Oktober 30, 2008

TUHAN, JIKALAU ENGKAU MAU...


Aku memandang sesosok tubuh yang berdiri di kejauhan, di tengah kerumunan orang itu...

Aku telah mendengar semua yang diajarkan-Nya. Ia mengajar tentang kehidupan, bukan seperti mereka yang berpengetahuan atau berpengalaman, melainkan seperti yang empunya kehidupan itu sendiri (bdk. Mat 7, 29). Selama ini suara ahli-ahli kitab dari balik dinding membuatku mengerti, tapi Dia membuatku percaya...

Aku bukanlah siapa-siapa. Aku tak lagi layak diberi hidup. Oleh para tabib aku tak beroleh kesembuhan, oleh orang banyak aku diasingkan, oleh para ahli agama aku dikutuk dan dibuang. Aku tak lagi punya tempat... Akan tetapi, Dia memberiku Kerajaan Surga dan menyenangkan hatiku... (bdk. Mat 5, 1-12).

Kusta ini tak hanya melemahkan badanku, namun juga melumpuhkan jiwaku. Adakah ciptaan yang tak lagi dicintai oleh penciptanya? Adakah ciptaan yang pada akhirnya hanya akan dibuang? Aku memandang-Nya berkata-kata, dan Ia mengembalikan harapanku, membuatku merasa dicintai lagi (bdk. Mat 6, 9-13), membuatku merasa berarti lagi (bdk. Mat 5, 13-16)...

Aku mendengar ia telah menyembuhkan banyak orang (bdk. Mat 4, 23-24). Betapa besar kuasa-Nya! Ia adalah tabib segala tabib, kasih segala kasih, hikmat segala hikmat... Lihat, Ia berjalan ke arahku! Di hadapan-Nya, aku hanya bisa bersujud... hanya bisa terbata-bata... ”Jikalau Tuan mau, Tuan dapat sembuhkan aku...” (bdk. Mat 8, 2).

Dan aku pun sembuh.

CINTA YANG MEMBEBASKAN

Dalam sebuah penderitaan, St. Teresa Avila pernah mendengar Allah berkata, ”Teresa, mereka yang dikasihi Tuhan, disiksa oleh-Nya. Inilah cara Aku memperlakukan sahabat-sahabat-Ku.” Teresa pun menjawab, ”Makanya sahabat-sahabat-Mu begitu sedikit!” (Riwayat Hidup Para Kudus, 2002).

Mencintai Allah memang tak selalu jadi perkara mudah. Malahan, dalam banyak hal, mencintai Allah merupakan kesusahan demi kesusahan. Bukankah mencintai Dia berarti memahami kehendak-Nya, dan mencintai Dia juga berarti menjalankan kehendak itu? Di situlah letak susahnya.

Barangkali kita masih berusaha mencintai Dia demi Dia, untuk menyenangkan-Nya saja. Kita belum mencintai Dia karena Dia sendiri; sebab bukankah Dia adalah Sang Mahacinta? Karena itulah, Yesus berkata, ”Bukan yang berseru-seru ’Tuhan, Tuhan’ yang akan masuk ke dalam surga, melainkan mereka yang menjalankan kehendak Bapa-Ku.” (bdk. Mat 7, 21).

Mencintai Allah pun adalah sebuah proses, sebuah pergulatan. Dari situlah iman akan tumbuh. Allah bermaksud menyerahkan manusia kepada keputusannya sendiri (Sir 15, 14), supaya ia dengan sukarela mencari Penciptanya dan dengan mengabdi kepada-Nya secara bebas, mencapai kesempurnaan sepenuhnya yang membahagiakan (GS, 17) (Katekismus, 1730). Inilah cinta yang membebaskan itu!*

YANG KUSEBUT SEBAGAI BAPA

Seorang psikofenomenolog, M.A.W. Brouwer, menuliskan perenungannya tentang hubungan anak-ayah sebagai berikut: Secara sengaja atau tidak sengaja, Ayah selalu ditempatkan di atas diri pribadi. Ayah adalah asal-usul. Ayah adalah prasyarat, sekaligus penyebab eksistensi seseorang. Ayah adalah bagian dari identitas pribadi seseorang, terutama dalam menempatkan individu pada posisi dan dengan peranan tertentu di tengah masyarakat. (Ayah dan Putranya, 1985).

Yesus selalu menyebut Allah sebagai Bapa; Ia kerap melengkapinya menjadi ’Bapa-Ku’. Dalam doa yang diajarkan-Nya kepada murid-murid-Nya, Yesus menyebut ’Bapa-Ku’ itu sebagai ’Bapa Kami’.

Barangkali inilah makna terdalam yang luput dari perhatian kita. Bukan sekadar suatu perenungan psikofenomenologis, bukan sekadar permainan kata-kata. Ada relasi yang begitu dalam, yang sarat makna, antara seorang anak dengan ayahnya.

Allah adalah asal dari segala sesuatu, adalah alasan bagi segala sesuatu. St. Thomas Aquino menulis bahwa sebab pertama dan tujuan akhir dari segala-galanya ’dinamakan Allah oleh semua orang’. Begitu pula halnya relasi mendalam antara Allah dan manusia. Kerinduan akan Allah sudah terukir dalam hati manusia karena manusia diciptakan oleh Allah dan untuk Allah. (Katekismus, 27).

Artinya, ketika kita menyebut Allah sebagai Bapa, sama seperti Yesus telah menyebut Allah sebagai Bapa, Allah haruslah menjadi alasan keberadaan kita di dunia. Pernahkah kita bertanya tentang alasan keberadaan itu?

Pada Yesus, alasan keberadaan itu tampak jelas, sejelas baris-baris doa yang diajarkan-Nya kepada kita: memuliakan Allah, mencari & menjalankan kehendak Allah, menjalani hidup sebagai anugerah, membangun relasi dengan Allah & mengasihi sesama, serta memberikan makna pada dimensi penebusan dalam setiap karya-Nya di dunia.*

YANG TERPUJI

Setiap orang pasti merasa senang jika keberadaannya diakui oleh orang lain, atau sikap maupun perbuatannya dipuji. Dalam diri sejumlah orang, pengakuan & pujian itu bahkan menjadi suatu kebutuhan, dorongan atau motivasi untuk menampilkan sikap maupun melakukan perbuatan yang serupa atau yang lebih baik.

Termasuk dalam hal-hal yang menyangkut iman, orang senang diakui dan dipuji. Rajin ke gereja, pandai berdoa, punya pengetahuan tentang Kitab Suci, aktif dalam kegiatan Gereja... menjadi tolok ukur bagi pengakuan dan pujian. Padahal, iman bukan semata-mata apa yang tampak, melainkan juga yang tak tampak: apa yang dialami, apa yang dirasakan... tentang pergulatan, jatuh-bangun, tentang pemikiran dan impian, juga tentang pengertian.

Yang tak tampak, yang tersembunyi itulah yang dapat dilihat oleh Allah. Kata pemazmur: Tuhan, Engkau menyelidiki dan mengenal aku. Engkau mengetahui kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh. Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya semuanya telah Kau ketahui. (Mzm 139, 1.2.4).

Jika iman hanya sebatas yang tampak, tak heran jika kita mudah sekali dibenturkan dengan realitas keseharian. Rajin ke gereja, apakah juga rajin mengunjungi sesama yang membutuhkan bantuan kita? Pandai berdoa, apakah juga mau belajar untuk mengupayakan solusi-solusi konkret bagi masalah yang dihadapi sesama kita? Punya pengetahuan Kitab Suci, apakah juga mampu mengetahui tanda-tanda zaman? Aktif dalam kegiatan Gereja, apakah juga terlibat dalam hidup keseharian masyarakat luas?

Itulah iman yang sesungguhnya; pengalaman hidup yang konkret, bukan pengakuan... suatu pergulatan, bukan pujian. Seringkali, pengalaman & pergulatan iman justru jauh dari pengakuan & pujian; yang diterima adalah perasaan gagal, mandek, bahkan kegelapan. St. Teresia Avila menyatakan bahwa perjalanan iman bukanlah sesuatu yang linear. Seperti mendaki anak tangga, seseorang bisa terjungkal di tengah-tengah dan harus kembali memulai dari anak tangga yang paling bawah.

Barangkali, akan kita akan menjadi bijak apabila bersikap sebagaimana Maria: menyimpan semua perkara di dalam hati (bdk. Luk 4, 51b), di tempat yang tersembunyi.*

TEMBOK & JEMBATAN

Kita gampang sekali memandang orang lain sebagai musuh, hanya karena kita berbeda dengannya. Mungkin perbedaan itu berupa agama atau suku, kelompok atau aliran, tujuan atau kepentingan. Sejarah kemanusiaan kita mencatat bagaimana permusuhan begitu dekat dengan kematian, dalam skala yang kecil hingga yang besar.

Di lingkup kehidupan yang kecil, seorang anak dapat membunuh ibunya yang tak mau memberinya uang jajan. Seorang lelaki dapat membunuh lelaki lain karena gelap mata akibat cemburu. Seorang ibu dapat membunuh seorang ibu lain yang menagih utang kepadanya. Di ruang kehidupan yang lebih luas, tragedi G30S/PKI dan peristiwa ’pembersihan’ sesudahnya, bentrok antarsuku di Kalimantan 1997, peristiwa Mei 1998, hanya sedikit contoh peristiwa yang menewaskan begitu banyak orang.

Sekali satu batas diciptakan antara aku dan kau, antara kita dan mereka, di situlah jarak akan bermula.

Yesus mengajak kita untuk menyeberangi jarak itu. Yesus yang begitu tegas tentang apa yang benar dan apa yang salah (bdk. Mat 10, 34-36), juga tegas tentang persatuan, kerukunan dan persaudaraan (bdk. Mat 5, 44; Yoh 17,11-12).

Mungkin sulit, mengecilkan hati, mungkin terasa mustahil pada awalnya. Namun toh seorang bijak pernah berkata: untuk menjangkau satu sama lain, janganlah membangun tembok, melainkan jembatan.*

MENGHADAPI KEKERASAN

Di sekitar kita, kekerasan banyak terjadi. Di rumah, sekolah, tempat kerja, jalanan, masyarakat, negara, bahkan juga Gereja. Kekerasan tampaknya sudah menjadi budaya; orang lebih suka memilih kekerasan sebagai jalan keluar, ketimbang dialog atau telaah kritis yang mencerdaskan.

Kekerasan yang satu akan melahirkan kekerasan yang lain, padahal kekerasan tak pernah dapat menjangkau kebenaran. Seringkali, kita pun dilumpuhkan oleh kekerasan. Kita lebih suka diam sehingga tak mampu merintis jalan menuju kebenaran itu sendiri.

Sakit hati, amarah juga harga diri adalah sedikit dari sekian banyak hal yang membutakan mata kita pada kebenaran. Kita lebih suka membalas daripada mencoba menelaah duduk persoalan yang sebenarnya. Kita lebih suka melampiaskan kekesalan ketimbang menempuh cara-cara yang konstruktif. Kita bahkan tak lagi melihat sesama sebagai saudara yang bersamanya kita dapat saling menyempurnakan; kita lebih suka menganggapnya sebagai musuh atau sasaran.

Masih banyak yang harus kita imani dari Yesus, bukan? Yesus adalah Dia yang menerima pelukan ataupun tamparan, pujian maupun cercaan. Yesus adalah Dia yang mengatakan, ”Bapa, ampunilah mereka karena tak mengerti yang mereka lakukan...” (bdk. Lukas 23, 34), juga adalah Dia yang berkata, ”Berbahagialah mereka yang lapar dan haus akan kebenaran, sebab mereka akan dipuaskan...” (bdk. Mat 5, 6).*

TERATAI DAN LUMPUR

Tak seorang pun dapat mencela keindahan setangkai bunga teratai yang mekar, kendati ia tumbuh di atas lumpur. Kalaupun ada yang dapat mencelanya, bukankah artinya orang itu hanya mampu melihat lumpur dan tak sanggup mencapai teratai?

Seseorang yang beriman kepada Allah dan hidup di tengah dunia, bagaikan teratai yang tumbuh di atas lumpur. Lumpur itu membuatnya hidup memang, tapi mekarnya bunga adalah pujian bagi sang pencipta.

Jika setangkai teratai adalah sebuah kesaksian bagi dunia, bukankah terlebih-lebih lagi kita, manusia?

Barangkali yang perlu kita lakukan adalah mengembangkan kelopak-kelopak hidup kita, agar setiap orang dapat melihat keindahannya. Jika kita tak mampu menjadi kembang yang mekar, tak bisa lain, orang hanya akan melihat lumpur di sekitar kita.

PELITA YANG MERINDUKAN NYALA API

Seorang pujangga, Louisa May Alcott, menulis, ”It takes two flints to make a fire...”

Ya. It takes two flints to make a fire. Itulah yang terjadi saat Yesus menyatukan kehendak Bapa dengan kehendak-Nya. Itu jugalah yang akan terjadi jika kita mau menyatukan kehendak Allah dengan kehendak kita.

Api yang menyala itu akan menyambar pelita dan membuatnya bercahaya tetap. Tak ada yang akan meletakkan pelita itu di bawah gantang; sebab panggilan sebuah pelita adalah memberikan terang (bdk. Matius 5, 15).

Hidup semata-mata untuk menjalankan kehendak Allah ibarat menyalakan pelita di dalam kegelapan. Pelita itu akan menuntun orang untuk berjalan, dan sebaliknya, akan menyilaukan mata mereka yang berusaha menentang.

Alangkah indahnya jika semua orang dapat bercahaya sebagai pelita. Bahkan, seorang janda di Sarfat pun menemukan cahayanya saat memberikan makanan terakhirnya serta tumpangan pada seorang asing yang tak dikenalnya. ”Sebab apapun yang kau lakukan pada saudaramu yang paling hina, kau melakukannya untuk-Ku.” (bdk. Matius 25, 40).

KONTRAS

Semakin mengenal Yesus, orang akan semakin mengetahui betapa kontras dunia ini dengan situasi Kerajaan Allah. Ia akan gelisah; ia tahu bahwa ia harus memperjuangkan sesuatu.

Situasi Kerajaan Allah terjadi ketika terjalin hubungan-hubungan yang benar antara manusia dan Allah, manusia dan manusia, serta manusia dan seluruh ciptaan. Situasi Kerajaan Allah tidak tampak ketika ketidakadilan merebak, kekerasan terjadi dan eksploitasi berlangsung terus-menerus.

Menjadi gelisahlah manusia yang kedalaman hatinya menyerukan Tuhan. Sebab, kerinduan akan Allah sudah terukir dalam hati manusia. Manusia diciptakan oleh Allah dan untuk Allah (lihat Katekismus, 27).

Kegelisahan dan kerinduan itu akan terus menerpa; semakin mengenal Dia semakin parahlah wajah dunia, sebab Allah tampak jauh lebih besar, lebih baik dan lebih indah. Kegelisahan dan kerinduan ini jugalah yang menerpa Ibu Teresa dari Kalkuta sebagaimana dipaparkannya dalam buku Mother Teresa: Come Be My Light, ”Kesepian dan kekosongan yang demikian besar menyelimuti saya, sampai saya membelalakkan mata tapi tak melihat, memasang telinga tapi tak mendengar, menggerakkan lidah dalam doa tapi tak bicara...” (Sindhunata, Malam Gelap di Kalkuta, majalah Basis Jan-Feb 2008). Toh Ibu Teresa tak pernah berhenti menyapa sesamanya yang miskin dan terlupakan, mengembalikan mereka kepada martabatnya sebagai ciptaan yang mulia.

Dalam kegelisahan dan kerinduan saat memperjuangkan kehadiran Kerajaan Allah, Yesus berkata kepada kita, ”Berbahagialah engkau, sebab besarlah ganjaranmu di surga,” (bdk. Mat 5:1-12).*

JANDA DARI SARFAT & SITUASI HIDUP KELUARGA KITA

Begitu banyak janda di Sarfat, tapi Tuhan mengutus Elia kepada janda yang satu itu..

Alkisah, Tuhan mengutus Elia ke Sarfat; di sana ada seorang janda yang akan memberi ia makan. Ternyata, janda itu begitu miskin sehingga ia hanya punya segenggam tepung dan sedikit minyak di buli-bulinya. Elia meneguhkan hati janda itu, sebab Tuhan sendiri yang menginginkan agar janda itulah yang memberinya makan. Janda miskin itu menuruti saja kata-kata Elia. Ia menghabiskan semua tepung dan minyak yang dipunyainya. Tuhan pun berbelas kasih; Ia memenuhi tempayan & buli-buli janda itu, hingga ia tak pernah kekurangan tepung dan minyak lagi...

Dalam hidup berkeluarga, semua cinta dan harapan dalam diri kita ibarat tepung dan minyak dalam tempayan dan buli-buli itu. Awalnya semua begitu melimpah, sehingga kita selalu bisa membuat roti dan menjadikannya santapan bersama. Seiring perjalanan waktu, tepung dan minyak itu semakin sedikit dan menjelang habis. Kita merasa selalu memberi, dituntut, diminta... kita merasa telah memberikan semua yang kita miliki tanpa pernah merasa mendapatkan sesuatu atau diisi kembali. Pada satu titik, kita menyadari bahwa kita tak punya cinta dan harapan yang cukup lagi untuk dibagikan; bahkan rasanya untuk diri sendiri pun tak cukup!

Namun lihatlah janda di Sarfat itu. Dalam kepercayaannya yang besar kepada Allah, ia menyerahkan milik terakhirnya... dan Allah memberinya kelimpahan. Ia tak pernah kekurangan lagi...

Barangkali, sulit bagi kita untuk setia dan bertahan mencinta sampai akhir. Barangkali kita merasa kosong seperti tempayan dan buli-buli itu. Akan tetapi, jika kita rela dan setia, mau menyerahkan semua yang kita punya, bahkan yang terakhir sekalipun, Allah akan mengisi kembali tempayan dan buli-buli itu. Kita pun dapat terus-menerus membuat roti, yang mengenyangkan dan menjadi sumber kehidupan bagi orang-orang di sekitar kita.

Keluarga kita, komunitas basis kita. Jangan biarkan tempayan dan buli-buli di dalamnya menjadi kosong!*

Oktober 29, 2008

BERBAHAGIALAH!

Kita seringkali merasa iba melihat orang-orang yang miskin dan kekurangan. Bila dibandingkan dengan kita, kondisi mereka sangat memprihatinkan. Mereka tak cukup makan & tak punya persediaan makanan, tak cukup uang & tak punya tabungan, tak punya pekerjaan yang memberikan jaminan penghasilan, tinggal di rumah yang tak layak huni, pendidikannya tak mencukupi... pendek kata, kualitas hidup mereka sangat rendah. Tak hanya itu; kemiskinan selalu menjadi akar bagi dosa-dosa, sehingga kualitas hidup iman mereka yang miskin pun sungguh terancam.

Orang miskin selalu ada dalam hati Tuhan, karena hanya dalam kemiskinan orang dapat berharap akan kemurahan Tuhan (bdk. 2 Yak 2,5). Bagaimana dengan kita, yang kualitas hidupnya dapat dikatakan ’baik’ ini? Apakah kualitas iman kita pun baik? Apakah kita pun selalu ada dalam hati Tuhan?

Belum tentu. Ketika makanan berlimpah di sekitar kita, kita jadi lupa bahwa sebagian penduduk dunia ini berada dalam kelaparan. Ketika punya pekerjaan yang tetap dan uang bertumpuk di tabungan, kita merasa hidup kita sudah terjamin untuk sekian lama tapi lupa pada jaminan hidup yang kekal. Rumah yang berfasilitas bagus membuat kita nyaman dan tak mau keluar untuk menjumpai sesama. Pendidikan tinggi justru seringkali membuat kita arogan dan merasa paling tahu cara mengelola dunia.

Bukan hanya kemiskinan; kecukupan atau kekayaan pun dapat menjadi akar bagi dosa. Kualitas iman kita pun terancam. Kita memang berkecukupan atau kaya, namun hidup iman kita sungguh-sungguh miskin di hadapan Allah.

Barangkali kemiskinan iman yang kita punya itu ibarat segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli milik seorang janda di Sarfat. Yang ada hanya sedikit, tapi janda itu menyerahkan semuanya kepada Elia, sehingga Tuhan pun membuat tempayan dan buli-buli itu selalu penuh terisi kembali (lihat 1 Raja-raja 17,12-14).

Sama seperti janda miskin itu mendapat kemurahan Allah, kita pun akan memperoleh kemurahan yang sama. Tentu saja, terlebih dulu kita harus menyadari segenggam tepung dan sedikit minyak dalam hidup iman kita.*

AIR MATA SEORANG PENCERITA

Alkisah, pada suatu masa, hiduplah seorang pencerita. Ia selalu mengisahkan cerita-cerita yang indah: tentang alam semesta, tentang bulan dan bintang, tentang samudera, dan tentang kelahiran dunia. Ia bercerita tentang manusia pertama, tentang sebuah taman, tentang beraneka ciptaan yang ada di sana. Ia juga bercerita tentang cinta, tentang damai, tentang dosa dan pengampunan, tentang pengorbanan, tentang roti dan anggur yang dicurahkan, serta tentang penebusan.

Awalnya, orang-orang tertarik mendengarkan si pencerita itu. Mereka duduk di sekitarnya, bahkan mengikutinya berjalan dari desa ke desa. Pencerita itu tak punya keluarga ataupun rumah; keluarga dan rumahnya adalah semua yang ditemuinya dalam perjalanan hidupnya.

Lama-kelamaan, jumlah pendengarnya semakin berkurang, hingga akhirnya tinggal sejumlah anak-anak saja. Pada suatu hari, si pencerita itu duduk di atas sebuah batu besar dan melihat ke sekelilingnya. “Anak-anak, ke manakah orang-orang yang lain? Tidakkah mereka ingin mendengarkanku lagi?”

”Tidak, Tuan. Mereka lebih suka mendengarkan para pencerita yang lain.”

”Pencerita yang lain?”

”Ya, Tuan. Pencerita itu kabarnya hebat sekali. Ia bercerita tentang pertikaian, peperangan, dan tentang permusuhan. Ia bercerita tentang kebesaran, kekuasaan, kejayaan dan tentang semua keinginan manusia.”

Pencerita itu meneteskan air mata. ”Mengapa orang lebih tertarik pada kematian daripada kehidupan?”*

TENTANG PERJALANAN

Setiap orang punya perjalanannya sendiri untuk ditempuh.

Barangkali dalam perjalanan itu ia dapat berpapasan dengan orang lain, atau bersimpangan jalan. Mungkin ada begitu banyak jalan lain, rute lain, arah lain yang ia jumpai... tapi ia mempunyai perjalanannya sendiri.

Alangkah indahnya jika kita masih dapat mengingat bisikan ini, ketika nafas kehidupan pertama kali berembus di dalam hidup kita, ”Engkau diciptakan untuk suatu tujuan.”

Ingatan itu, bisikan yang halus itu... Ia menjadi kekuatan di dalam diri bukan karena asalnya, melainkan karena disahuti.

SERIBU BUKU & SEPOTONG CINTA

Orang boleh membaca seribu buku, tapi jika kehidupan tak mengatakan apa-apa padanya, apalah gunanya?

Demikian pula halnya dengan Kitab Suci atau perjalanan iman kita. Apabila kita mengenal Allah sebatas kisah-kisah-Nya di Kitab Suci, sebatas romantisme dalam doa-doa dan ibadat kita, apalah gunanya? Mengasihi Dia dengan segenap hati, dengan segenap pengertian, dan dengan segenap kekuatan serta mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri, jauh lebih utama daripada semua korban bakar dan persembahan (Mrk 12, 33).

Allah tidak menolak dicintai; Ia bahkan menunjukkan cara untuk mencintai Dia, yakni dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan kita. Inilah cinta yang penuh totalitas itu. Allah juga minta agar kita mencintai sesama kita, karena cinta kepada Allah berarti juga mencintai semua yang dilakukan-Nya. Secara konkret, mencintai sesama itu berarti memberi makan yang lapar, memberi minum yang haus, memberikan tumpangan pada orang asing, mengenakan pakaian kepada yang telanjang, merawat yang sakit dan menjenguk yang ada di dalam penjara.

Inilah Allah yang harus ditemukan di antara baris-baris Kitab Suci, di dalam nyanyian dan di antara lantunan doa. Sebagaimana kita memandang cermin; bayangan yang dipantulkan olehnya memang indah dan menarik, tapi kesejatian adalah milik dia yang berdiri di depan cermin.*

CAKRAWALA DAN PENCAPAIAN KITA

”Hanya orang bodoh yang merasa mampu menggapai cakrawala,” kata seseorang.

Aku lantas terdiam mematung, seraya mengarahkan pandangan ke garis langit itu berada. Ya, tentu saja, tak akan ada yang bisa mencapai cakrawala. Setiap kali kita sampai di satu titik, cakrawala selalu ada di titik lain di hadapan kita.

”Kecuali jika kita yakin bahwa cakrawala pernah ada di sini, di titik kita berdiri saat ini,” seseorang itu berkata lagi.

Memperjuangkan situasi Kerajaan Allah dalam hidup keseharian kita pun ibarat mengejar cakrawala; begitu jauh dan sulit digapai. Barangkali karena realitas Ilahi selalu jauh melampaui realitas manusiawi. Inilah yang pernah disampaikan seorang anak kecil kepada St. Agustinus, ”Dapatkah Tuan menampung samudera di dalam batok kelapa, lalu menuangkannya ke cekungan pasir ini?”

Melelahkan, menyakitkan, merupakan perjalanan yang terus-menerus, bahkan seringkali tampak sebagai sesuatu yang mustahil sehingga menyurutkan semangat. Itulah gambaran perjalanan mengejar cakrawala.

Tak heran jika banyak yang memilih untuk berhenti. Tapi ada juga yang tetap berlari sambil berkata begini, ”Bagaimanapun, aku telah sampai di satu titik ini. Dulunya, titik ini adalah cakrawala yang pernah kulihat dari kejauhan. Aku telah mencapainya, dan kini aku akan mencapai cakrawala yang berikutnya.”

Kerajaan Allah itu ada di depan sana sebagai mimpi yang indah, namun juga sekaligus ada di sini, sekarang ini, untuk diwujudkan sebagai sebuah kenyataan.

Dan seseorang yang telah menggapai mimpinya, hanya perlu bersiap untuk mimpi yang selanjutnya.*

JALAN TENGAH

Centang-perenang kehidupan sehari-hari, seringkali membawa kita pada suatu persimpangan. Kita dihadapkan pada pilihan-pilihan, juga pertentangan-pertentangan yang memaksa kita untuk berpihak. Kita pun bertanya: mana yang aman, yang menantang, atau yang membahayakan?

Memilih itu tidak mudah, apalagi jika kita terpaku pada apa yang ada. Padahal, tanpa kita sadari, memilih itu barangkali berarti membuat suatu alternatif yang lain sama sekali.

Merefleksikan perjalanan Yesus, kita menyadari bahwa Ia tak pernah terjebak oleh pertentangan di antara para umat-Nya. Semua orang dicintai oleh-Nya; sebagai Gembala Baik, ia tak mau meninggalkan satu pun domba-Nya.

Kebijaksanaan Yesus melintasi berbagai sekat dan kepentingan, sebab Ia tak memilih kiri atau kanan, melainkan menggariskan satu jalan baru menuju keselamatan. Semua orang dipanggil untuk melintasi jalan itu, jalan kasih, jalan penebusan. Mereka yang tak mau serta tentu harus menanggung sendiri akibatnya, sebab semua jalan pasti mengantar kita pada suatu tujuan.

Meneladani Yesus sekarang ini, berarti menjawab panggilan untuk kembali menyusuri jalan kasih itu: mempertahankan nurani, memperteguh persaudaraan, membela yang lemah, memampukan yang berkekurangan, menjadi sahabat bagi yang berkelimpahan, memperjuangkan keadilan, sehingga kita mampu membuat perubahan.

Barangkali yang kita buat hanyalah sebuah jalan setapak kecil di antara ilalang. Tapi bagaimanapun, itu adalah sebuah jalan juga.

Dan barangkali, pada suatu saat nanti, akan makin banyak orang yang berkata seperti seorang penyair ini, ”Di tengah hutan jalan setapak terbelah dua. Aku memilih jalan yang jarang dilalui orang, dan pilihan itu telah mengubah hidupku.” (Robert Frost, Road Not Taken)*

SEKOLAH KEHIDUPAN

Seorang anak 15 tahun berdiri dengan wajah menantang saat diseret ke depan kepala sekolah. Ia ketahuan memukul temannya hingga cedera. Anak itu memang sering berbuat kenakalan. Guru-guru telah memberinya berbagai hukuman, tapi ia tak pernah jera.

Di depan kepala sekolah, anak itu berdiri dengan wajah menantang. Barangkali, yang ada di benaknya adalah, ”Hukuman apa lagi yang akan kuterima?” Tapi kepala sekolah itu hanya memandangnya beberapa saat lamanya, lalu berdiri dan memeluk anak itu. ”Nak, engkau sungguh berharga; hidupmu pun sungguh berharga. Mengapa kau sia-siakan hidupmu dengan semua kenakalan itu?” Kepala sekolah itu menangis. Anak itu pun menangis.

Di dalam hidup ini, dengan segala kerendahan hati yang boleh kita punya, kita tak ubahnya seorang anak sekolah yang terus belajar dan terus belajar. ”Semua orang adalah guru, semua tempat adalah sekolah,” kata seorang pemikir.

Jika hal-hal ini: saluran air mampet, sungai kecil di dekat rumah kita tercemar dan penuh sampah, orang-orang duduk menganggur tak punya pekerjaan, bayi menangis karena perutnya lapar, seseorang terpaksa mati karena tak punya biaya berobat, petani dan nelayan yang selalu miskin, barang-barang impor yang menyesaki supermarket, resto waralaba asing yang mengubah pola makan kita... tak membuat kita belajar dan menjadi ’paham’, tak membuat kita mengerti dan mau bergerak untuk melakukan perubahan, boleh dibilang kita telah menjadi murid yang gagal dari sekolah kehidupan.

Pada saat yang sama, mungkin ’kepala sekolah’ kita sedang menangis; di tangannya tertumpuk berkas-berkas yang berisikan nama-nama kita. Ia hanya ingin kita tinggal dan belajar...*

gembala kecil