Juni 09, 2008

Komunitas Pengharapan

28 Agustus 2007

Saya pernah mengikuti misa di sebuah kota kecil, di dalam gereja yang juga kecil dan sedikit gerah. Ada hal yang membuat saya terheran-heran. Ketika masuk gereja, orang bukannya langsung duduk dan berdoa, melainkan sibuk menyapa orang-orang lain yang sudah terlebih dulu berada di dalam gereja. Sapaan itu kadang hanya anggukan yang disertai senyum, tapi tak jarang juga tepukan di bahu, jabatan tangan erat, bahkan ditambahi obrolan singkat. Sebagai orang asing di gereja itu, saya bahkan mendapat sapaan berupa senyuman ramah dan ucapan, “Selamat pagi...”

Yang juga tak biasa bagi saya adalah kesibukan mereka dalam melayani satu sama lain. Seusai misa, saudara saya menyempatkan diri untuk berkumpul dengan beberapa orang. Saya menguping pembicaraan mereka. Wah, mereka ribet sekali membicarakan persoalan umat, yang menurut saya hanya soal kecil saja. Misalnya, kepada seseorang suaminya baru meninggal, mereka merencanakan banyak sekali hal untuk mendampingi janda itu. Lalu, mereka juga merencanakan banyak hal untuk memberikan bantuan kepada satpam sebuah sekolah dasar yang sakit-sakitan. Tak hanya soal bentuk konkret bantuan atau pendampingan, tapi juga sampai cara yang digunakan, orang yang tepat untuk melakukannya, dan banyak hal lain.

Barangkali, saya telah menjadi seseorang yang sangat praktis sehingga kehilangan spiritualitas. Ketika harus mengirimkan bantuan beras kepada seseorang, mungkin cara yang saya tempuh adalah mencari orang yang bisa melakukannya secara berkala. Akan tetapi, bukan itu yang dilakukan oleh saudara saya dan teman-temannya. Mereka mengatur agar setiap pengurus lingkungan mendapat jatah kunjungan, karena ia ingin agar si satpam tidak hanya diberi beras tapi juga diajak ngobrol dan curhat!

Dalam Injil hari ini, Yesus mengritik keras orang-orang Farisi yang mengutamakan peraturan agama namun mengabaikan yang terpenting dari hukum itu sendiri, yakni keadilan, belas kasih dan kesetiaan (lihat ayat 23). Dengan kata lain, orang-orang Farisi itu mementingkan kewajiban yang harus dilakukan oleh umat, namun mengabaikan hak-hak mereka untuk mendapatkan keadilan dan belas kasih itu.

Injil hari ini membuat saya merenung dalam. Apakah sebagai Gereja, kita sudah menjadi seperti yang Yesus inginkan? Seringkali, kita hanya berhenti pada kewajiban-kewajiban agama saja, seperti mengikuti 10 Perintah Allah, ikut misa di gereja, datang ke pendalaman iman/pertemuan lingkungan, bayar iuran kematian, bayar amplop APP/Natal, memberikan bantuan pada yang miskin... Tapi apakah kita pernah menjadi Gereja yang sesungguhnya, yang menunjukkan bahwa cinta kasih adalah nilai utama dalam hidup ini, bahwa Gereja adalah komunitas yang memberikan harapan dalam hidup yang berat? Apakah kita telah mengerti bahwa memberikan bantuan kepada yang miskin itu bukanlah kemurahan hati, melainkan pembelaan yang radikal terhadap hak-hak si miskin itu? Itulah bentuk konkret dari kasih yang menyempurnakan, sebab bukankah kita dipanggil untuk saling menyempurnakan? Dunia ini diciptakan Tuhan untuk kepentingan semua orang, yang harus dikembangkan bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri melainkan untuk kepentingan bersama (bdk. Kejadian 1:1-31).

Apa yang boleh kita lakukan atau usahakan selama ini, mungkin sudah cukup baik sehingga kita tak perlu berkecil hati. Akan tetapi, bagi Tuhan dan sesama, tak boleh hanya sekadar ‘cukup baik’, melainkan harus selalu lebih baik dan lebih baik lagi. Hanya dengan cara itulah, Kerajaan Allah akan benar-benar mewujud di dunia ini!

Tidak ada komentar: