Seringkali, kita takhluk pada situasi hidup sehari-hari. Hal itu tampak jelas akhir-akhir ini, ketika beban hidup kita semakin berat. Secara ekonomi, harga-harga kebutuhan terus melambung. Secara sosial, orang makin mementingkan diri sendiri sehingga solidaritas sungguh sulit untuk diwujudkan. Secara politis, kita berhadapan dengan kekuatan-kekuatan tertentu di masyarakat, sementara itu pula kita harus bersiap menghadapi transisi kepemimpinan nasional.
Hal-hal yang tak mudah dihadapi, bukan? Tak hanya kemampuan ekonomi-sosial-politis saja yang perlu mendapat perhatian, namun juga kualitas iman. Kalau boleh bertanya: dalam situasi semacam itu, kualitas iman macam apakah yang terbentuk?
Barangkali, mereka yang lemah secara ekonomi-sosial-politis, akan melihat hidup tak lebih dari kutukan. ’Hidup adalah penderitaan, sedangkan aku hidup untuk menderita. Inilah takdir yang harus aku jalani. Dunia adalah dua kutub; kita hanya boleh memilih satu saja di antaranya. Lalu di manakah Tuhan? Tampaknya, Tuhan memilih kutub yang satunya... sebab di sana orang serba berkecukupan dan berkuasa...’
Mereka yang kuat secara ekonomi-sosial-politis, barangkali melihat hidup sebagai sebuah kemuliaan dan akan berkata begini: ’Hidup ini luar biasa, memberikan kepuasan yang besar. Inilah hidup yang sesungguhnya! Hidup yang memberiku apa saja yang aku inginkan. Lalu di manakah Tuhan? Ah, di tengah semua ini, masihkah aku membutuhkan Tuhan?’
Agaknya, dunia ini butuh lebih banyak orang yang mampu menjangkau yang satu dan meraih yang lain. Selama dunia tercabik dan terpecah, tak ada harapan untuk semua. Selama dunia dialami tanpa Allah, tak akan pernah ada keselamatan untuk semua.
Allah adalah kasih; mereka yang mengasihi adalah mereka yang lahir dari Allah dan mengenal Allah (bdk. 1 Yoh 4:7). Karena itulah, mereka pun adalah orang-orang yang percaya bahwa keselamatan datang dari Allah (bdk. Yoh 11:25). Keselamatan itu bukan untuk satu-dua orang saja, melainkan untuk seluruh manusia sebagaimana disabdakan-Nya, ”Aku datang bukan untuk menghakimi dunia, melainkan menyelamatkannya!” (bdk. Yoh 12:47).
Maukah kita mewartakan keselamatan itu?*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar