Laut diciptakan bukan hanya untuk dihuni paus dan lumba-lumba, namun juga untuk makhluk-makhluk lainnya. Mereka hidup dalam saling ketergantungan, beberapa lainnya bahkan saling memangsa. Bahkan lautan pun memiliki hukum-hukumnya sendiri; sebuah mekanisme alamiah yang mengatur suatu siklus hidup.
Dunia tempat kita tinggal pun diciptakan bagi semua orang: yang baik dan jahat, yang lurus dan sesat, yang berkelimpahan dan berkekurangan. Sebagai makhluk berakal budi yang diciptakan secitra dengan Penciptanya, manusia mempunyai panggilannya sendiri: mengasihi, saling menyempurnakan, menggapai kekudusan. Sebab, ciptaan tidaklah diciptakan dalam keadaan sempurna; ia diciptakan dalam keadaan in statu viae, di tengah perjalanan, menuju kesempurnaan terakhir yang dipikirkan oleh Sang Pencipta baginya (lih. Katekismus, 302).
Dibutuhkan suatu kebijaksanaan tersendiri untuk menemukan ’mekanisme alamiah’ ini. Seringkali, kita lebih percaya pada suatu mekanisme yang lain: yang kuat menindas yang lemah, atau yang kuat adalah yang berkuasa sehingga yang lemah akan tersingkirkan dengan sendirinya.
Dibutuhkan suatu keberanian untuk berpaling kepada mekanisme alamiah kita yang sejati. Yang kuat adalah harapan bagi yang lemah; yang lemah adalah panggilan bagi yang kuat. Keduanya saling membutuhkan dalam sebuah perjalanan menggapai kekudusan. Satu sama lain merupakan bantuan, sehingga yang satu dan yang lain pada akhirnya akan sampai pada suatu kesempurnaan.
Bahkan seorang ahli Taurat ibarat tuan rumah yang mempunyai harta lama maupun baru; sama seperti kebijaksanaan dan keberanian pun membutuhkan waktu...*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar