Dalam sebuah penderitaan, St. Teresa Avila pernah mendengar Allah berkata, ”Teresa, mereka yang dikasihi Tuhan, disiksa oleh-Nya. Inilah cara Aku memperlakukan sahabat-sahabat-Ku.” Teresa pun menjawab, ”Makanya sahabat-sahabat-Mu begitu sedikit!” (Riwayat Hidup Para Kudus, 2002).
Mencintai Allah memang tak selalu jadi perkara mudah. Malahan, dalam banyak hal, mencintai Allah merupakan kesusahan demi kesusahan. Bukankah mencintai Dia berarti memahami kehendak-Nya, dan mencintai Dia juga berarti menjalankan kehendak itu? Di situlah letak susahnya.
Barangkali kita masih berusaha mencintai Dia demi Dia, untuk menyenangkan-Nya saja. Kita belum mencintai Dia karena Dia sendiri; sebab bukankah Dia adalah Sang Mahacinta? Karena itulah, Yesus berkata, ”Bukan yang berseru-seru ’Tuhan, Tuhan’ yang akan masuk ke dalam surga, melainkan mereka yang menjalankan kehendak Bapa-Ku.” (bdk. Mat 7, 21).
Mencintai Allah pun adalah sebuah proses, sebuah pergulatan. Dari situlah iman akan tumbuh. Allah bermaksud menyerahkan manusia kepada keputusannya sendiri (Sir 15, 14), supaya ia dengan sukarela mencari Penciptanya dan dengan mengabdi kepada-Nya secara bebas, mencapai kesempurnaan sepenuhnya yang membahagiakan (GS, 17) (Katekismus, 1730). Inilah cinta yang membebaskan itu!*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar