali ini, teguran Yesus berkaitan dengan cara hidup mereka yang menurut-Nya munafik (lihat ayat 27). Yesus mengetahui segala perkara. Teguran Yesus itu pasti didasari pengetahuan yang benar adanya. Teguran itu pun bukan semata-mata karena Yesus tidak suka pada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Sebaliknya, dengan cinta-Nya yang kekal itu, Ia justru ingin agar mereka mengubah cara hidup yang kurang baik itu dan dengan demikian menjadi bagian dari rencana keselamatan Allah. Bagaimanapun, para ahli Taurat dan orang Farisi adalah tokoh-tokoh yang dapat menjadi contoh dan teladan bagi masyarakat, yang mempunyai peran untuk mengantar umat kepada keselamatan kekal.

Seandainya kita Mahatahu, Maha-adil dan Mahabijaksana seperti Yesus, mudah sekali bagi kita untuk memberi komentar atas hidup orang lain, bahkan sampai-sampai menyebutnya munafik. Masalahnya, kita ini tidak mahatahu, maha-adil atau mahabijaksana. Sampai hatikah kita memberikan komentar mengenai orang lain, apalagi menghakimi dia?

Gereja adalah kumpulan umat beriman yang saling menyempurnakan dan menguduskan. Kita semua memang belum sempurna apalagi kudus. Orang-orang yang ’tampaknya’ munafik banyak bertebaran di sekitar kita, tapi itu belum tentu karena memang munafik! Bisa saja, ia telah mengerti tentang cara hidup yang benar, akan tetapi ia sendiri perlu banyak bantuan untuk hidup secara benar itu. Bukankah itu panggilan bagi kita, untuk saling menyempurnakan? Apa gunanya mengomentari atau menghakimi orang lain, jika kita tidak pernah membantunya mengatasi segala kelemahan dan dosa-dosanya?

Jangan-jangan, kita yang kerap memberi komentar atau menghakimi orang lain itulah yang sesungguhnya munafik... Nah!

Komunitas Pengharapan

28 Agustus 2007

Saya pernah mengikuti misa di sebuah kota kecil, di dalam gereja yang juga kecil dan sedikit gerah. Ada hal yang membuat saya terheran-heran. Ketika masuk gereja, orang bukannya langsung duduk dan berdoa, melainkan sibuk menyapa orang-orang lain yang sudah terlebih dulu berada di dalam gereja. Sapaan itu kadang hanya anggukan yang disertai senyum, tapi tak jarang juga tepukan di bahu, jabatan tangan erat, bahkan ditambahi obrolan singkat. Sebagai orang asing di gereja itu, saya bahkan mendapat sapaan berupa senyuman ramah dan ucapan, “Selamat pagi...”

Yang juga tak biasa bagi saya adalah kesibukan mereka dalam melayani satu sama lain. Seusai misa, saudara saya menyempatkan diri untuk berkumpul dengan beberapa orang. Saya menguping pembicaraan mereka. Wah, mereka ribet sekali membicarakan persoalan umat, yang menurut saya hanya soal kecil saja. Misalnya, kepada seseorang suaminya baru meninggal, mereka merencanakan banyak sekali hal untuk mendampingi janda itu. Lalu, mereka juga merencanakan banyak hal untuk memberikan bantuan kepada satpam sebuah sekolah dasar yang sakit-sakitan. Tak hanya soal bentuk konkret bantuan atau pendampingan, tapi juga sampai cara yang digunakan, orang yang tepat untuk melakukannya, dan banyak hal lain.

Barangkali, saya telah menjadi seseorang yang sangat praktis sehingga kehilangan spiritualitas. Ketika harus mengirimkan bantuan beras kepada seseorang, mungkin cara yang saya tempuh adalah mencari orang yang bisa melakukannya secara berkala. Akan tetapi, bukan itu yang dilakukan oleh saudara saya dan teman-temannya. Mereka mengatur agar setiap pengurus lingkungan mendapat jatah kunjungan, karena ia ingin agar si satpam tidak hanya diberi beras tapi juga diajak ngobrol dan curhat!

Dalam Injil hari ini, Yesus mengritik keras orang-orang Farisi yang mengutamakan peraturan agama namun mengabaikan yang terpenting dari hukum itu sendiri, yakni keadilan, belas kasih dan kesetiaan (lihat ayat 23). Dengan kata lain, orang-orang Farisi itu mementingkan kewajiban yang harus dilakukan oleh umat, namun mengabaikan hak-hak mereka untuk mendapatkan keadilan dan belas kasih itu.

Injil hari ini membuat saya merenung dalam. Apakah sebagai Gereja, kita sudah menjadi seperti yang Yesus inginkan? Seringkali, kita hanya berhenti pada kewajiban-kewajiban agama saja, seperti mengikuti 10 Perintah Allah, ikut misa di gereja, datang ke pendalaman iman/pertemuan lingkungan, bayar iuran kematian, bayar amplop APP/Natal, memberikan bantuan pada yang miskin... Tapi apakah kita pernah menjadi Gereja yang sesungguhnya, yang menunjukkan bahwa cinta kasih adalah nilai utama dalam hidup ini, bahwa Gereja adalah komunitas yang memberikan harapan dalam hidup yang berat? Apakah kita telah mengerti bahwa memberikan bantuan kepada yang miskin itu bukanlah kemurahan hati, melainkan pembelaan yang radikal terhadap hak-hak si miskin itu? Itulah bentuk konkret dari kasih yang menyempurnakan, sebab bukankah kita dipanggil untuk saling menyempurnakan? Dunia ini diciptakan Tuhan untuk kepentingan semua orang, yang harus dikembangkan bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri melainkan untuk kepentingan bersama (bdk. Kejadian 1:1-31).

Apa yang boleh kita lakukan atau usahakan selama ini, mungkin sudah cukup baik sehingga kita tak perlu berkecil hati. Akan tetapi, bagi Tuhan dan sesama, tak boleh hanya sekadar ‘cukup baik’, melainkan harus selalu lebih baik dan lebih baik lagi. Hanya dengan cara itulah, Kerajaan Allah akan benar-benar mewujud di dunia ini!

Pemimpin Karismatis

27 Agustus 2007

Kita mengenal banyak pemimpin karismatis di dunia ini. Pemimpin karismatis adalah pemimpin yang memiliki karisma, yakni bakat yang dihubungkan dengan kemampuan yang luar biasa dalam hal kepemimpinan seseorang untuk membangkitkan pemujaan dan rasa kagum dari masyarakat terhadap dirinya; karisma dapat diartikan juga sebagai atribut kepemimpinan yang didasarkan atas kualitas kepribadian individu (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Kita dapat menyebut beberapa nama. Di Indonesia misalnya, katakanlah Bung Tomo (alm.), Ir. Soekarno (alm.) dan anaknya Megawati Soekarnoputri. Tak hanya dunia politik, banyak juga tokoh-tokoh di bidang lain yang dipuja seperti musisi Iwan Fals yang mampu mengorganisasi anak-anak muda untuk melakukan hal-hal yang kreatif & produktif, musisi Harry Roesli (alm.) yang memberikan kehidupan lebih baik kepada anak-anak jalanan, serta Rm. Y.B. Mangunwijaya (alm.) yang setia mendampingi kaum miskin dan mengembangkan sekolah alternatif. Di luar Indonesia, kita dapat dengan mudah menyebut nama Che Guevara, yang siluet wajahnya terpampang di mana-mana. Ada juga Bunda Teresa (alm.), Gandhi (alm.), Nelson Mandela, bahkan Kurt Cobain, gitaris kelompok musik Nirvana yang mati bunuh diri.

Tidak setiap orang dapat menjadi pemimpin karismatis. Artinya, setiap orang memiliki keistimewaannya sendiri. Seorang pemimpin karismatis mungkin saja istimewa, tapi keistimewaannya itu hanyalah dalam hal kemampuan untuk menggerakkan orang supaya memuja dan mengikuti perkataannya. Seorang pemimpin karismatis juga memiliki peluang yang sama dengan orang-orang berkeistimewaan lain, dalam hal dosa.

Dalam Injil hari ini, Yesus menegur dengan keras para ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sebab mereka menutup pintu Kerajaan Surga di depan orang. Mereka sendiri tidak masuk melalui pintu itu, dan menghalangi orang untuk melewatinya (lihat ayat 13). Apakah yang sesungguhnya dimaksud oleh Yesus?

Pemimpin karismatis, meskipun memiliki keistimewaan dan bakat yang luar biasa, tidak selalu membawa pengikut atau pengagumnya kepada keselamatan. Keistimewaan dan bakat itu hanyalah sarana, dan visi yang keliru bisa memperbudak keduanya. Kita mengenal pemimpin-pemimpin karismatis yang membawa manusia kepada keselamatan: Bunda Teresa yang merawat orang-orang menderita sekaligus menegakkan hukum cinta kasih, Martin Luther King yang juga dengan berpedomankan kasih dan pengampunan membebaskan bangsa Afro-American dari ketidakadilan, serta Nelson Mandela yang memutus rantai kebencian dan balas dendam melalui rekonsiliasi.

Akan tetapi, kita juga mengenal tokoh-tokoh karismatis yang membawa manusia kepada kehancuran: Adolf Hitler yang mengajak pengikutnya mencapai kemuliaan dengan cara membinasakan yang lain, tokoh-tokoh sekte keagamaan seperti Credonia Mwerinde dari Uganda yang mengajak pengikutnya untuk melakukan bunuh diri massal serta tokoh-tokoh pemeritahan yang mengarang kebohongan publik yang sedemikian memukau sehingga dipercaya sebagai kebenaran tunggal namun disarati oleh berbagai kepentingan dan kekejaman kepada mereka yang menjadi korban.

Pemimpin karismatis yang tak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga ini, tentu saja juga tak akan membuat pengikut atau pengagumnya masuk ke dalam Kerajaan Surga. Barangkali, dengan atau tanpa mereka sadari, mereka justru sangat gembira bahwa para pengikut itu akan setia menyertai mereka, bahkan sampai ke neraka. Mereka inilah serigala, yang bukan lagi menyamar sebagai domba, melainkan berani mengenakan jubah dan menyandang tongkat gembala.

Kita harus sangat berhati-hati menghadapi orang-orang semacam itu. Untuk dapat melewati pintu Kerajaan Surga, kita hanya perlu berpedomankan arahan dari Allah, serta merelakan diri dibantu oleh orang-orang yang setia kepada visi Kerajaan Surga.

Kita juga harus sangat berhati-hati dengan diri kita sendiri. Barangkali, kita adalah pemimpin-peminpin karismatis semacam itu, yang senang mempesona orang dengan bakat dan keistimewaan kita, namun mengarahkan orang-orang itu kepada kehancuran, bukannya kepada keselamatan yang menanti di balik pintu Kerajaan Surga...

Kaya & Miskin

21 Agustus 2007

Hari ini, Yesus bersabda kepada kita, “Sungguh, sukar sekali bagi orang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Surga! Lebih mudah seekor unta masuk melalui lubang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Surga!” (lihat ayat 23-24).

Apakah Yesus tidak menyukai orang-orang kaya? Apakah dengan keberpihakannya kepada yang miskin dan tertindas, Yesus sekaligus menyatakan ketidaksenangannya kepada orang kaya? Apakah yang salah dari orang-orang kaya, sehingga mereka sulit untuk masuk ke dalam Kerajaan Surga?

Aku percaya, Yesus mengasihi kita semua tanpa membeda-bedakan kaya atau miskin. Kalaupun ada yang ingin ‘diperangi’ oleh Yesus dalam diri kita, itu adalah kelemahan dan dosa-dosa kita. Bukan hanya orang kaya yang berdosa; orang miskin pun berdosa. Tapi lalu mengapa orang kaya yang sering menjadi sorotan? Siapakah orang-orang kaya itu?

Orang kaya adalah orang yang serba berkecukupan. Ia memiliki hampir segalanya. Orang-orang semacam ini, dalam hal materi, tidak lagi membutuhkan bantuan dari siapapun. Bukankah ia sudah dapat mencukupi segala kebutuhannya sendiri?

Berbeda halnya dengan orang-orang miskin; mereka hampir tidak pernah dapat mencukupi kebutuhannya sendiri. Yesus sangat mengasihi orang miskin, karena seringkali mereka berada dalam kondisi yang memprihatinkan dan terancam tak dapat hidup secara layak atau manusiawi. Kemiskinan, pada satu titik, ternyata mengancam kemanusiaan. Bukankah di sekitar kita, mudah sekali dijumpai orang-orang miskin di pemukiman kumuh yang berusaha untuk bertahan hidup tanpa air bersih, fasilitas MCK yang memadai, tata ruang perumahan yang teratur, pemenuhan nutrisi yang cukup dan banyak lagi persyaratan minimal bagi kesehatan dan tumbuh-kembang anak-anak. Tidakkah kita sedih melihat kondisi tersebut? Mereka adalah sesama kita juga; tapi hidup macam apakah yang mereka jalani itu? Masihkah kita dapat melihat wajah Allah di wajah-wajah mereka, mengingat mereka pun, sama seperti kita, diciptakan oleh Allah sesuai dengan citra-Nya?

Kemiskinan adalah panggilan bagi kekayaan. Hanya dalam situasi ‘miskin’-lah kita memupuk harapan akan sesuatu yang lebih baik. Kemiskinan memberikan peluang bagi kita untuk menerima yang lain. Kemiskinan menjadi ancaman, ketika kemiskinan itu justru memusnahkan harapan akan sesuatu yang lebih baik itu. Kemiskinan menjadi ancaman, ketika kemiskinan makin menjerumuskan orang ke dalam dosa. Bukankah kita sering melihat di televisi, banyak orang tertangkap karena mencuri, menipu dan merampas milik orang lain hanya karena mereka miskin? Sampai kapankah kita tahan untuk melihat bagaimana kemiskinan menghancurkan kemanusiaan?

Kekayaan pun menjadi gagap ketika bertemu kemiskinan, ketika kekayaan tak lagi mampu menyumbangkan sesuatu bagi kemanusiaan. Kekayaan menjadi sia-sia ketika tak lagi mampu berbagi. Orang-orang kaya tak dibenci Allah karena kekayaannya. Mereka justru ditantang untuk dapat ‘mengatasi’ kekayaan itu; tidak terjebak dalam semua kenikmatan hidup yang ditawarkannya dan karenanya juga mengabaikan hal-hal lain yang lebih penting dari sekadar kenikmatan hidup.

Karena itulah, jika kita semua dipenuhi oleh cinta yang menyala-nyala satu dengan yang lain, tak akan ada lagi batas antara yang kaya dan miskin; yang ada hanyalah sekumpulan orang yang saling memberi dan saling menerima, dalam kelebihan dan kekurangan mereka. Itulah situasi Kerajaan Allah!