
Seandainya setiap orang mau sebentar saja mengingat-ingat kearifan yang pernah diajarkan kepadanya... apakah dunia ini akan selamat?
Saya masih ingat; dulu ketika duduk di bangku SD, guru mengajar tentang humus dan hutan. Tentang erosi dan pendangkalan sungai. Tentang banjir dan tanah longsor. Guru juga mengajar tentang perkembangan kota dan mundurnya pedesaan. Tentang kesempatan kerja. Tentang urbanisasi. Guru juga mengajar tentang intensifikasi pertanian dan penggunaan pupuk kimia. Tentang swasembada pangan.
Nenek moyang kita juga mengajarkan banyak. Tentang usia tertentu dari sebuah pohon yang boleh ditebang. Tentang hari-hari untuk melaut, juga tentang hari-hari ketika harus berhenti dan bersyukur. Tentang hari-hari untuk menanam, namun juga hari-hari untuk bersemadi dan bertapa. Tentang gotong-royong dan bela rasa. Nenek moyang kita mengajarkan keselarasan dengan alam dan sesama; bahwa kearifan adalah bagian dari hidup keseharian.
Kalau kita mengingat semuanya, memahami artinya dan melakukan hal-hal itu, tentu sekarang kita tak akan berteriak karena banjir, kebakaran hutan, habisnya lahan pertanian, polusi udara, rusaknya tanah, kemiskinan, kelaparan, kejahatan dan banyak lagi masalah lainnya.
Kalau saja kita mengingat semua ajaran dan kearifan yang diturunkan kepada kita... seharusnya kita tahu bahwa melanggar satu saja di antaranya, adalah tanda bahwa kita telah merintis jalan ke arah kehancuran kita sendiri. Tapi begitulah kita. Ajaran dan kearifan telah kalah oleh aktivitas ekonomi, kepentingan diri sendiri dan kesenangan kita atas kekuasaan. Setelah jalan menuju kehancuran itu semakin jelas terpeta, kita pun berteriak pada Tuhan untuk mendapatkan ampun dan keselamatan.
Saya masih ingat; dulu ketika duduk di bangku SD, guru mengajar tentang humus dan hutan. Tentang erosi dan pendangkalan sungai. Tentang banjir dan tanah longsor. Guru juga mengajar tentang perkembangan kota dan mundurnya pedesaan. Tentang kesempatan kerja. Tentang urbanisasi. Guru juga mengajar tentang intensifikasi pertanian dan penggunaan pupuk kimia. Tentang swasembada pangan.
Nenek moyang kita juga mengajarkan banyak. Tentang usia tertentu dari sebuah pohon yang boleh ditebang. Tentang hari-hari untuk melaut, juga tentang hari-hari ketika harus berhenti dan bersyukur. Tentang hari-hari untuk menanam, namun juga hari-hari untuk bersemadi dan bertapa. Tentang gotong-royong dan bela rasa. Nenek moyang kita mengajarkan keselarasan dengan alam dan sesama; bahwa kearifan adalah bagian dari hidup keseharian.
Kalau kita mengingat semuanya, memahami artinya dan melakukan hal-hal itu, tentu sekarang kita tak akan berteriak karena banjir, kebakaran hutan, habisnya lahan pertanian, polusi udara, rusaknya tanah, kemiskinan, kelaparan, kejahatan dan banyak lagi masalah lainnya.
Kalau saja kita mengingat semua ajaran dan kearifan yang diturunkan kepada kita... seharusnya kita tahu bahwa melanggar satu saja di antaranya, adalah tanda bahwa kita telah merintis jalan ke arah kehancuran kita sendiri. Tapi begitulah kita. Ajaran dan kearifan telah kalah oleh aktivitas ekonomi, kepentingan diri sendiri dan kesenangan kita atas kekuasaan. Setelah jalan menuju kehancuran itu semakin jelas terpeta, kita pun berteriak pada Tuhan untuk mendapatkan ampun dan keselamatan.
Tersediakah ampun dan keselamatan itu, bagi mereka yang telah mengkhianati keilahiannya sendiri? Barangkali ya, namun setidaknya mereka terlebih dulu harus percaya: bahwa tangan-tangan yang telah merusak itu harus juga menjadi tangan-tangan yang menyelamatkan. Jika tidak, tak akan pernah tersedia tanda bagi keselamatan.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar