Juni 11, 2008

Talenta

01 September 2007
Hidup seorang Yuli Maiheni tak lagi sama ketika ia menjadi seorang pekerja rumah tangga (PRT). Ia adalah anak pertama dari enam bersaudara; lahir di Yogyakarta pada 15 Juli 1975. Berbagai persoalan yang dihadapi oleh orang tuanya memaksa Yuli tinggal bersama neneknya. ”Saya korban broken home. Orang tua saya bercerai dan masing-masing sudah menikah kembali, maka saya dititipkan ke Simbah (=nenek),” katanya. Keterbatasan biaya membuatnya tidak bisa melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Ia hanyalah tamatan sekolah menengah pertama (SMP).

Menjadi seorang PRT pun terpaksa ia lakukan. Oleh tetangga, ia diajak untuk bekerja di Jakarta. Empat tahun lamanya ia bertahan di kota megapolitan itu, sebelum sang nenek memaksanya untuk pulang ke Yogyakarta. Yuli menurut, lalu mencari pekerjaan di daerah yang lebih dekat. Ia menjadi PRT bagi sebuah keluarga muda di wilayah Godean, Yogyakarta.

Majikan baru ini sangat baik. Yuli diberi banyak kesempatan dan kemudahan untuk berkembang. Ia dibekali banyak pendidikan keterampilan seperti memasak dan menjahit. Selain itu, Yuli juga diperkenankan mengikuti kegiatan pengajian PRT di kompleks perumahan tempatnya menetap. Aktivitas pengajian itulah yang membuka mata Yuli, dan mengubah hidupnya untuk selamanya.

Yuli disadarkan bahwa banyak PRT yang tak seberuntung dirinya. Banyak PRT yang mengalami tindak kekerasan oleh majikan; disiksa dan dianiaya sebagai bentuk hukuman fisik atau sekadar pelampiasan kemarahan si majikan. Banyak PRT yang gajinya tidak dibayarkan, atau dibayar dengan jumlah yang jauh di bawah kesepakatan. Banyak PRT yang tak diberi makan secara cukup, atau berada dalam kondisi rawan gizi.. Banyak PRT yang dipaksa untuk bekerja terus-menerus oleh majikan dan tidak pernah diberi hari libur. Banyak PRT yang sama sekali tak mempunyai akses pada pendidikan dan tak diperbolehkan keluar rumah oleh majikan, sehingga bagi mereka, pintu bagi pengembangan diri telah tertutup sama sekali.

Yuli pun gelisah menyadari penderitaan sesamanya. ”Setiap saya mendengar masalah yang datang dari PRT, hati saya seolah-olah selalu terpanggil untuk melakukan sesuatu. Kalau sudah begini saya tidak memedulikan lagi segala kesulitan yang akan saya hadapi, yang penting saya bisa membantu,” katanya. Yuli pun berhenti menjadi PRT dan menjadi anggota sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memberikan layanan pendampingan bagi para PRT.

Yuli harus belajar banyak. Ia tak hanya berhadapan dengan PRT yang mengeluhkan kesusahan hidupnya, melainkan juga harus berurusan dengan majikan yang kejam. Ia harus menggalang simpati dan dukungan dari masyarakat agar PRT dapat menjalani kehidupan yang lebih bermartabat. Yang paling berat adalah mengambil bagian dalam perumusan kebijakan pemerintahan; bersama pemerintah daerah, menggagas sebuah peraturan yang akan menjadi jaminan atas hak-hak PRT sebagai manusia serta menjadi perlindungan hukum bagi mereka. Hingga kini, setelah bertahun-tahun, peraturan itu masih menjadi perdebatan di Pemerintahan Kota Yogyakarta. Kalaupun peraturan itu telah disahkan, Yuli dan kawan-kawan masih harus mendorong daerah-daerah lain untuk memiliki peraturan daerah (Perda) yang serupa, juga mendorong Pemerintah RI untuk membuat undang-undang mengenai PRT. (Catatan: sebagai perbandingan, Filipina telah memiliki undang-undang mengenai hal tersebut.)

Seorang Yuli Maiheni bukan lagi gadis cilik yang miskin, bodoh dan tak punya masa depan. Ia, yang tadinya barangkali hanya memiliki satu talenta saja, telah mengembangkan talenta itu sedemikian rupa, sehingga hasilnya menjadi puluhan kali lipat. Yuli tak lagi miskin; ia punya pekerjaan yang bermartabat dan dengan cara itulah ia mencukupi kebutuhan hidupnya. Yuli tak lagi bodoh; ia banyak belajar sehingga tak gentar berdebat mengenai hukum dan hak asasi manusia dengan pejabat pemerintahan dan pemegang kekuasaan lain di masyarakat. Yuli tak lagi suram masa depannya; di tangannya kini, justru tergenggam masa depan begitu banyak orang yang harus terus diperjuangkan, hanya supaya orang-orang itu dapat hidup secara lebih manusiawi.

Injil hari ini, perumpamaan yang disampaikan Yesus tentang talenta, semoga menjadi bahan refleksi yang dalam bagi kita. Bila seorang Yuli Maiheni saja, yang begitu penuh dengan keterbatasan itu, mampu mengembangkan diri dan hidup seluas-luasnya, bagaimana dengan kita? Barangkali persoalannya bukan terletak pada jumlah talenta yang kita punya, melainkan pada kemauan untuk menanggapi dunia dengan hati, menjawab panggilan Allah, dan dengan demikian berarti menjadi bagian dari rencana keselamatan- Nya yang indah.

Bahan tentang Yuli Maiheni: Jurnal Perempuan, edisi 39 (2005), hlm. 100-109.

Tidak ada komentar: