Juni 11, 2008

Takut

10 September 2007
Papaku seorang wartawan; ia telah menjadi wartawan sejak sebelum menikah. Banyak kisah hidupnya yang tak kuketahui, selain karena ‘ketiadaanku’ dalam masa-masa itu, tapi juga karena ayahku adalah seseorang yang pendiam, sehingga tak banyak cerita yang dituturkannya bagiku. Baru saja, ia menerbitkan bukunya yang berjudul Tapak Kecil di Kompas, Antara Pena dan Pistol (Dioma, 2007). Begitu banyak kisah yang tak kuketahui, sehingga buku kecil itu membuatku terkejut-kejut dari awal hingga akhir.

Menjadi wartawan bukan hal gampang, apalagi saat terpaksa berhadapan dengan kekuasaan ketika harus menyajikan suatu kebenaran. Aku membaca bagaimana Papa mengalami pergulatan batin saat berada di bawah tekanan militer sebagai akibat dari berita yang ditulisnya. Ia dipanggil ke kantor seorang pejabat militer untuk diinterogasi. Pejabat itu mengeluarkan pistol dan terang-terangan mengancam, “Jangan sampai saya menggunakan ini.” (hlm. 49).

Mudah memahami pergulatan batin Papa, karena pada tahun 1969 itu, banyak orang dipanggil ke kantor militer itu dan mereka tidak pernah kembali lagi, atau tidak diketahui nasib selanjutnya. Papa sendiri dikuatkan oleh Rm. Taman Dipoyudo O.Carm (alm.) -- yang pernah bertugas di MBK --, melalui pendampingan dan janjinya, “Saya akan terus memonitor.” (hlm. 46). Rm. Taman adalah seorang pastor tentara. Melalui bantuan Rm. Taman-lah Papa dapat melalui masa-masa sulit itu, bahkan terhindar dari hal-hal buruk yang menjadi teror dalam hidupnya.

Menjadi pengikut Kristus memang bukan hal yang mudah, bukan? Saat memutuskan untuk berpihak kepada yang lemah, menderita dan teraniaya sebagaimana dilakukan oleh Kristus sendiri, Papaku sekaligus juga memutuskan untuk menerima segala bentuk perlakuan tak menyenangkan, bahkan yang sampai mengancam nyawanya. Papaku tak sendirian; banyak wartawan lain mengalami hal serupa, bahkan menerima yang jauh lebih buruk lagi. Dunia pers mencatat nama-nama mereka yang telah dicoba dihapuskan dari sejarah. Nama-nama itu justru jadi melegenda; mengekalkan pengharapan bahwa mereka yang berjuang bagi kemanusiaan tak akan pernah dapat diakhiri begitu saja.

Hal semacam itulah yang hendak ditegaskan oleh Yesus melalui Injil hari ini. Yesus menyembuhkan orang pada hari Sabat. Dengan melakukannya, Ia menentang hukum dan orang Farisi pun menjadi marah. Padahal, Yesus menyembuhkan hanya karena hati-Nya tergerak oleh rasa iba terhadap penderitaan orang lain. Mengapa kemanusiaan harus kalah oleh aturan dan tunduk pada kekuasaan?

”Domba-domba- Ku mendengar suara-Ku karena mereka mengenal Aku!” sabda Tuhan (lihat Yohanes 10:27). Menjadi pengikut Yesus berarti menjalankan perintah-Nya dan meneladani perbuatan kasih-Nya. Dengan kata lain: tak perlu takut untuk melakukan suatu kebaikan meskipun dengannya kau justru melawan aturan dunia dan terpaksa berhadapan dengan kekuasaan... Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka. (Matius 10:28)

Tidak ada komentar: