Juni 12, 2008

Panggilan Menjadi Saudara

25 September 2007

Berpaling kepada Allah tidak akan berarti
kalau pada saat yang sama tidak berpaling kepada sesama
dari muka ke muka, dalam suatu cara yang baru.
(Kongres IV Dewan Gereja Uppsala, Swedia)


Siapakah saudaraku? Yesus menjawabnya untuk kita, ”Saudara-saudara- Ku ialah mereka yang mendengarkan Sabda Allah dan melaksanakannya!” (lihat ayat 21).

Aku termasuk orang yang punya banyak sekali saudara. Nenekku adalah anak ke-23 dari 25 bersaudara. Tak cukup sebuah buku silsilah untuk menuliskan semua keluarga itu secara turun-temurun! Saking banyaknya, kami sampai memiliki perkumpulan di banyak kota ; ada di Jakarta , Rembang, Malang , Blitar, Jember dan entah di mana lagi. Karena sulit sekali berkumpul bersama di satu tempat, jadilah kami hanya melakukan pertemuan rutin di tiap ‘cabang’ itu. Biasanya, kami mengadakan arisan, syukuran atau halal bihalal saat Lebaran, sama seperti lazimnya aktivitas yang dilakukan keluarga-keluarga lainnya.

Sewaktu kecil, pengertianku tentang keluarga hanya sebatas itu; orang-orang yang punya hubungan darah. Semakin dewasa, juga dengan semakin bertambahnya pengalaman bersama Yesus, aku jadi mengerti bahwa Yesus bermaksud mengajak semua orang untuk menjadi saudara, melampaui batasan pertalian darah.

Sungguh indah, bukan? Kita biasanya memberi perhatian lebih kepada mereka yang menjadi saudara kita, melebihi perhatian kita kepada orang lain. Kini, ketika Yesus mengajak kita untuk bersaudara, kita pun memperluas perhatian dan kasih sayang kita itu. Ini adalah sudut pandang yang menghancurkan sekat-sekat agama, ras, suku dan kelompok-kelompok dalam masyarakat. Kita dapat memandang mereka ini sebagai saudara: pengemis di sudut jalan itu, anak-anak jalanan yang setiap hari mengamen, orang-orang lanjut usia yang terlupakan, kaum miskin kota, mereka yang cacat dan hidupnya bergantung pada orang lain, mereka yang belum tersapa atau terlibat dalam kegiatan Gereja. Dengan menjadikan mereka saudara, kita akan memberikan perhatian dan kasih sayang kepada mereka, dan mengasihi mereka itu berarti menyempurnakan hidup mereka yang belum sempurna.

Santo Fransiskus Asisi tak hanya memandang manusia sebagai saudaranya. Ia menganggap semua makhluk hidup sebagai saudara, bahkan yang biasanya tak diperhatikan seperti cacing tanah, dimanfaatkan oleh manusia seperti binatang ternak dan ditakuti seperti serigala dan binatang-binatang buas lainnya. Seluruh alam ciptaan merupakan saudara baginya. Karena itulah, hidupnya senantiasa harmonis. Bukankah ini berbeda dengan kecenderungan manusia untuk mengekploitasi alam, sehingga di sana-sini timbul kehancuran ekosistem dan manusia pun terpaksa berperang dengan binatang untuk memperebutkan lahan untuk hidup, serta berperang dengan alam melalui bencana yang susul-menyusul?

Hari ini, Yesus memanggil kita untuk menjadi saudara. Mari kita sahuti panggilan itu!

Tidak ada komentar: