
Sebagai orang Katolik, kita seringkali terlalu mudah menganggap, mengakui atau menyebut orang lain sebagai ’saudara’, atau ’saudara seiman’. Mengapa terlalu mudah? Karena, dalam realitasnya, yang tampak pada situasi hidup konkret ’saudara-saudara’ kita itu, menyebut orang lain sebagai saudara justru sama sekali tak mudah.
Menganggap mereka sebagai saudara, berarti mengutarakan suatu kemauan untuk terlibat dalam kehidupan mereka. Memanggil mereka sebagai saudara, berarti menyerukan tata kehidupan yang baik dan benar bagi mereka. Sudahkah itu lakukan?
Tampaknya belum, atau belum cukup. Sebab jika ’ya’ dan ’sudah cukup’, mestinya kemiskinan, kelaparan, generasi yang bodoh karena tak sekolah, penderitaan karena sakit atau kondisi hidup yang buruk, kematian ibu dan anak saat persalinan, tak lagi kita temui di dunia ini.
Lalu apa yang dapat kita lakukan?
Menganggap mereka sebagai saudara, berarti mengutarakan suatu kemauan untuk terlibat dalam kehidupan mereka. Memanggil mereka sebagai saudara, berarti menyerukan tata kehidupan yang baik dan benar bagi mereka. Sudahkah itu lakukan?
Tampaknya belum, atau belum cukup. Sebab jika ’ya’ dan ’sudah cukup’, mestinya kemiskinan, kelaparan, generasi yang bodoh karena tak sekolah, penderitaan karena sakit atau kondisi hidup yang buruk, kematian ibu dan anak saat persalinan, tak lagi kita temui di dunia ini.
Lalu apa yang dapat kita lakukan?
Barangkali sudah saatnya untuk memeriksa semua yang pernah kita buat. Apakah segala aktivitas kita, baik yang secara langsung atau sekadar berupa dukungan terhadap suatu kekuatan tertentu, telah memposisikan orang lain tak lagi menjadi saudara bagi kita?*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar