Januari 17, 2009

KEBIJAKSANAAN DARI KEDALAMAN LAUTAN

Laut diciptakan bukan hanya untuk dihuni paus dan lumba-lumba, namun juga untuk makhluk-makhluk lainnya. Mereka hidup dalam saling ketergantungan, beberapa lainnya bahkan saling memangsa. Bahkan lautan pun memiliki hukum-hukumnya sendiri; sebuah mekanisme alamiah yang mengatur suatu siklus hidup.

Dunia tempat kita tinggal pun diciptakan bagi semua orang: yang baik dan jahat, yang lurus dan sesat, yang berkelimpahan dan berkekurangan. Sebagai makhluk berakal budi yang diciptakan secitra dengan Penciptanya, manusia mempunyai panggilannya sendiri: mengasihi, saling menyempurnakan, menggapai kekudusan. Sebab, ciptaan tidaklah diciptakan dalam keadaan sempurna; ia diciptakan dalam keadaan in statu viae, di tengah perjalanan, menuju kesempurnaan terakhir yang dipikirkan oleh Sang Pencipta baginya (lih. Katekismus, 302).

Dibutuhkan suatu kebijaksanaan tersendiri untuk menemukan ’mekanisme alamiah’ ini. Seringkali, kita lebih percaya pada suatu mekanisme yang lain: yang kuat menindas yang lemah, atau yang kuat adalah yang berkuasa sehingga yang lemah akan tersingkirkan dengan sendirinya.

Dibutuhkan suatu keberanian untuk berpaling kepada mekanisme alamiah kita yang sejati. Yang kuat adalah harapan bagi yang lemah; yang lemah adalah panggilan bagi yang kuat. Keduanya saling membutuhkan dalam sebuah perjalanan menggapai kekudusan. Satu sama lain merupakan bantuan, sehingga yang satu dan yang lain pada akhirnya akan sampai pada suatu kesempurnaan.

Bahkan seorang ahli Taurat ibarat tuan rumah yang mempunyai harta lama maupun baru; sama seperti kebijaksanaan dan keberanian pun membutuhkan waktu...*

HIDUP DALAM KEMATIAN

Seringkali, kita takhluk pada situasi hidup sehari-hari. Hal itu tampak jelas akhir-akhir ini, ketika beban hidup kita semakin berat. Secara ekonomi, harga-harga kebutuhan terus melambung. Secara sosial, orang makin mementingkan diri sendiri sehingga solidaritas sungguh sulit untuk diwujudkan. Secara politis, kita berhadapan dengan kekuatan-kekuatan tertentu di masyarakat, sementara itu pula kita harus bersiap menghadapi transisi kepemimpinan nasional.

Hal-hal yang tak mudah dihadapi, bukan? Tak hanya kemampuan ekonomi-sosial-politis saja yang perlu mendapat perhatian, namun juga kualitas iman. Kalau boleh bertanya: dalam situasi semacam itu, kualitas iman macam apakah yang terbentuk?

Barangkali, mereka yang lemah secara ekonomi-sosial-politis, akan melihat hidup tak lebih dari kutukan. ’Hidup adalah penderitaan, sedangkan aku hidup untuk menderita. Inilah takdir yang harus aku jalani. Dunia adalah dua kutub; kita hanya boleh memilih satu saja di antaranya. Lalu di manakah Tuhan? Tampaknya, Tuhan memilih kutub yang satunya... sebab di sana orang serba berkecukupan dan berkuasa...’

Mereka yang kuat secara ekonomi-sosial-politis, barangkali melihat hidup sebagai sebuah kemuliaan dan akan berkata begini: ’Hidup ini luar biasa, memberikan kepuasan yang besar. Inilah hidup yang sesungguhnya! Hidup yang memberiku apa saja yang aku inginkan. Lalu di manakah Tuhan? Ah, di tengah semua ini, masihkah aku membutuhkan Tuhan?’

Agaknya, dunia ini butuh lebih banyak orang yang mampu menjangkau yang satu dan meraih yang lain. Selama dunia tercabik dan terpecah, tak ada harapan untuk semua. Selama dunia dialami tanpa Allah, tak akan pernah ada keselamatan untuk semua.

Allah adalah kasih; mereka yang mengasihi adalah mereka yang lahir dari Allah dan mengenal Allah (bdk. 1 Yoh 4:7). Karena itulah, mereka pun adalah orang-orang yang percaya bahwa keselamatan datang dari Allah (bdk. Yoh 11:25). Keselamatan itu bukan untuk satu-dua orang saja, melainkan untuk seluruh manusia sebagaimana disabdakan-Nya, ”Aku datang bukan untuk menghakimi dunia, melainkan menyelamatkannya!” (bdk. Yoh 12:47).

Maukah kita mewartakan keselamatan itu?*

HADIR

Dalam jarak tak lebih 100 meter dari gerbang sebuah gereja, seseorang 30-an tahun, menderita sakit yang parah. Ia tak punya biaya untuk berobat. Segala usaha telah dikerahkan, namun uluran tangan tak juga didapatkan. Terlalu mahal; tak ada yang mau membiayai perawatan seorang miskin yang terkena gangguan hati dan ginjal.

Pada akhirnya, orang itu pun mati. Perlahan; dalam kesakitan dan penderitaan.
Barangkali kisah itu bukan satu-satunya. Barangkali masih banyak yang tercecer dan terserak, bahkan di depan gerbang gereja kita sendiri. Apa yang pernah kita lakukan? Apa yang sudah kita buat?

Penderitaan sesama menuntut kehadiran kita. Jika kita absen dari persoalan-persoalan kemanusiaan, lalu apakah arti hukum ini: kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri? Lantas apakah makna Ekaristi dan penebusan, sebagaimana telah dilakukan oleh Yesus bagi kita?

Seseorang tak membeli ikat pinggang hanya untuk dikuburkan di padang (bdk. Yer 13:4), atau mempunyai benih yang tak pernah ditaburkan ke tanah, pun ragi yang tak akan dicampurkan ke dalam adonan roti (bdk. Mat 13:31, 33). Setiap dari kita mempunyai panggilan untuk digenapi.

Bila menyangkut kita dan sesama, panggilan itu ada dalam satu kata yang sederhana ini: hadir.*

MELIHAT NAMUN TAK TAHU, MENDENGAR TAPI TAK MENANGKAP

Semua orang mendapat anugerah yang sama dari Allah: hidup dan kehidupan.

Semua orang dapat membaca Kitab Suci atau mengikuti Perayaan Ekaristi.

Setiap orang punya kesempatan yang sama untuk memaknai kesemuanya. Tapi, tentu saja, pemaknaannya yang tak selalu sama.

Ada yang melihat Yesus melalui lembar-lembar kehidupannya, di dalam mata anak-anak yang lapar, di dalam mata orang-orang yang miskin, lemah, sakit, tertindas dan teraniaya, terpeta di bumi dan alam yang kian merana. Yesus menjelma kini dan nanti, bukan sekadar sebuah kisah pada masa lalu; adalah realitas, bukan semata angan-angan atau harapan semu.

Ada juga yang melihat Yesus dalam lembar-lembar Kitab Suci dan Perayaan Ekaristi, namun tak hirau pada apa yang tampak di dalam kehidupannya sehari-hari. Sebab Yesus hanyalah sederet kata-kata dalam kisah lama dan seuntai doa yang menderas; sebab Yesus bukanlah yang dialami, pun diimani.

Lalu dengan cara apakah kita akan menuturkan cerita tentang kehidupan, kepada mereka yang bahkan tak mengerti artinya hidup? Dengan cara apakah kita menayangkan realitas, kepada mereka mempunyai mata namun tak mampu melihat? Dengan cara apa kita mendendangkan bunyi, kepada mereka yang mempunyai telinga namun tak mampu mendengar?

Dan dengan cara apakah kita mampu membawakan Allah, kepada mereka yang mengaku bertuhan namun tak mengerti artinya beriman?*

BENIH YANG BERAKAR DALAM HATIKU

Pada satu kesempatan diskusi terbatas di MBK, seorang peserta menyatakan bahwa zaman ini adalah zaman kebingungan. Orang bingung menentukan nilai-nilai dalam hidup untuk dianut. Orang mudah sekali bergeser sana-sini, tak punya pegangan pasti. Orang tak tahu bagaimana menjawab tantangan zaman. Hidup seolah-olah sepotong gabus di atas lautan; terombang-ambing dan terseret arus.

Padahal, hidup tak perlu begitu. Kepada-Mu-lah aku bertopang mulai dari kandungan. Ya Allah, Engkau telah mengajar aku sejak kecilku, dan sampai sekarang aku memberitakan perbuatan-Mu yang ajaib, demikian kata pemazmur (lih. Mz 71:6.17). Artinya, sama seperti dinyatakan dalam Kitab Suci tentang perumpamaan seorang penabur (lih. Mat 13:1-9), benih-benih yang ditaburkan di dalam hati kita adalah benih-benih Yesus.

Lalu, mengapa kita tidak ‘pede’ dengan benih-benih yang tumbuh dalam hati kita itu? Mengapa masih merasa tak punya pegangan dan mudah diombang-ambingkan?

Barangkali karena mendengarkan dan mengikuti Yesus bukanlah sesuatu yang populis. Membela yang lemah, memperjuangkan keadilan dan perdamaian, bukanlah hal-hal yang menimbulkan decak kagum atau membuat kita dihargai orang. Seringkali, yang terjadi justru penderitaan! Ingat saja ‘malam gelap’ yang dialami Ibu Teresa dari Kalkuta. Ingat saja jalan yang harus dilalui Uskup Agung Oscar Romero hingga ia ditembak mati. Ingat saja semua hal buruk yang dialami oleh para martir kita...

Tak heran, banyak orang lebih suka berpaling. Banyak juga yang setengah-setengah, dan tak sedikit yang bingung menentukan arah. Inilah saatnya, Saudara, untuk menjenguk bilik hati kita. Apakah kita tanah yang subur itu, ataukah sekadar selapis tipis di atas jalanan panas, segumpal kecil di antara batu-batu, atau sepetak sempit di antara semak-semak berduri? Pun bila Kristus yang menaburkan benih-Nya, tak ada tumbuhan apapun di sana yang dapat tahan berdiri!*

Januari 03, 2009

ENGKAULAH IBUKU DAN SAUDARA-SAUDARAKU!


Sebagai orang Katolik, kita seringkali terlalu mudah menganggap, mengakui atau menyebut orang lain sebagai ’saudara’, atau ’saudara seiman’. Mengapa terlalu mudah? Karena, dalam realitasnya, yang tampak pada situasi hidup konkret ’saudara-saudara’ kita itu, menyebut orang lain sebagai saudara justru sama sekali tak mudah.

Menganggap mereka sebagai saudara, berarti mengutarakan suatu kemauan untuk terlibat dalam kehidupan mereka. Memanggil mereka sebagai saudara, berarti menyerukan tata kehidupan yang baik dan benar bagi mereka. Sudahkah itu lakukan?

Tampaknya belum, atau belum cukup. Sebab jika ’ya’ dan ’sudah cukup’, mestinya kemiskinan, kelaparan, generasi yang bodoh karena tak sekolah, penderitaan karena sakit atau kondisi hidup yang buruk, kematian ibu dan anak saat persalinan, tak lagi kita temui di dunia ini.

Lalu apa yang dapat kita lakukan?

Barangkali sudah saatnya untuk memeriksa semua yang pernah kita buat. Apakah segala aktivitas kita, baik yang secara langsung atau sekadar berupa dukungan terhadap suatu kekuatan tertentu, telah memposisikan orang lain tak lagi menjadi saudara bagi kita?*

TANDA-TANDA & KEARIFAN KITA


Seandainya setiap orang mau sebentar saja mengingat-ingat kearifan yang pernah diajarkan kepadanya... apakah dunia ini akan selamat?

Saya masih ingat; dulu ketika duduk di bangku SD, guru mengajar tentang humus dan hutan. Tentang erosi dan pendangkalan sungai. Tentang banjir dan tanah longsor. Guru juga mengajar tentang perkembangan kota dan mundurnya pedesaan. Tentang kesempatan kerja. Tentang urbanisasi. Guru juga mengajar tentang intensifikasi pertanian dan penggunaan pupuk kimia. Tentang swasembada pangan.

Nenek moyang kita juga mengajarkan banyak. Tentang usia tertentu dari sebuah pohon yang boleh ditebang. Tentang hari-hari untuk melaut, juga tentang hari-hari ketika harus berhenti dan bersyukur. Tentang hari-hari untuk menanam, namun juga hari-hari untuk bersemadi dan bertapa. Tentang gotong-royong dan bela rasa. Nenek moyang kita mengajarkan keselarasan dengan alam dan sesama; bahwa kearifan adalah bagian dari hidup keseharian.

Kalau kita mengingat semuanya, memahami artinya dan melakukan hal-hal itu, tentu sekarang kita tak akan berteriak karena banjir, kebakaran hutan, habisnya lahan pertanian, polusi udara, rusaknya tanah, kemiskinan, kelaparan, kejahatan dan banyak lagi masalah lainnya.

Kalau saja kita mengingat semua ajaran dan kearifan yang diturunkan kepada kita... seharusnya kita tahu bahwa melanggar satu saja di antaranya, adalah tanda bahwa kita telah merintis jalan ke arah kehancuran kita sendiri. Tapi begitulah kita. Ajaran dan kearifan telah kalah oleh aktivitas ekonomi, kepentingan diri sendiri dan kesenangan kita atas kekuasaan. Setelah jalan menuju kehancuran itu semakin jelas terpeta, kita pun berteriak pada Tuhan untuk mendapatkan ampun dan keselamatan.

Tersediakah ampun dan keselamatan itu, bagi mereka yang telah mengkhianati keilahiannya sendiri? Barangkali ya, namun setidaknya mereka terlebih dulu harus percaya: bahwa tangan-tangan yang telah merusak itu harus juga menjadi tangan-tangan yang menyelamatkan. Jika tidak, tak akan pernah tersedia tanda bagi keselamatan.*

THE RULES OF THE WORLD


Hidup ini bagaikan sebuah permainan kartu, kata seorang bijak. Setiap orang mendapatkan kartunya sendiri-sendiri dan harus memainkannya dengan benar.

Dalam sebuah permainan kartu, hanya boleh ada satu aturan main yang ditegakkan. Semua pemain terikat pada aturan itu. Kendati begitu, selalu ada peluang bagi berbagai trik dan taktik, bahkan perbuatan yang curang.

Dunia ini pun digerakkan oleh aturan-aturan permainan. Yang paling menonjol dan sangat berpengaruh dalam hidup para pemainnya adalah aturan ekonomi. Ada aturan bahwa seseorang boleh meminjamkan uang kepada orang lain dengan menarik bunga pinjaman. Ada aturan bahwa produksi pertanian harus ditingkatkan demi kecukupan pangan, meski itu berarti eksploitasi lahan dan penggunaan bahan-bahan kimia. Ada aturan bahwa buruh di negara-negara ketiga hanyalah bagian dari komponen produksi suatu barang, meskipun itu berarti sejumlah Rp5 ribu dari Rp500 ribu harga jual sebuah sepatu. Ada sebuah aturan yang bernama perdagangan bebas. Ada aturan bahwa lembaga pemberi hutang berhak menentukan kebijakan ekonomi negara penghutang (yang tentu saja menguntungkan si pemberi hutang).

Aturan-aturan dunia itu, barangkali terasa baik bagi yang mendapat keuntungan. Akan tetapi, tak sedikit yang dirugikan atau bahkan dikorbankan. Faktanya jelas: kemiskinan yang seolah tak terhapuskan.

Yesus pernah datang untuk membela martabat manusia dan menentang aturan yang menelikung serta mengekangnya. ”Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat!” tegas-Nya (bdk. Mat 12:8), menandaskan kekuasaan Allah atas kehidupan dan seluruh ciptaan. Barangkali orang telah lupa pada kearifan-kearifan-Nya yang terangkum dalam sebuah Kitab lama: tidak membebankan bunga hutang (lih. Kel 22:24), berlaku adil terhadap orang miskin (lih. Kel 23:6), mengistirahatkan tanah setiap tujuh tahun (lih. Kel 23:10-11, Im 25:1-7). Dalam jejak-jejak langkah Anak Manusia pun terpeta kearifan-kearifan: dua hukum yang utama (lih. Mat 22:36-40) serta Sabda Bahagia (lih. Mat 5:1-12).

Ketika aturan-aturan dunia sekarang secara jelas menimbulkan kesengsaraan, bukannya kehidupan... apa yang telah kita lakukan sebagai orang-orang yang meniti jejak Sang Anak Manusia? Apakah kita menjadi korban dan merasa kalah, atau menjadi bagian dari pembuat aturan dan sungguh-sungguh tak berdaya dalam membela martabat kemanusiaan sesama kita?

Hidup ini, barangkali memang laksana sebuah permainan kartu. Menjadi tak soal pada akhirnya, apakah kartu-kartu di tangan Anda adalah kartu-kartu biasa atau justru kartu As. Yang terpenting adalah bagaimana cara Anda memainkannya.*

DI BALIK PENDERITAAN


Sebagai orang beriman, kita akrab sekali dengan kata ’penderitaan’. Kita diajak untuk memaknai penderitaan dari kacamata iman; bahwa semua hal yang boleh kita alami, bahkan yang terburuk sekalipun, adalah untuk menyempurnakan kita. Kita juga diajak untuk belajar percaya dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah; bahwa Ia mempunyai rancangan-Nya sendiri, dan Ia jugalah yang tahu apa yang terbaik bagi kita, ciptaan-Nya.

Ketika menyusuri jalanan kota, dan melihat begitu banyak penderitaan di wajah sesama saya—kaum miskin-papa, gelandangan, anak-anak jalanan yang berlarian dengan perut lapar, pengemis tua yang begitu lemah karena sakit, mereka yang cacat dan terlupakan—saya bertanya dalam hati: penderitaan macam apakah ini? Bagaimana mereka dapat mengatasi penderitaan itu?

”Datanglah kepada-Ku yang letih, lesu dan berbeban berat,” sabda Yesus (bdk. Mat 11:28). Bagi saya, sabda Yesus ini bukan sekadar ajakan untuk berdoa, berpasrah dan berharap. Sabda Yesus ini adalah suatu panggilan untuk bertindak melawan penderitaan! ”Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan,” (lih. Yoh 10:10).

Datang kepada Yesus, membiarkan Dia hadir di dalam hidup kita, berarti membiarkan keseluruhan hidup kita itu ditata kembali dalam rencana penyelenggaraan Ilahi. Menghadapi penderitaan sama dengan memperjuangkan hubungan-hubungan yang benar di antara semuanya: manusia & Allah, manusia & manusia, juga manusia & seluruh ciptaan. Nota Pastoral KWI 2006 misalnya, secara tegas menyebut kemiskinan sebagai buah ketidakadilan ekonomi. Artinya, penderitaan karena kemiskinan itu dapat ditanggung dan diatasi, selama ada orang-orang yang berkehendak baik untuk menegakkan keadilan ekonomi itu sendiri.

Barangkali kemiskinan itu tak pernah menyentuh kehidupan kita. Akan tetapi, dapatkah kita sungguh-sungguh berbahagia jika masih ada sesama kita yang menderita?*