Juni 11, 2008

Saudara

03 September 2007

“Tentu kalian akan mengatakan pepatah ini kepada-Ku: ’Hai Tabib, sembuhkanlah diri-Mu sendiri. Perbuatlah di sini, di tempat asal-Mu ini, segala yang kami dengar telah terjadi di Kapernaum’!” demikian sergah Yesus kepada orang-orang yang mengerumuni- Nya di Nazaret (lihat ayat 23).

Waktu itu, Yesus berada di tengah orang banyak untuk membacakan Kitab Suci dan mengajar mereka. Orang banyak itu terheran-heran, karena Yesus di mata mereka hanyalah seorang anak tukang kayu yang miskin. Bagaimana mungkin Ia dapat berkata-kata dengan begitu indah?

Yesus tentu begitu sedih sehingga mengucapkan hal ini, ”Tiada nabi yang dihargai di tempat asalnya sendiri! Ada banyak janda di Israel, tapi Elia diutus kepada seorang janda di Sidon. Ada banyak orang kusta di Israel, tapi Elia menyembuhkan Namaan, seorang Siria.” (lihat ayat 25-27). Perkataan Yesus itu memicu kemarahan orang banyak itu, sehingga Yesus diusir keluar kota.

Kalau kita mau sedikit merefleksikan Injil hari ini dan mengaitkannya dengan pengalaman hidup kita sehari-hari, mungkin akan terbayangkan situasi ini: di MBK, setiap akhir pekan, gereja disesaki banyak orang yang mengikuti misa. Berapa banyakkah orang yang sungguh-sungguh mendengarkan Sabda Allah, lalu sepulang misa, kembali kepada hidup sebagai sebuah perutusan? Apakah kita termasuk orang yang mendengarkan dan menjalankan Sabda Allah itu?

Yesus bukan hanya sekadar anak seorang tukang kayu miskin. Sejak semula, Ia adalah bagian dari rencana keselamatan Allah. Demikian juga halnya dengan kita. Sejak awal, kita diciptakan oleh Allah sesuai citra-Nya. Kita juga dianugerahi dunia beserta segala isinya untuk dikelola dan dikembangkan demi kesejahteraan bersama. Namun, apa yang telah kita perbuat? Kita kerap kali jatuh ke dalam dosa; kita rusak diri kita, kita rusak dunia beserta segala isinya. Dengan merusak semuanya itu, kita pun telah merusak wajah Allah.

Di Nazaret, betapa sedihnya Yesus ketika setelah mendengarkan kata-kata-Nya yang indah, orang justru bertanya dengan heran, ”Bukankah dia anak Yusuf, si tukang kayu itu?” Adalah sesuatu yang sangat menyedihkan, ketika orang tak lagi dapat melihat keilahian dalam diri orang lain, karena matanya telah tesaput kegemilangan duniawi! Bukankah kita sendiri juga mudah silau oleh harta/kekayaan, pangkat dan kekuasaan? Tak hanya silau! Kita seringkali takluk oleh harta, pangkat dan kekuasaan itu, sehingga berani menyimpang dari jalan yang digariskan Allah untuk kita.

Ada pengemis di sudut jalan itu, Saudara. Mendekatlah padanya. Pandangilah ia. Dapatkah kau lihat wajah Allah di sana? Pengemis itu barangkali sungguh-sungguh menderita; bisa jadi, ia mungkin juga hanya berpura-pura saja. Satu hal yang tak perlu kau terka adalah bahwa ia adalah saudaramu juga. Adalah tugas kita untuk mengembalikan martabatnya sebagai manusia.

Barangkali, sudah tiba waktunya untuk mengubah keberpihakan kita; bukan menjadi hamba bagi yang berkelimpahan, namun justru melayani yang berkekurangan. Paus Gregorius Agung menyebut dirinya sebagai abdi dari segala abdi (servus servorum Dei). Yesus pun berpesan, ”Barangsiapa melayani yang paling hina di antara kamu, ia melayani Aku!” (lihat Matius 25:40).

Tidak ada komentar: