Oktober 29, 2008

SEKOLAH KEHIDUPAN

Seorang anak 15 tahun berdiri dengan wajah menantang saat diseret ke depan kepala sekolah. Ia ketahuan memukul temannya hingga cedera. Anak itu memang sering berbuat kenakalan. Guru-guru telah memberinya berbagai hukuman, tapi ia tak pernah jera.

Di depan kepala sekolah, anak itu berdiri dengan wajah menantang. Barangkali, yang ada di benaknya adalah, ”Hukuman apa lagi yang akan kuterima?” Tapi kepala sekolah itu hanya memandangnya beberapa saat lamanya, lalu berdiri dan memeluk anak itu. ”Nak, engkau sungguh berharga; hidupmu pun sungguh berharga. Mengapa kau sia-siakan hidupmu dengan semua kenakalan itu?” Kepala sekolah itu menangis. Anak itu pun menangis.

Di dalam hidup ini, dengan segala kerendahan hati yang boleh kita punya, kita tak ubahnya seorang anak sekolah yang terus belajar dan terus belajar. ”Semua orang adalah guru, semua tempat adalah sekolah,” kata seorang pemikir.

Jika hal-hal ini: saluran air mampet, sungai kecil di dekat rumah kita tercemar dan penuh sampah, orang-orang duduk menganggur tak punya pekerjaan, bayi menangis karena perutnya lapar, seseorang terpaksa mati karena tak punya biaya berobat, petani dan nelayan yang selalu miskin, barang-barang impor yang menyesaki supermarket, resto waralaba asing yang mengubah pola makan kita... tak membuat kita belajar dan menjadi ’paham’, tak membuat kita mengerti dan mau bergerak untuk melakukan perubahan, boleh dibilang kita telah menjadi murid yang gagal dari sekolah kehidupan.

Pada saat yang sama, mungkin ’kepala sekolah’ kita sedang menangis; di tangannya tertumpuk berkas-berkas yang berisikan nama-nama kita. Ia hanya ingin kita tinggal dan belajar...*

Tidak ada komentar: