Juni 09, 2008

Pemberian

16 Agustus 2007
Kita semua pasti pernah mengalami sakit hati, kesal atau marah. Terhadap orang yang telah membuat kita sakit hati itu, sikap kita dapat bermacam-macam. Ada di antara kita yang terbiasa mengekspresikan emosi dengan meledak-ledak; barangkali dengan langsung mengungkapkan kemarahan di depan orang yang membuatnya kesal. Ada juga di antara kita yang terbiasa diam, namun hati tetap mendongkol; barangkali menurutnya kemarahan tidak perlu diungkapkan, apalagi di depan umum, karena hanya akan mempermalukan diri sendiri saja. Dari sekian banyak orang yang menampilkan berbagai ekspresi emosi, berapa banyakkah yang secara otomatis mengampuni orang lain yang membuatnya sakit hati, kesal atau marah itu?

Injil hari ini menceritakan Petrus yang bertanya kepada Yesus, “Berapa kalikah kita harus mengampuni orang? Tujuh kalikah?” Yesus menjawab, “Tujuh puluh kali tujuh!” (lihat ayat 21-22). Tentu saja Yesus bukan sedang bermain perkalian matematis dengan Petrus, karena Ia lantas mengisahkan seseorang yang dibebaskan dari hutang oleh raja, namun tetap menangih piutangnya pada kawannya (lihat ayat 25-35).

Ya, jika Allah saja selalu mengampuni kita, mengapa kita tak selalu mudah mengampuni kesalahan sesama kita? Kita gampang sekali sakit hati, kesal atau marah terhadap kelemahan manusiawi sesama kita, padahal pengetahuan kita tentangnya barangkali tak lengkap. Sebelum kesal, apakah kita telah mencoba memahami sesuatu di balik perkataan, sikap atau tingkah lakunya yang membuat kita kesal itu? Bukankah kebanyakan yang kita lakukan hanyalah sebatas reaksi dari sebuah aksi?

Cobalah bandingkan dengan pengalaman Allah ini, yang dituliskan dalam Mazmur 139:1-4.7: Tuhan, Engkau menyelidiki dan mengenal aku. Engkau mengetahui kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti jalan pikiranku dari jauh. Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring, segala jalan-Ku Kau maklumi. Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya semuanya telah Kau ketahui ya Tuhan. Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu?

Allah punya banyak alasan untuk kesal kepada kita; ia mengetahui semua yang terlintas di dalam pikiran kita dan yang tersimpan di dalam hati kita. Jika Allah menghitung kesalahan, siapakah yang dapat tahan? demikiankah bunyi sebaris lagu. Allah bahkan punya alasan kuat untuk kesal kepada kita, karena Allah-lah yang memberikan hidup kepada kita, mencintai kita tiada habis-habisnya; sebaliknya, kita sulit sekali berhenti membuat-Nya kecewa.

Bagaimana dengan kita sendiri? Seberapa besarkah ‘pemberian’ kita kepada orang lain sehingga kita boleh sakit hati, kesal atau marah kepada mereka? Jangan-jangan, sebetulnya kita sendirilah yang lebih dahulu menyakiti mereka, karena peristiwa yang boleh kita alami bersama orang lain adalah suatu kompleksitas yang rumit dari jalinan aksi-reaksi, sebab-akibat. Pernahkah kita bertanya pada diri kita sendiri, sebetulnya apa yang membuat kita sakit hati, kesal atau marah? Apakah semata-mata karena orang lain yang menyebalkan, ataukah karena kegagapan kita sendiri; barangkali orang lain itu telah mengusik kemapanan kita, menyasar kelemahan kita dengan telak, atau membuat kita tak lagi dapat berlindung di balik gengsi dan harga diri kita?

Tidak ada komentar: