Juni 11, 2008

Pergulatan

18 September 2007

Berbahagialah orang yang menaruh belas kasihan pada orang yang menderita! (lihat Amsal 14:21b). Dalam Injil hari ini, dikisahkan Yesus tersentuh melihat seorang janda yang menangis karena anaknya tunggalnya mati. Yesus berkata kepada janda itu, “Jangan menangis!” Tak hanya berkata-kata saja, Ia bahkan membangkitkan anak itu dari kematian.

Yesus sungguh penuh perhatian dan murah hati. Ia masuk ke kota itu bersama para murid dan banyak orang; tentu Ia sibuk bercakap-cakap dan menjawab berbagai pertanyaan yang dilontarkan mereka kepada-Nya. Dengan dikelilingi banyak orang seperti itu, Yesus masih dapat melihat hal-hal yang terjadi di luar kelompok-Nya, terutama memandang mereka yang menderita.

Aku membayangkan situasi ini: Yesus tengah menjadi pusat perhatian dalam rombongan kecil itu. Setiap orang menatap keada-Nya dengan penuh kagum dan mungkin juga, dengan pandangan memuja. Bukankah Ia adalah guru dan ‘idola’ mereka? Tiba-tiba, Yesus keluar dari rombongan kecil itu dan nyelonong menuju si janda untuk mengatakan, “Jangan menangis!” Sangat wajar bukan, jika orang-orang yang ada di sana menjadi terperangah?

Ini adalah suatu ‘teguran’ untuk kita! Bukankah kita punya kecenderungan untuk lebih memperhatikan orang-orang yang dekat dengan kita saja? Kita selalu disibukkan oleh mereka yang menjadi inner circle kita, lupa bahwa sesama kita adalah semua manusia, bukan hanya inner circle saja! Mampukah kita melihat penderitaan orang-orang yang tidak berada dekat dengan kita? Lebih konkretnya lagi: mampukah kita berbuat sesuatu untuk menolongnya? Tidak mudah melakukannya!

Terhadap orang yang dekat dengan kita, mudah memberinya pertolongan karena selain kita telah mengenal dia (sehingga tahu persis yang dibutuhkannya) , kecil kemungkinan orang itu menolak karena dia pun telah mengenal kita. Tapi bagaimana jika kita bermaksud menolong orang yang tidak dekat dengan kita? Ada risiko dicurigai, bahkan ditolak! Artinya, kita harus siap dengan kemungkinan bahwa yang kita niatkan baik belum tentu diterima secara baik oleh orang yang kita hadapi.

Yesus membangkitkan anak janda itu dari mati. Sebegitu murah hatikah Yesus? Tentu saja ya! Bukankah Ia telah banyak menyembuhkan orang dan membangkitkan sejumlah orang dari kematian? Hanya orang-orang yang berhati lembut-lah yang dapat melihat penderitaan sesamanya serta berbuat sesuatu yang konkret bagi sesamanya itu. Akan tetapi, Injil hari ini mengandung suatu permenungan yang lebih dalam dari sekadar kemurah-hatian Yesus.

Situasi penderitaan janda itu, di mata Yesus, mungkin menjadi gambaran situasi yang akan dihadapi oleh ibu tercinta-Nya, Maria, ketika kelak Yesus harus memenuhi kehendak Bapa. Tidak tanggung-tanggung, Maria bahkan akan merasakan penderitaan yang sangat berat dengan melihat proses penyaliban Yesus. Yesus menyaksikan seorang janda dan hati-Nya pun tersentuh; apakah Yesus melihat gambar ibu-Nya pada diri janda itu? Bukankah yang mati adalah anak laki-lakinya yang tunggal?

Mukjizat yang dilakukan Yesus kali ini sungguh luar biasa, karena Ia sekaligus mewartakan yang akan dialaminya kelak. Ia membangkitkan anak laki-laki tunggal seorang janda, sama seperti Ia, anak tunggal Allah, nantinya akan bangkit dari mati. Yang dilakukan oleh Yesus ini adalah suatu peneguhan; Ia mengembalikan kegembiraan dan harapan bagi si janda dan keluarganya, sekaligus juga menjanjikan sukacita yang besar kepada para murid dan pengikut-Nya.

Bagi kita sendiri yang mengimani Dia, sungguhkah kebangkitan Yesus dari kematian itu telah menjadi sukacita yang besar? Sudahkah hal itu menjadi inspirasi bagi hidup iman kita? Yesus telah menyerahkan nyawa bagi kita semua; Ia tak melihat itu sebagai sesuatu yang sia-sia. Sudahkah kita tergerak untuk mengikuti teladan Yesus; membagikan diri kita kepada sesama, membangkitkan mereka dari penderitaan dan menunjukkan bahwa kegembiraan dan harapan itu ada, sebab Allah sungguh-sungguh hadir dalam setiap pergulatan kita di dunia?

Tidak ada komentar: