Mei 30, 2008

Ilalang & Gandum

31 Juli 2007

26 Juli 1996. Kantor Partai Demokrasi Indonesia di Jln. Diponegoro, Jakarta, malam itu lengang. Beberapa orang hilir-mudik sedikit bergegas. Aku dan beberapa wartawan muda, duduk di koridor panjang, menanti seseorang. Ketika itulah, seorang yang bertubuh besar dan berkulit hitam duduk di sampingku. Kami pun mulai bercakap-cakap.

Ia adalah pendukung Megawati Soekarnoputri, berasal dari Papua. Mengingat kondisi politik saat itu, kuberanikan diri bertanya, “Mengapa Bapak begitu yakin pada Bu Mega?” Laki-laki itu, dengan mata berapi-api, menatapku tajam. “Saya yakin! Kalau nanti Bu Mega jadi presiden, keadilan akan ditegakkan di Papua!” Masih banyak yang ia katakan, sampai kawan-kawanku mengajakku pulang. Kujabat erat tangan bapak itu disertai ucapan, “Semoga sukses, Pak.” Aku berlari menyusul kawan-kawanku yang sudah menyeberang jalan. Entah mengapa, ada perasaan yang menggayut, menahan kami untuk tak segera pulang. Toh akhirnya, pkl. 11 malam, seorang kawan berkata, “Tak akan terjadi apa-apa malam ini. Kita sudah seharian cari berita. Lebih baik pulang dan beristirahat.”

27 Juli 1996. Pkl. 06.30, kepala reporter menelepon, menugasiku untuk segera meluncur ke Diponegoro. “Kantor itu diserang!” katanya singkat. Ketika sampai di sana, massa sudah berkumpul dan marah. Ada selembar kemeja berlumur darah dibentangkan. Kepalaku pening. Ke mana Bapak yang kuajak bicara semalam? Selamatkah ia? Hidup, atau mati? Aku beranjak ke RSCM, dan kerusuhan 27 Juli yang terkenal itu pun berlangsung di depan mataku. Tentara memukuli massa dengan membabi-buta. Gedung-gedung dihancurkan dan dibakar. Bus-bus di jalan juga dibakar. Di UGD, aku membantu mencatat nomor-nomor telepon yang dibisikkan korban selama mereka menjalani perawatan, lalu menghubungi keluarga mereka untuk mengabarkan yang terjadi.

Malam itu aku pulang, berjalan kaki, dengan gontai. Apakah Bapak dari Papua itu selamat? Apakah ia hidup? Apakah mati? Ia hanya menginginkan keadilan ditegakkan di bumi Papua. Keinginan yang sungguh baik itu, sepadankah dibayar dengan kematian? Kalaupun ia sungguh mati, sepadankah kematian itu dengan carut-marut dunia politik yang penuh kepentingan? Dengan para pejabat negara yang tak memikirkan kesejahteraan rakyatnya sebab hanya mementingkan kesejahteraan diri sendiri & kelompoknya? Dengan anak-anak bangsa lainnya yang tak peduli pada penderitaan sesamanya?

Dunia ini melahirkan banyak pemimpi dan menyaksikan mereka mati. Sebagian besar mati tanpa sempat mewujudkan mimpinya. Aku bertanya-tanya: itukah arti bertahan sampai akhir, bahkan ketika napas penghabisan berembus, kita menyadari bahwa kita hanyalah bagian dari sebuah riwayat panjang yang belum akan diakhiri?

Ilalang akan selamanya tumbuh bersama gandum sampai tiba hari tuaian. Mungkin, segala sesuatu memang akan indah pada saatnya. Dalam masa penantian itu, ada begitu banyak hal menyakitkan yang harus dialami. Mengapa? Barangkali, dengan cara itulah harapan akan punya makna...

Doa:
Tuhan, izinkan aku memeluk-Mu lebih erat, lebih erat lagi...

Biji Sesawi & Ragi

30 Juli 2007

Memegang visi Kerajaan Allah, pada zaman sekarang ini, menjadi sesuatu yang mengecilkan hati. Begitu banyak masalah kita hadapi: kemiskinan, kelaparan, pendidikan, pemenuhan kebutuhan ekonomi, kerusakan lingkungan, merosotnya moralitas dan terganggunya relasi antar manusia.

Menghadapi semuanya itu, teladan dan petuah Yesus sebagaimana termuat di Kitab Suci terasa makin jauh dan tak masuk akal. Visi Kerajaan Allah yakni keselamatan, yang di antaranya termasuk mewujudkan keadilan dan perdamaian, terasa sungguh sulit untuk digapai. Masihkah kita punya harapan? Bagaimana caranya bertahan di dalam harapan itu?

Injil hari ini mengisahkan perumpamaan mengenai Kerajaan Surga yang diibaratkan dengan biji sesawi dan ragi. Kedua wujud itu, biji sesawi dan ragi, memang bukan wujud yang 'mengesankan'. Biji sesawi adalah biji yang kecil, dan ragi adalah butiran yang jauh lebih kecil lagi. Mengapa Yesus mengambil dua bentuk yang sederhana itu?

Kata kuncinya adalah: potensi. Biji sesawi kecil itu berpotensi untuk menjadi sebatang pohon yang besar dan kuat, sehingga mampu meneduhi mereka yang bernaung di bawahnya. Butiran mungil ragi itu berpotensi mengembangkan roti sehingga dapat mengenyangkan mereka yang memakannya. Itulah potensi Kerajaan Allah.

Segala yang berasal dari Tuhan baik adanya. Berpegangkan hal ini, sebetulnya kita tak perlu khawatir. Allah tak akan memberikan kepada kita visi tentang kerajaan-Nya tanpa Ia berikan juga potensi-potensi yang dapat kita kembangkan. Kita hanya perlu mengembangkan sikap percaya pada penyelenggaraan Ilahi-Nya, penyerahan diri kepada-Nya, pengakuan atas kuasa-Nya serta harapan yang hanya pada-Nya supaya kita tidak merasa sendirian dalam mencapai visi Kerajaan Allah tersebut.

Benih-benih Gandum

28 Juli 2007

Hari ini, Yesus menyapa kita melalui perumpamaan- Nya tentang lalang di antara gandum. Hal Kerajaan Surga itu ibarat orang yang menaburkan benih baik di ladangnya, namun ketika semua orang tidur, datanglah orang yang menaburkan benih lalang sehingga pada akhirnya, gandum pun tumbuh bersama ilalang (lihat ayat 24-27).

Kita semua adalah imago Dei, citraan Allah. Dia membentuk kita sebagaimana gambaran-Nya; memberi hidup untuk disusuri sebagai panggilan bagi kita, sama seperti sebutir benih ditanam di tanah untuk tumbuh dan berbuah. Akan tetapi, benih-benih yang baik ini selalu diancam oleh benih-benih lain yang tumbuh bersamanya.

Demikian juga kita. Kita, yang pada awalnya baik ini (bdk. 1 Tim 4:4), tumbuh di dalam lingkungan yang memberikan berbagai pengaruh yang mengancam kebaikan kita. Tidak mudah memang, bertahan untuk menjadi baik sementara orang-orang di sekitar kita tak peduli untuk menjadi baik atau buruk. Ketika dunia menjadi semakin praktis dan materialistis, memperjuangkan kebaikan seringkali terasa seperti sesuatu yang bombastis. Barangkali orang berpikir, "Untuk apa? Bukankah yang terpenting adalah hidup hari ini dan bertahan sebelum yang lain menggerusmu sampai habis?"

Kita berbeda dengan mereka, karena kita memegang visi Kerajaan Allah. Kita punya Allah untuk diimani, punya panggilan untuk disahuti. Itulah yang membedakan ilalang dengan gandum. Sekeras-kerasnya ilalang berusaha, ia tak akan pernah dapat menjadi gandum. Ilalang pun tak pernah bisa menyerupai gandum yang akan berbuah dan memberikan manfaat. Ilalang hanya mampu mengimpit gandum supaya pertumbuhannya terhambat dan tak lagi menghasilkan buah.

Kita adalah benih-benih gandum Allah. Bertahan hidup sebagai gandum di tengah impitan ilalang adalah tantangan bagi kita. Tak mudah memang, tapi bukankah itu harus dilakukan supaya kita menjadi semacam kesaksian bagi dunia? Jika Kristus saja sudah mengalaminya, mengapa kita harus gentar? Ingatlah apa yang pernah dikatakan-Nya: jikalau dunia membenci kamu, ingatlah bahwa ia telah lebih dahulu membenci Aku daripada kamu. Sekiranya kamu dari dunia, tentulah dunia mengasihi kamu sebagai miliknya. Tetapi karena kamu bukan dari dunia, melainkan Aku telah memilih kamu dari dunia, sebab itulah dunia membenci kamu. Jikalau mereka telah menganiaya Aku, mereka juga akan menganiaya kamu (Yohanes 15:18-19.20b).

Petani & Benih

27 Juli 2007

Kakek dan nenekku tinggal di desa dan menjadi petani. Di dekat rumah terhampar petak-petak sawah. Di pekarangan tumbuh berbagai macam pepohonan. Kala liburan sekolah, aku senang sekali dapat mengunjungi mereka dan melihat-lihat panenan yang telah dikumpulkan. Pada satu saat, tumpukan gabah kering siap digiling. Pada saat yang lain, pipilan jagung telah rapi bertumpuk di karung-karung, dan berhampar-hampar cengkeh menantang matahari di halaman. Yang paling kusukai adalah duduk diam dan mendengarkan bagaimana biji-biji kacang hijau berlompatan keluar dari selongsong mereka yang mengerut karena tertimpa panas matahari.

Saat malam tiba, desa begitu sunyi dan gelap karena penerangan listrik sangat terbatas. Biasanya, kami berkumpul di ruang makan yang luas dan temaram. Lantainya tanah, dan nenekku memasak di tungku berbahan bakar kayu. Ada sebuah meja panjang dengan bangku panjang di kedua sisinya. Di sana aku duduk, meminum teh hangat yang manis dan mendengarkan Kakek-Nenekku bercerita kepada Papa tentang sawah dan ladang mereka, tentang binatang ternak dan banyak hal lainnya.

Banyak yang telah dikisahkan di meja kayu panjang itu. Cuaca, curah hujan yang terlalu sedikit atau terlampau banyak, angin, kemarau panjang, pupuk yang mahal, hama dan berbagai penyakit tanaman. Aku mendengarkan dalam diam, sembari memainkan wayang dari batang daun singkong yang dibuat oleh Papa. Dalam hati aku bertanya-tanya; bagaimana mungkin ada orang yang begitu tabah menjalani pekerjaan yang penuh dengan ketidakpastian? Tidak ada akses untuk informasi cuaca di sana; seorang petani hanya mengandalkan ketajaman naluri dan kepekaan mendengarkan suara-suara alam. Tak pernah ada jaminan bahwa panen selalu berhasil.

Yang paling mengherankanku adalah kemampuan penerimaan Kakek dan Nenek yang luar biasa. Nada suara mereka tetap sama ketika bercerita tentang beras yang melimpah atau jagung yang rusak. Keuntungan hasil penjualan di pasar atau jatuhnya harga komoditas pertanian. Apapun keadaan yang terjadi selalu diterima dengan kesabaran dan kerelaan yang sama. Dan mereka tak pernah berhenti menjadi petani. Sampai akhir hidupnya, mereka terus menaburkan benih, merawat pucuk-pucuk hijau yang tumbuh darinya serta menantikan buah dari keuletan mereka.

Allah pun tak pernah berhenti berkarya dalam diri kita. Ia tetap setia dalam kepercayaan dan kerelaan-Nya, menaburkan benih-benih kebaikan dan cinta kasih ke hati kita yang keras, berbatu, bahkan beronak duri. Ia tidak memilih-milih hati tempat benih akan ditaburkan. Ia tinggal dalam harapan yang sama ketika menantikan panenan dari benih yang ditaburkan-Nya di hati yang lembut maupun berbatu. Ia diam dalam penantian-Nya di tengah angin dan hujan, panas dan serangan hama penyakit; menantikan apakah benih-Nya akan tumbuh dengan kuat atau justru mati dengan sia-sia.

Seorang petani tak pernah dapat dipisahkan dari tanahnya; seorang petani bukanlah petani tanpa tanah. Dalam sejarah, kita mengetahui bahwa para petani selalu berjuang keras untuk mempertahankan tanahnya. Mereka akan mengupayakan berbagai cara untuk mendapatkan tanah itu kembali. Allah pun tak tak pernah rela dipisahkan dari ciptaan-Nya; Ia bahkan rela mengorbankan anak-Nya yang tunggal agar kita kembali kepada-Nya...
26 Juli 2007

Ada seseorang yang aktivitas rohaninya begitu sibuk. Ia hampir selalu mengikuti misa harian, mengikuti berbagai jenis doa atau novena di mana-mana, juga sering mengikuti retret.

Seorang sahabat bertanya kepadanya, "Sebenarnya, apa sih yang kau cari dari semua aktivitas rohanimu itu?" Dia memandang sahabatnya dengan heran dan menjawab tak sabar, "Aku kan ingin mendengarkan apa yang ingin dikatakan Tuhan kepadaku."

Ya. Mencoba menangkap apa yang disampaikan Tuhan kepada kita memang bukan perkara mudah. Injil hari ini menceritakan hal itu. Para murid bertanya mengapa Yesus menyampaikan banyak perumpamaan. Yesus menjawab, "Kalian diberi karunia mengetahui Kerajaan Sorga, tetapi orang-orang lain tidak. Itulah sebabnya Aku mengajar mereka dengan perumpamaan; karena biarpun melihat, mereka tidak tahu dan biarpun mendengar, mereka tidak menangkap dan tidak mengerti." (lihat ayat 11-13).

Injil hari ini sekali lagi menunjukkan betapa murah hatinya Yesus. Ia tak pernah kehilangan kesabaran untuk menempuh berbagai cara agar kita dapat memahami jalan keselamatan yang ditawarkan-Nya. Barangkali, kita pun sudah menanggapi panggilan-Nya itu, namun kita sangat letih berusaha menggapai-Nya, karena cara-cara yang kita tempuh agaknya justru makin mempersulit kita untuk mencapai-Nya.

D sudut yang jauh, seseorang tengah bercakap dengan sahabatnya, "Tidakkah kau jumpai Dia dalam keseharianmu? Ia pasti sedang ingin mengatakan sesuatu melalui gelak tawa dan kepedihanmu, para sahabat dan mereka yang memusuhimu, bahkan orang-orang yang kau jumpai di jalan-jalan yang kau lewati. Yesus pasti sedang memintamu untuk melakukan sesuatu kepada tetanggamu yang miskin itu, pengemis di sudut jalanan situ, atau kawanmu yang sedang sakit dan merindukan kehadiranmu. Mengapa kau begitu sibuk mengejar-Nya? Ia telah memberimu sesuatu yang sangat berharga. Ia memberimu hidup, yang bukan sekadar waktu untuk berdoa atau berada di dalam gereja."

Kata seorang penyair, hidup adalah sebuah doa yang panjang...
25 Juli 2007

Tanah Papua, 1969. Saat itu menjelang diadakannya referendum. Menurut New York Agreement yang ditandatangani oleh Belanda dan Indonesia serta disponsori oleh Amerika Serikat pada 1962, orang Papua harus mengikuti pemilu untuk menentukan nasib sendiri. Jajak pendapat itu disebut Act of Free Choice.

Agaknya fajar baru hendak segera merekah di Tanah Papua. Akan tetapi, menjelang jajak pendapat tersebut, penganiayaan terhadap orang Papua yang memilih untuk merdeka terjadi secara terus-menerus. Dari sekitar 800 ribu orang Papua Barat, hanya seperdelapannya saja yang diberi kesempatan untuk ikut memilih. Alhasil, oleh orang Papua sendiri, pemilu itupun disebut Act of No Choice.

Penganiayaan terhadap orang Papua juga dialami Guru Aurelius. Dipaparkan oleh Uwe Hummel dalam buku Teologi Bencana (Oase Intim, Makassar, 2006), Guru Aurelius dipaksa untuk menunjukkan lokasi bersarangnya 'para pemberontak' dari kelompok yang digelari Organisasi Papua Merdeka (OPM). Selama berbulan-bulan ia tidak mandi atau mengganti pakaiannya. Ia hampir selalu merasa lapar dan haus, belum lagi menahan siksaan fisik yang diterimanya, juga keharusan untuk berjalan kaki sepanjang hari di dalam hutan. Bahkan, karena sedemikian hebatnya siksaan itu, Guru Aurelius menjadi buta.

Dalam penderitaan seberat itu, tak seleret pun dendam terlintas di hatinya. Ia dibesarkan oleh cerita-cerita rakyat mengenai Koyeidaba, pahlawan dan juru selamat bagi orang Papua. Jauh di kemudian hari ketika ia mengikuti Sekolah Minggu, ia mengenal juru selamat itu sebagai Yesus Kristus. Ia sangat meyakini petuah Sang Juru Selamat untuk mengasihi musuh dan mendoakan orang yang berbuat jahat. Keyakinan itulah yang membuatnya bertahan di hutan Manyambouw. Kendati situasi hidup begitu memberat, Guru Aurelius merasakan kedamaian dan kebahagiaan. Ia bahkan tak pernah berhenti mendoakan para tentara yang menyiksanya.

Injil hari ini mengisahkan tentang perdebatan di antara para murid tentang yang terbesar di antara mereka, juga kemuliaan sebagai ganjaran mengikuti Yesus. Yesus berkata, "Dapatkah kamu meminum cawan yang harus Ku-minum?" (lihat ayat 21-23).

Yesus dikenal sebagai Juru Selamat dan Raja Damai. Mungkin, orang berpikir bahwa mengikuti Yesus berarti mendapat kedamaian hidup dan keselamatan di akhirat. Jika kedamaian dan keselamatan itu dibayangkan sebagai sesuatu yang diperoleh atau dijalani dengan mudah, orang bisa keliru. Uwe Hummel merumuskannya untuk kita: tak ada jalan damai tanpa penderitaan, karena damai berarti tidak tunduk pada kekuasaan yang tidak adil. Damai berarti tidak mengikuti arus yang tidak benar. Damai berarti tidak tinggal diam bila hak makhluk lain sedang diperkosa. Seorang pembawa damai di dunia ini harus berani, gigih, berpendirian kuat, siap memikul salibnya dan mengikuti Yesus Kristus...
24 Juli 2007

Injil hari ini mengisahkan tentang Yesus yang didatangi ibu dan saudara-saudara-Nya, ketika sedang mengajar di tengah orang banyak. Yesus tidak menghentikan pengajaran-Nya untuk menemui mereka; bahkan ketika seseorang mengingatkan-Nya, Ia justru berkata, "Siapapun yang melakukan kehendak Bapa-Ku, dialah saudara-Ku dan ibu-Ku!" (lihat ayat 50).

Yesus pasti tidak sedang merendahkan hubungan kekeluargaan. Ia hanya bermaksud mengingatkan kita, bahwa ada yang lebih penting ketimbang relasi-relasi manusiawi, yaitu relasi dengan Allah.

Kita semua mengenal Raden Adjeng Kartini, perempuan Jepara yang lahir pada 21 April 1879. Akan tetapi, berapa banyakkah yang pernah membaca kumpulan buah pikirannya, Habis Gelap Terbitlah Terang? Kita umumnya mengenal Kartini sebagai seorang perempuan yang memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan lainnya, setidaknya dalam hal kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Akan tetapi, jika membaca surat-surat yang ditulis Kartini kepada para sahabatnya, kita akan menyadari bahwa Kartini adalah seorang pemikir yang gelisah.

Kartini mempertanyakan banyak hal, dari tradisi pingitan yang membuatnya merasa terpenjara hingga soal agama. Kartini menggugat banyak hal, dari kehidupan perempuan Jawa waktu itu yang dunianya hanya sebatas tembok rumah, hingga 'kegagalan' agama, yang alih-alih mencegah orang untuk berbuat dosa, malahan justru membuat pengikutnya saling membunuh atas namanya.

Banyak sekali ide-ide besar dalam diri seorang perempuan mungil berkain kebaya dan bersanggul sederhana itu; ide-ide besar, yang 'terempas' karena kecintaannya kepada sang ayah. Kartini mengorbankan keinginanya untuk sekolah ke Belanda, bahkan merelakan dirinya dinikahi oleh Bupati Rembang yang telah memiliki istri. Orang pun lantas mencibir: itukah akhir bagi sang pemikir?

Bagiku, tidak. Kartini mungkin tak mampu meneruskan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, takluk pada sebuah 'lembaga' yang bernama pernikahan, dan mati pada usia 25 tahun saat melahirkan anak pertamanya, tapi ia tak pernah kehilangan visinya. Kartini tak mampu mewujudkan visi itu sendirian, namun ia mewariskan visi itu kepada bangsanya sehingga impian-impian Kartini pada akhirnya dapat direalisasikan. Kartini, sebagaimana dikatakan oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer, telah bekerja untuk keabadian, "Sebab menulis adalah bekerja untuk keabadian."

Barangkali, banyak di antara kita yang tak sanggup melawan kungkungan relasi-relasi manusiawi. Barangkali juga, ketika kita sama tak berdayanya seperti Kartini, kita menjadi berbeda dengannya karena telah kehilangan atau melepaskan visi kita. Jika visi itu adalah visi tentang Kerajaan Allah, perkataan Yesus jelas dan tegas, "Barangsiapa mengasihi bapak dan ibunya lebih daripada-Ku, dan mengasihi anaknya laki-laki dan perempuan lebih daripada-Ku, ia tidak layak untuk Aku (lihat Mat 10:37). Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah! (lihat Lukas 9:62)"
23 Juli 2007

Papaku adalah seseorang yang senang sekali bertualang dengan mengendarai mobilnya. Sejak 1977, saat pertama kali kami memiliki mobil, hingga 2007 ini ketika ia sudah berusia 68 tahun, Papa masih sering melakukan perjalanan dengan mobilnya. Beberapa hari yang lalu, ia baru menempuh perjalanan Malang-Yogya-Klaten-Malang untuk menghadiri syukuran 3 bulan usia cucunya.

Menjadi anaknya jelas sesuatu yang sangat menyenangkan bagiku, karena aku mendapat banyak sekali kesempatan untuk berkendara bersamanya. Sewaktu aku masih kecil, saat masih duduk di bangku SD, kami sering melakukan perjalanan ke luar kota untuk mengunjungi saudara, rekreasi, atau mendampingi Papa melakukan tugas jurnalistiknya. Sering aku dijadikan 'navigator' yang duduk di sampingnya untuk melihat peta, mencatat liter bensin yang dibeli serta kilometer yang telah ditempuh, menyiapkan uang untuk membayar ini-itu termasuk memberi sedekah kepada pengemis jalanan, mengambilkan minum atau permen bagi si pengemudi, dan banyak lagi lainnya.

Jujur saja, aku bukan navigator yang baik. Alih-alih melaksanakan tugas dengan cermat, aku lebih sering melihat pemandangan sepanjang jalan melalui jendela, menyanyi atau melamun. Selebihnya, aku tidur. Aku sering harus diingatkan untuk melakukan ini-itu. Padahal, setelah kupikir-pikir, tugasku sebetulnya ringan sekali. Yang terberat bagiku saat itu adalah membaca peta dan memastikan kami ada di rute yang benar, tapi ternyata itu pun tak perlu kulakukan. Setiap kali hendak berangkat, Papa selalu menekuri peta dengan diam selama beberapa saat lamanya. Ia kemudian melipat peta itu, lalu menyimpannya dengan rapi di kantong tempat duduknya.

Aku takjub menyadari bahwa kami tak pernah tersesat. Bahkan setelah bertahun-tahun kemudian, ketika banyak sekali rute baru dibangun dan digunakan, Papa tetap menekuri peta lamanya yang makin lusuh. Pada akhirnya, setelah belasan tahun, ia memang membeli peta baru; akan tetapi, peta lamanya-lah yang selalu ia buka. Yang makin mengherankanku, ia bahkan melewati jalan-jalan baru tanpa ragu atau merasa perlu bertanya kepada orang-orang yang ditemuinya di jalan. Dan kami tetap tak pernah tersesat.

Injil hari ini menceritakan orang yang meminta tanda-tanda kepada Yesus. Ya, barangkali kita pun seperti orang-orang itu. Kita selalu saja bertanya-tanya dan mencari tanda-tanda dari Allah, hanya supaya kita percaya dan diteguhkan. Padahal, kita sudah mendapatkan tanda-tanda itu: perjalanan hidup-Nya yang penuh kasih, wafat-Nya di kayu salib dan kebangkitan-Nya yang mulia.

Sayangnya, bagi kita, seringkali tanda-tanda itu tak cukup. Kita pun berjengit setiap kali terdengar kabar penampakan, berbondong-bondong menuju tempat ziarah yang baru dibangun, bahkan berduyun-duyun mendatangi orang-orang yang dipercaya menjalin hubungan mistik dengan Allah. Kita agaknya lupa, bahwa kita sendiri pun dapat menjadi sakramen, tanda kehadiran Allah sendiri; ialah ketika 'tanda-tanda' yang telah diberikan oleh Yesus kepada kita itu mengubah hati kita, menginspirasi keseluruhan hidup kita, sehingga kita menjadi saluran berkat Allah bagi sesama.

Seandainya tanda-tanda itu bisa memiliki makna yang sama seperti peta tua Papaku, mungkin kita tak perlu gelisah dan bimbang dalam menjalani hidup ini. Papaku hanya butuh sekali saja melihat peta, lalu menyusuri perjalanannya dengan gembira. Kita pun hanya perlu meyakini tanda-tanda yang pernah diberikan Yesus kepada kita, kemudian menjalani hidup kita dengan riang dan penuh kerinduan untuk sampai kepada tujuan; tentu saja, seraya menikmati apapun yang terpampang di hadapan kita sebagai pemandangan di sepanjang jalan.

Doa:
Tuhan, Engkaulah andalanku!
20 Juli 2007

Peraturan dibuat untuk dilanggar, demikian sering diucapkan orang. Kita yang mendengarnya mungkin tersenyum, karena menangkap 'keisengan' orang yang mengucapkannya. Akan tetapi, kalau kita mau sedikit merenungkannya lebih dalam, perkataan itu mengandung kebenaran juga.

Peraturan dibuat untuk manusia, bukan manusia dibuat untuk peraturan. Seharusnya, tujuan dari peraturan itu adalah untuk kebaikan bersama. Yang terpenting dalam peraturan bukanlah 'dipatuhi', atau 'dilanggar' sehingga yang bersangkutan akan dikenai sanksi, tetapi apakah yang 'harus patuh' atau yang 'secara sadar melanggar' itu sungguh-sungguh mengerti alasan dibuatnya peraturan.

Hidup kita disesaki banyak peraturan. Dilarang ini, dilarang itu. Sebaiknya begini, sebaiknya begitu. Di dalam gereja pun, menjelang dimulainya Perayaan Ekaristi, kita disambut dengan peraturan, misalnya: handphone dimatikan. Pertanyaannya adalah: apakah yang diminta untuk 'patuh' itu sudah mengerti makna aturan itu? Tampaknya tidak, karena masih saja kita lihat di sana-sini ada saja yang menggunakan handphone untuk berkomunikasi.

Penggunaan handphone bukan satu-satunya peraturan untuk mengikuti Perayaan Ekaristi. Sikap berdiri-berlutut-duduk adalah juga semacam 'peraturan'. Sering, umat tampak kikuk hendak mengambil sikap yang mana karena ia tidak mengerti maknanya. Sungguh sayang bukan, jika doa terlewatkan hanya untuk menoleh kiri-kanan mencari sikap yang benar, atau sibuk mencari tahu di dalam buku mengenai sikap yang tepat? Kalau kita mau sedikit berefleksi, masih banyak aturan lain di dalam gereja, bahkan mungkin masih akan banyak lagi lainnya. Pernahkah kita bertanya, mengapa diperlukan peraturan sebanyak itu?

Dalam Injil hari ini, Yesus menunjukkan bahwa Ia adalah orang yang berani melanggar peraturan. Bahkan, kalau kita jeli mengikuti perjalanan hidup-Nya di Kitab Suci, kita akan menemukan bahwa Yesus sering melanggar peraturan. Hal itulah yang membuat kaum Farisi murka dan terus berusaha 'menjebak' atau menyiapkan perangkap bagi Yesus. Akan tetapi, apakah Yesus melanggar peraturan hanya karena Ia adalah seorang pemberontak yang sulit diatur?

Yesus memang seorang pemberontak. Ia tidak memberontak melawan kekuatan tertentu, pihak tertentu atau sekelompok orang saja. Ia memberontak melawan apapun yang menindas kemanusiaan dan menghalangi orang untuk menuju kepada Allah. Siapapun yang menindas dan menghalangi sesamanya untuk menuju kepada Allah akan berhadapan dengan Yesus. Sesungguhnya, Yesus pun tidak 'berhadapan' dengan orang itu, melainkan dengan 'paradigma berpikir'-nya. Dalam hal peraturan, bukankah peraturan adalah buah dari pikiran manusia? Jika hendak mengubah peraturan, bukankah cara berpikirnyalah yang harus diubah?
Kembali pada contoh mengenai peraturan menjelang Perayaan Ekaristi tadi; jika kita mau mengambil inspirasi dari perjalanan hidup Yesus ini, kita akan menyadari bahwa sesungguhnya tak ada gunanya membuat seperangkat aturan selama upaya pemahaman makna Perayaan Ekaristi itu sendiri tak pernah dilakukan. Mungkin, bukan aturannya yang harus diubah, melainkan 'cara-cara' yang perlu dilakukan untuk mengantar umat menemukan Tuhannya.
19 Juli 2007

Melalui Injil hari ini, Yesus berkata kepada kita, "Datanglah kepada-Ku, kalian semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu!" (lihat ayat 28). Kita kerap menafsirkan ucapan Yesus itu sebagai sapaan kepada kita yang tengah menderita, baik fisik, psikologis, sosial, bahkan iman. Dalam benak kita, konsepsi tentang Yesus mengacu pada sosok Gembala Baik yang tak mau kehilangan satu pun domba (lihat Lukas 15: 1-7) atau Bapak baik hati yang menantikan kedatangan anaknya yang hilang (lihat Lukas 15:11-24).

Memang, di satu sisi, sungguh baik jika dalam segala penderitaan yang boleh kita alami, kita hanya bersandar kepada Allah. Ketika beban hidup begitu memberat, sungguh suatu hal yang sangat melegakan dan menyembuhkan, jika selalu ada yang dapat meringankan beban itu. Yang selalu ada itu Allah, sebab Ia setia (lihat 1 Kor 1:9). Di sisi lain, aku ingin menafsirkan perkataan Yesus itu dengan cara yang sedikit berbeda.

Injil hari ini, bagiku, adalah tentang 'kepercayaan' kepada Yesus. Yesus tak pernah menjanjikan perjalanan hidup yang selalu senang, aman, nyaman atau menenteramkan. Sebaliknya, Ia selalu mengingatkan kita bahwa mengikuti-Nya bukanlah hal yang selalu mudah. Boleh dibilang, dalam banyak hal, mengikuti Yesus justru merupakan hal yang sulit.

Lalu apa yang dijanjikan Yesus melalui 'jalan yang sulit' itu? Tak lain dan tak bukan, adalah jaminan berupa diri-Nya sendiri. Seorang gembala yang baik menuntun domba-dombanya menuju padang yang hijau dan air yang tenang. Domba-domba pun berseru, "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya sebab ia besertaku!" (bdk. Mzm 23)
Aku membayangkan, betapa senangnya dapat menjadi domba yang mencintai gembalanya. Bagi yang tercinta, kita selalu senang melakukan apapun, bahkan yang terberat sekalipun...
18 Juli 2007

Orang biasanya tidak tahan menderita. Mereka ingin sekali cepat-cepat mengakhiri penderitaannya, bahkan juga melalui cara-cara yang instan. Pokoknya, penderitaan harus segera diakhiri karena menimbulkan kesengsaraan. Kalau dapat hidup bahagia, untuk apa menderita?

Padahal, penderitaan itu dapat berbicara banyak. Viktor Frankl, Elie Wiesel dan Anne Frank adalah nama-nama yang dikenal orang karena penderitaan yang mereka alami di kamp konsentrasi Nazi. Masih banyak nama lain yang bisa kita sebut. Aku tidak tahu alasan yang membuat mereka begitu terkenal. Barangkali, karena mereka sanggup 'melampaui' penderitaan itu; mentransformasi kesengsaraan mereka menjadi energi lain yang dengan caranya sendiri, memberikan sumbangsih kepada kemanusiaan.

Bagiku, penderitaan manusia mempunyai makna lebih, karena itulah ruang bagi Tuhan untuk menyatakan diri-Nya. Saat mengalami penderitaan, sebuah situasi ketika manusia berhadapan dengan batas-batas terjauh dirinya sendiri, kepada siapa lagikah ia dapat menaruh kepercayaan dan harapan selain kepada Sang Pemberi Hidup?

Penderitaan manusia adalah alasan bagi Yesus untuk menegaskan jalan keselamatan Allah. Yesus memang datang bagi semua orang, namun terutama ia hadir untuk mengembalikan kegembiraan dan harapan mereka yang sakit, miskin, tertindas dan teraniaya.

Leonardo Boff OFM, dalam bukunya Sakramen-sakramen dari Hidup & Hidup dari Sakramen-sakramen (Obor, 2007), menyatakan bahwa ada orang-orang yang tidak dapat menerima kehadiran Yesus. Mereka adalah orang-orang yang tertutup dalam kebenaran dan tradisi mereka, kepentingan-kepentingan sosial dan realitas keagamaan mereka yang penuh ingat diri. Mereka adalah orang-orang yang mengalami banyak kesenangan dan puas dengan hidup mereka sekarang. Mereka tidak mengharapkan apapun karena sudah memiliki segala sesuatu. Jika mereka menantikan sesuatu, Dia-lah Mesias yang akan datang untuk mensahkan privilese, tradisi, dogma dan keyakinan personal yang ada.

Boff menulis: orang-orang itu hanya melihat Yesus sebagai penyebab perpisahan dan perpecahan, yang mempertanyakan agama dan negara yang ada. Yesus memang membuat persoalan dan mendesak orang untuk bertobat. Ia tidak membenarkan status quo sosio-religius yang ada. Ia memanggil manusia untuk membangun semacam relasi baru dengan sesama dan Allah. Tuntutan-tuntutan itu tidak diterima oleh orang-orang yang memegang kuasa religius, sosial dan yuridis, karena menerima Yesus berarti mengalami perubahan radikal dalam hidup mereka. Mereka harus mengambil risiko yang besar (hlm. 138).

Lalu, siapakah Yesus di mata orang-orang yang sakit, miskin, tertindas dan teraniaya? Bagi mereka, menurut Boff, Yesus adalah seseorang yang saleh dan adil; guru, pembebas, utusan Allah, penyelamat dunia.

Jika dengan cara itu kita ingin memandang Yesus, mungkin ada yang perlu 'dibenahi' terlebih dulu dalam hidup kita. Mungkin juga, ada risiko besar yang harus diambil. Satu di antaranya, bisa saja, adalah dengan memberikan kesempatan kepada diri sendiri untuk mengalami penderitaan; sebab pengalaman akan penderitaan itu nantinya akan membawa kita kepada pengalaman akan pembebasan dan keselamatan.

Doa:
Tuhan, Engkaulah andalanku!
17 Juli 2007

Manusia itu adalah sebuah kompleksitas yang menarik. Semua yang kita pikirkan, katakan dan perbuat adalah jalinan yang rumit. Agaknya, dasar pemikiran semacam itulah yang mendorong Sigmund Freud untuk mengemukakan teorinya yang dikenal dengan defense mechanism atau mekanisme pertahanan diri.

Freud memandang bahwa selalu terdapat tegangan antara id, ego dan super ego dalam diri manusia. Mekanisme pertahanan diri adalah mekanisme yang digunakan oleh individu untuk menangani tegangan tersebut. Freud mengemukakan 9 jenis mekanisme pertahanan diri. Satu di antaranya adalah rasionalisasi, yakni menjadikan sesuatu yang salah menjadi benar. Ada pula yang disebut penyangkalan, yakni mempercayai bahwa yang benar sesungguhnya adalah salah.

Contohnya bertebaran di dalam keseharian kita. Meskipun tahu bahwa merokok itu berbahaya bagi kesehatan, seorang perokok dapat berkilah, "Tapi saya mendapatkan kebahagiaan dari merokok! Kata orang, sebatang rokok mengurangi 8 jam umur kita. Tapi karena bahagia, umur saya bertambah 10 jam. Jadi, saya malah punya 2 jam ekstra, kan?" Yang menarik adalah ketika seorang dokter perokok bahkan sampai menyiapkan 'perhitungan' medis tertentu untuk menyatakan bahwa merokok 'tidak terlalu' membahayakan kesehatannya (dan ia melakukan ini bukan semata-mata kepentingan medis-saintis, melainkan terlebih untuk 'bertahan' dalam kebiasaannya merokok!).

Dalam konteks iman, berbagai mekanisme pertahanan diri pun kerap ditemui. "Wah saya kemarin nggak ke gereja. Tapi nggak apa-apa. Tuhan pasti memahami alasan kenapa saya nggak ke gereja!" "Mengaku dosa? Ah, buat apa mengaku dosa. Pastornya sendiri kan orang berdosa!" "Kenapa sih cara berpakaian saya ke gereja dikritik? Kan belum tentu yang pakaiannya apik itu hatinya juga apik!"

Para psikolog percaya bahwa mekanisme pertahanan diri digunakan individu untuk mengurangi tekanan dan kecemasan. Sebagai orang beriman, selalukah cara ini menjadi pilihan, bahkan juga dalam proses bawah sadar kita?

Dalam buku Iman Katolik (Obor, 1996), dinyatakan bahwa tobat terjadi pertama-tama karena manusia berpaling kepada Allah dengan segenap hati. Oleh rahmat Allah orang sadar akan kemalangannya sendiri, dan menyatakan kelemahannya di hadapan Allah. Allah sendiri menarik orang berdoa. Dengan mengaku diri orang berdosa, manusia menyerahkan diri lagi kepada Allah yang Maharamim. Apa yang disebut 'pengakuan dosa' sebetulnya tidak lain daripada mengaku diri orang berdosa. Yang pokok bukan dosa-dosa, melainkan diri orang yang sebagai pendosa mohon belas kasihan Tuhan. Allah senantiasa menawarkan rahmat-Nya kepada pendosa, tetapi manusia harus mau menerimanya. Itu terjadi dalam Sakramen Tobat. Iman dan tobat tidak dapat dipisahkan. Tobat itu iman orang berdosa. Dan walaupun 'Gereja adalah suci, namun sekaligus harus selalu dibersihkan, serta terus-menerus menjalankan pertobatan dan pembaruan' (Lumen Gentium 8). (hlm. 434-435)

Bayangkanlah jika Tuhan ada di suatu tempat dan menanti kita datang kepada-Nya. Apakah kita akan menyiapkan setumpuk alasan? Sederet pembelaan diri? Perlukah itu, mengingat bahwa Ia Mahatahu? Tuhan hanya ingin kita datang dengan kesejatian kita. Saat berpaling kepada-Nya, bahkan dosa-dosa tak lagi penting. Yang terutama adalah pertobatan; kemauan kita untuk kembali kepada-Nya.

Itulah mengapa dalam Injil hari ini, diibaratkan bahwa tanggungan negeri Sodom dapat lebih ringan daripada tanggungan kita. Selama kita selalu berpikir bahwa kita tak lebih berdosa dibandingkan yang lainnya, selama semangat pertobatan tak pernah menyentuh hati kita, tidak akan pernah ada keselamatan yang tersedia bagi kita.

Semoga, Injil dan renungan hari ini menyadarkan kita pada 'kekuatan refleksi'.

Doa:
Ya Tuhan, Engkau menyelami dan mengenal aku! Engkau mengenal diriku, duduk maupun berdiri, segala pikiranku bisa Kau duga dari jauh. Engkau pun mengetahui aku berbaring atau berjalan, Engkau ikuti semua tindak-tandukku; biar sepatah kata pun belum kuucapkan, segala-galanya sudah Kau ketahui. Sungguh ajaiblah pengetahuan-Mu, terlampau tinggi bagiku dan takkan dapat aku pahami. Ke mana gerangan hendak kuhindari roh-Mu, dan ke mana pula aku mesti lari dari pandangan-Mu? Ya Tuhan, Engkau menyelami dan mengenal aku! (Mazmur 139)
16 Juli 2007

Setiap orang mendambakan hidup yang nyaman, aman dan tenang. Tentu saja itu baik, dan boleh-boleh saja. Chico Mendes pun agaknya menginginkan hal yang sama.

Lahir dan tumbuh dalam keluarga penyadap karet (seringueiros) di hutan Amazon (Brasil) pada 15 Desember 1944, Chico hanya ingin agar keturunannya kelak dapat hidup nyaman sembari menjaga kelestarian alam. Penyadapan karet adalah satu di antara banyak cara eksploitasi hutan yang tidak menimbulkan kerusakan serius dan permanen terhadap ekosistem. Boleh dibilang, hal itu justru merupakan suatu sistem agrikultural yang berkelanjutan. Karena itulah, sebagaimana ayahnya, Chico pun bekerja sebagai penyadap karet.

Ternyata, hidup sebagai seorang seringueiros tidaklah mudah. Selain menghadapi tengkulak yang membeli hasil sadapan mereka dengan harga sangat rendah, Chico pun harus berhadapan dengan kepentingan bisnis yang ingin membabat hutan untuk dijadikan peternakan serta usaha pertambangan. Dibandingkan dengan penyadapan karet, dua aktivitas bisnis itu memang menjanjikan profit yang jauh lebih besar dalam waktu singkat. Tak hanya itu. Pemerintah bahkan bermaksud membangun jalan bebas hambatan sepanjang 5.000 kilometer. Kesemua rencana ini mengancam kehidupan 96 suku di Amazon.

Chico pun gelisah. Ia melihat bahwa alam dan sesama berada di ambang kehancuran. Chico lantas bergerak. Ia melawan dengan segala cara; menghadapi kaum industrialis dan pemerintah yang korup. Chico juga berjuang memberi penyadaran kepada suku-suku Amazon yang terus-menerus dibodohi dalam kemiskinan mereka. Ia berkata, "Janganlah kalian melakukan kesepakatan apapun dengan mereka! Tanah ini adalah milik kita. Jika kalian menukarnya dengan uang, kalian akan kehilangan kesempatan untuk bertahan. Tanah adalah hidup kita!"

Selama tahun '70-an, pertentangan kepentingan ini mengakibatkan pergolakan keras. Pembakaran hutan terjadi di mana-mana. Chico dan para pengikutnya pun melakukan perlawanan keras. Konsekuensinya sungguh berat; mereka menerima ancaman, penyiksaan, hukuman penjara, bahkan kasus-kasus penembakan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.

Toh mata dunia memandang Chico dan para pengikutnya. Pada Juni 1987 ia menerima Global 500 Award dari PBB. Perjuangan Chico pun semakin dikenal, seiring dengan makin kerasnya tekanan terhadap pemerintah Brasil. Chico berkata, "Aku hanya mencoba menyelamatkan hutan hujan Amazon sembari menunjukkan bahwa kemajuan tanpa menimbulkan kerusakan adalah sesuatu yang mungkin untuk dilakukan."

Pada 22 Desember 1988, Chico ditembak mati di depan rumahnya sendiri.

Injil hari ini mengisahkan tentang Yesus yang menyatakan bahwa Ia datang ke muka bumi bukan untuk membawa damai, melainkan pedang.

Dalam banyak perkara, mengatakan 'ya' kepada Yesus berarti mewujudkan damai bahkan melalui cara-cara yang menggunakan 'pedang'. Yesus menuntut komitmen, kesetiaan, keberanian dan kerelaan kita untuk keluar dari 'zona nyaman' dalam menyatukan salib kita dengan salib-Nya.
Chico Mendes hanyalah satu contoh. Semoga, kita menjadi contoh-contoh selanjutnya.
14 Juli 2007

Ada seorang bapak yang tekun, pintar, jujur, memegang teguh prinsip hidupnya dan pemberani. Apapun diterjangnya. Sering ia mendapat masalah dalam hidupnya. Ia pernah diasingkan oleh teman-teman di kantornya, pekerjaannya disabotase, menerima ancaman dari orang-orang yang tak menyukai pekerjaannya, diberhentikan dari jabatannya secara mendadak tanpa alasan jelas di sebuah yayasan, tak disukai oleh anak laki-lakinya sendiri, bahkan pernah menderita fisik karena disantet orang meski ia tak ambil peduli.

Melihat kehidupan yang tak mudah itu, aku hanya geleng-geleng kepala. Bapak itu tampaknya sama sekali tak terganggu oleh hidupnya yang penuh dinamika itu. Semua dijalani saja dengan rela. Ia sangat religius. Tak pernah absen misa. Setiap hari berdoa, terutama doa Rosario. Sering berziarah ke Gua Maria. Setiap kali mengadakan perjalanan panjang dengan mobilnya dan melewati gereja, ia akan melambatkan laju kendaraan dan membuat tanda salib.

Anak laki-lakinya, yang semula tak menyukai ayahnya, pada akhirnya menyadari bahwa benci dan cinta hanyalah dua sisi dari satu keping mata uang yang sama. Ia mengakui bahwa ia menghormati dan mengagumi ayahnya, namun kesal karena melihat hidup ayahnya itu penuh dengan kesulitan tanpa ia bisa berbuat sesuatu. Melihat sepak terjang ayahnya yang tak kenal akhir, juga hingga kini ketika sang ayah menjelang usia 70 tahun, anak itu hanya berkata, "Pelita tidak ditempatkan di bawah tempat tidur, melainkan di atas kaki dian," (lihat Markus 4:21-22). Secara personal, si anak bahkan mengambil motto hidup yang aku yakin diinspirasi oleh perjalanan hidup sang ayah: mereka yang berwawasan akan bersinar cemerlang seperti cahaya langit, dan mereka yang menuntun banyak orang ke kebajikan akan bersinar bagaikan bintang-bintang untuk selamanya (Daniel 12:3-4).

Goenawan Mohammad, ketika majalah Tempo dibreidel dan ia melakukan gugatan peradilan bersama kawan-kawannya, berkata dalam satu perjumpaan, "Untuk menghadapi kekuasaan hanya ada tiga 'T', yakni takut, takluk atau taktis."

Goenawan tentu saja menolak 'takut' karena itu artinya kalah tanpa perlawanan. Takut berbeda dengan takluk. Takluk adalah situasi kalah, tapi hanya karena pihak yang berseberangan dengan kita memiliki kekuasaan dan kekuatan yang jauh melebihi kekuasaan dan kekuatan yang kita miliki. Taktis adalah situasi pengakuan bahwa pihak yang berseberangan dengan kita 'di atas kertas' punya peluang besar untuk menang karena kekuasaan dan kekuatannya, sehingga kita memilih untuk bermain strategi.

Bersikap taktis ibarat situasi pertandingan Daud melawan Goliath. Kenalanku di awal cerita ini, tak selalu berhasil dengan strategi sehingga sering 'ditaklukkan'. Ia dipaksa kalah oleh kekuasaan dan kekuatan. Tak jarang, ia mengambil langkah-langkah yang keliru atau sama sekali tidak taktis. Tapi ia tak pernah berkecil hati. Motto hidupnya adalah: carilah dahulu Kerajaan Surga, maka selebihnya akan diberikan kepadamu (lihat Lukas 12:31). Setiap pilihan mengandung konsekuensi, dan menanggung konsekuensi dengan penuh kegembiraan dan harapan adalah bagian dari menjalani pilihan.

Aku yakin, bapak itu selalu menemukan Kerajaan Surga-nya dalam setiap liku perjalanan hidupnya. Ia mempunyai hubungan yang khusus dengan Tuhan yang diimaninya. Aku bersyukur dapat menjadikan dia sebagai panutan dalam hidupku. Lebih-lebih, aku bersyukur karena memanggilnya 'Papa'.
13 Juli 2007

Awalnya, Injil hari ini membuat hatiku kesal. Yang benar saja... Tuhan mengutus kita bagaikan domba di tengah serigala? Meskipun berpesan juga bahwa kita harus cerdik seperti ular dan tulus bagaikan merpati, secara hitung-hitungan di atas kertas saja, kecil kemungkinan domba dapat menang melawan serigala.

Mengapa Tuhan tidak menjadikan kita binatang yang terkuat di antara semua binatang supaya bisa menghajar semuanya saja? Mengapa harus domba, yang kemudian dihadapkan dengan serigala?

Aku lantas merenungkan Injil itu. Pertama, Tuhan ingin kita mengambil sosok yang lemah. Tuhan ingin kita bergulat dan berjuang dalam kehidupan bukan untuk menggunakan kekuatan yang kita miliki; kita justru harus berhadapan dengan kelemahan-kelemahan kita. Menghadapi kelemahan-kelemahan itu, Tuhan ingin agar hidup ini menjadi pertobatan yang terus-menerus, sebab dengan cara itulah kita akan disempurnakan. Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita. Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk untuk menjadi serupa dengan gambaran anak-Nya. (Roma 8:26a.28-29)

Kedua, dengan mengambil sosok yang lemah, kita akan mengandalkan Tuhan. Sosok yang kuat akan cenderung mengandalkan kekuatan dirinya sendiri semata, sedangkan sosok yang lemah membuka peluang bagi kehadiran kekuatan di luar dirinya sendiri. Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan! Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak khawatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah. (Yer 17:7-8)

Ketiga, Tuhan menyatakan diri-Nya dalam kelemahan kita; Ia menganugerahi kita 'senjata' yang disebut-Nya serupa 'kecerdikan ular' (pikiran, pertimbangan) dan 'ketulusan merpati' (hati, perasaan, niat). Jika pikiran dan hati dapat berjalan bersama, kebijaksanaanlah yang akan dihasilkannya. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus (Filipi 4:7). Sama halnya setiap tentara mempertanggungjawabkan setiap peluru yang ditembakkannya, kita pun diminta untuk mempertanggungjawabkan penggunaan pikiran dan hati kita. Perkataan Allah adalah perkataan yang hidup dan kuat; lebih tajam daripada pedang bermata dua. Perkataan itu menusuk sampai ke batas antara jiwa dan roh; sampai ke batas antara sendi-sendi dan tulang sumsum, sehingga mengetahui sedalam-dalamnya pikiran dan niat hati manusia (Ibrani 4:12).

Alangkah senangnya, jika dengan segala kesadaran itu kita menyosong hidup dan menghadapi apapun yang boleh kita alami. Alangkah senangnya juga, jika kepada mereka yang membuat hidup kita menjadi tak mudah, kita dapat selalu berkata sebagaimana Yesus mengucapkannya, "Tuhan, ampunilah mereka, sebab mereka tidak mengerti apa yang mereka perbuat!" (Sebab bukankah setiap orang harus menghadapi 'sisi gelapnya' sendiri?)

Doa: Mohon Kesucian
Tuhan, Engkaulah andalanku! Lindungilah kami di tengah-tengah segala pergolakan, dan tunjukkanlah kami jalan yang harus kami tempuh, serta hidupkanlah di dalam diri kami kabar sukacita-Mu... Moga-moga jadi pantaslah kami setiap hari untuk melaksanakan apa yang Kau kehendaki, dengan senantiasa ingat akan kedatangan-Mu yang mulia-jaya, dan jangan sampai menyerah kepada dunia ini! Berikanlah kami kekuatan, untuk tetap berusaha menuju sukacita mendatang; sebab pantaslah Engkau dipuja dan dimuliakan dalam segala orang kudus-Mu, sepanjang masa. Amin! (Bapa Kami, Nusa Indah, 1981)
12 Juli 2007

Dalam satu kesempatan rekoleksi bersama para lektor, Pak Aswin menanyakan motivasi setiap orang untuk menjadi lektor. Banyak jawaban yang menarik. Ada yang mengatakan ingin melayani Tuhan, ingin memuliakan Tuhan, tapi ada juga yang menjawab semacam ini: ingin melatih keberanian, ingin dikenal orang, ingin belajar berbicara di depan orang banyak...

Ya. Motivasi pelayanan setiap orang memang berbeda-beda. Dapatkah kita menilai mana yang baik atau mana yang buruk, mana yang salah dan mana yang benar? Tidak selalu dapat begitu, dan tidak selalu mudah. Manusia adalah kompleksitas. Sulit menemukan 'pisau' yang tajam untuk 'membedah manusia', karena memahami manusia tidak semudah mengiris roti dengan pisau yang tajam.

Melayani, memberikan diri kepada sesama, merupakan proses yang tak selalu bisa dimengerti seketika. Proses itu menuntut keterlibatan diri secara keseluruhan. Dalam keterlibatan yang penuh itu, sering kali sulit untuk menyadari sepenuhnya bahwa pelayanan kita kerap diwarnai oleh pamrih, maksud-maksud tertentu, atau bahkan tujuan yang sangat subjektif. Kita lupa bahwa dalam pelayanan kepada sesama, yang terutama adalah kehendak Tuhan, bukan kehendak kita. Sebab, bukankah kehendak kita tak selalu selaras dengan kehendak-Nya, karena kita ini hanyalah manusia yang sarat dengan kelemahan?

Kita juga kerap merasa kesulitan ketika menghadapi tanggapan dan reaksi orang lain atas apapun yang kita lakukan. Hanya karena tak dapat menangkap bahwa kita berusaha menjalankan panggilan kita, orang lain sering bereaksi 'melawan' kita. Kita pun, karena geram, lantas membalas dengan reaksi yang sama kerasnya; lupa bahwa kita sedang menjadi perpanjangan tangan Allah. Lagi-lagi, akibat kelemahan manusiawi, kita jatuh pada subjektivitas diri sendiri.

Yesus hari ini mengingatkan kita semua akan hal itu. Yesus tidak meminta kita sempurna terlebih dahulu sebelum melayani Dia. Yesus justru menunjukkan bahwa melalui apapun yang boleh kita buat dalam dan demi nama-Nya, kita semua akan diubah dan disempurnakan.

Doa:
Aku ingin melayani dalam kemurnian;
bahwa segala hasrat pelayananku adalah Allah
bukan kepentingan pribadiku sendiri
bukan ambisiku untuk menguasai dunia
juga bukan keinginan untuk memegahkan diri dan dikenal orang.
Dalam setiap langkah pelayanan ini
aku ingin membebaskan diri dari pamrih yang dapat menodai pelayananku.

Aku ingin melayani dalam ketaatan kepada Allah;
bahwa dalam setiap tindakan dan keputusanku
hanya Allah-lah yang menjadi alasan semua itu
bukan kemauan daging yang lemah
juga bukan kekerasan hati yang pongah.
Jalanku adalah jalan yang ditunjukkan Allah
meskipun kasar, berdebu atau berbatu, aku akan berusaha melewatinya
sebab hanya jalan itulah yang akan mengantarku
pada kebenaran dan kehidupan yang sejati.

Aku ingin melayani dalam kemiskinan;
bahwa aku melayani bukan karena kekayaan yang aku miliki
atau karena kelebihan, talenta dan rahmat yang melimpah saja
aku juga melayani dalam kemiskinan dan keterbatasanku sebagai manusia
sehingga aku akan tetap setia dalam kekuranganku
dan tak menjadikannya alasan untuk ingkar dan meninggalkan pelayanan itu.
Dengan menyerahkan diri apa adanya, aku dapat menjadi diriku sendiri
yang jujur, tak membutuhkan pembenaran
dan tak perlu mencari-cari alasan untuk menguatkan pelayananku ini.

Semoga Tuhan selalu menerangi hati dan pikiranku
membuatku berani mengubah hal-hal yang perlu diubah
memberiku kesabaran untuk menerima hal-hal yang tak dapat kuubahdan menganugerahiku kebijaksanaan untuk membedakan keduanya...
11 Juli 2007

Bagiku, keseluruhan cerita yang boleh kita baca pada hari ini, memiliki benang merah-keterkaitan yang sangat menarik.

Pertama, kita membaca riwayat S. Benediktus yang mencoba membenahi biara, namun mendapat penolakan dari anggota komunitas biara tersebut. Ia pun memutuskan untuk pergi. Apakah Benediktus gagal? Tidak. Ia hanya butuh saat yang tepat untuk memenuhi panggilannya.

Kedua, kita membaca kisah tentang Yusuf yang dijual oleh kakak-kakaknya. Melalui perjalanan hidup yang berliku, Yusuf akhirnya bertemu kembali dengan saudara-saudaranya itu, bahkan menjadi penyelamat bagi mereka. Yusuf tak hanya menyelamatkan nyawa, melainkan juga jiwa mereka.

Ketiga, kita membaca kisah tentang Yesus yang memilih murid-murid- Nya. Apakah murid-murid yang Ia pilih itu merupakan yang terbaik di antara yang baik-baik saja? Tidak. Di antaranya ada Petrus yang nantinya menyangkal Dia, juga Yudas yang pada akhirnya mengkhianati Yesus.

Lalu, di mana letak benang merahnya?

Aku melihat aspek 'pembelajaran' di dalam ketiga bacaan tersebut. Tokoh-tokoh yang ada di dalam ketiga bacaan itu, dapat kita sebut sebagai 'pembelajar'; mereka dipanggil dan dipilih, tapi harus mengalami proses belajar yang sungguh berliku-liku untuk kemudian memetik 'buah' sebagai hasil proses belajarnya.

Pilihan untuk menjadi seorang pembelajar, mengantarkan kita kepada berbagai konsekuensi yang tak selalu mudah ditanggung. Benediktus meninggalkan biara dengan hati sedih. Yusuf menyadari bahwa ia tak dapat begitu saja kembali kepada keluarganya. Petrus sangat menyesal ketika menyadari bahwa ia telah menyangkal Yesus. Yudas Iskariot memilih jalan yang paling tragis di antara semuanya: ia membunuh dirinya sendiri.

Aku pernah membaca sebuah buku tentang cara memetik apel. Terlebih dulu, kita harus melihat keseluruhan buah yang ada di pohon itu, lalu memetik dengan hati-hati buah-buah yang terbaik. Sisanya dapat diambil dengan cara apapun; bahkan juga mengguncangkan pohonnya supaya buah-buah berjatuhan ke tanah. Tak menjadi masalah apabila buah-buah yang jatuh itu menjadi lebam atau cacat; ia tak akan disuguhkan di meja, ia hanya akan dihancurkan untuk diambil sari buahnya.

Apel yang baik di tempat yang tinggi, tak akan tergapai jika kita hanya terpaku pada apel-apel yang dekat dengan mata kita. Kualitas seorang pembelajar bukan hanya tampak pada cara-cara ia mempertahankan sesuatu, tapi juga pada keberanian & kerendahan hatinya untuk melepaskan sesuatu yang ia anggap sebagai penghalang untuk mencapai visinya. Benediktus tidak terpaku pada jabatannya di biara atau berkeras dengan tujuannya untuk mengubah biara itu. Yusuf tidak memaksa diri untuk kembali kepada keluarganya. Petrus tidak tenggelam dalam perasaan bersalah; ia bertobat dan kepadanya kemudian diberikan kunci Kerajaan Surga. Sayang sekali, Yudas Iskariot memutuskan untuk berhenti belajar; ia pun keluar dari 'ruang kelas' yang bernama 'hidup'.

Kita semua adalah murid-murid Yesus. Sudahkah kita menjadi pembelajar yang baik?

Doa:
Tuhan, kami bersyukur atas hidup ini... Lindungilah kami dan tunjukkanlah jalan-Mu.. Hidupkanlah di dalam diri kami pengetahuan akan ajaran-Mu, dan buatlah roh kami selalu siap sedia bagi-Mu! (Bapa Kami, Nusa Indah, 1981)
10 Juli 2007

Sewaktu kuliah, aku mendapat pengajaran dari seorang dosen bernama Dr. Soewarsih Warnaen. Ia adalah seseorang yang luar biasa. Tidak menikah, ia mencurahkan segenap waktu dan perhatian kepada para mahasiswanya. Di kelasnya, tidak pernah ada pertanyaan yang dianggap tolol atau konyol. Bu Warsih bahkan selalu menyejukkan hati, ketika kami, para intelektual muda yang sombong dan arogan itu, berdebat keras dan tajam seolah-olah pendapat yang satu jauh lebih benar daripada pendapat yang lain. Setiap kebodohan kami selalu disempurnakan olehnya melalui ujaran-ujaran yang ramah, serius, sabar dan teliti. Aku merasa bahwa Bu Warsih tidak hanya memberikan kuliah. Lebih jauh daripada itu, ia mencoba untuk mewariskan watak yang baik dari seorang intelektual.

Pada suatu malam, Bu Warsih ditemukan meninggal di rumah mungilnya. Sendirian saja.

Hatiku pedih sekali. Sangat pedih. Ia baru saja menerbitkan sebuah buku, dan aku belum sempat meminta tanda tangannya. Pada saat itu pula, aku tengah mengerjakan tesis dan berniat memintanya menjadi penguji tesisku. Tapi ia keburu pergi. Beberapa bulan kemudian, dengan penuh haru, kutulis demikian di lembar tesisku: Tesis ini dibuat sebagai kenangan terhadap alm. Dr. Soewarsih Warnaen. Terima kasih, Ibu. Hanya dari seseorang yang berjiwa besarlah akan lahir orang-orang berjiwa besar lainnya...

Kini, aku adalah seorang dosen sebagaimana Bu Warsih dulu. Karena ia telah mengajarku dengan sedemikian baiknya, aku pun mengajar mahasiswaku dengan sebaik yang aku bisa. Jika tidak melakukannya, aku merasa sedang berhutang sesuatu, entah kepada siapa; Bu Warsih-kah, mahasiswaku, masa laluku, atau diriku sendiri?

Injil hari ini mengingatkanku pada kenangan tentang Bu Warsih. Diceritakan dalam Injil itu, Yesus tergerak hati-Nya oleh karena belas kasih kepada banyak orang yang menderita. Mereka layaknya domba-domba tanpa gembala; lelah dan terlantar. Yesus pun berkata, "Tuaian memang banyak, tetapi sedikitlah pekerjanya. Karena itu mintalah kepada tuan yang empunya tuaian, supaya ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu." (lihat ayat 36-38).

Yesus telah terlebih dahulu mencintai kita. Sedemikian cintanya, Ia bahkan rela memberikan seluruh hidup-Nya (= menyerahkan nyawa-Nya) bagi kita. Tidakkah kita merasa berhutang sesuatu, jika tidak melakukan banyak hal sebagaimana yang telah Ia lakukan bagi kita dan sesama kita?

Bu Warsih tidak mampu mengajar di empat kelas sekaligus pada jam yang sama. Yesus dapat melakukan apapun sebab ia Mahakuasa. Akan tetapi, Yesus tidak ingin melakukan karya penyelamatan Allah secara sendirian. Ia meminta kita untuk juga melakukan hal yang sama: mengasihi, mendoakan, menyembuhkan, membebaskan dari penderitaan dan berjuang bersama sesama kita dalam terang iman & pengharapan.

Yesus tidak secara terang-terangan menyuruh kita. Ia hanya meminta kita untuk berdoa agar Allah Bapa menggariskan kehendak-Nya atas kita. Dengan menjawab panggilan Allah, menjadi pelaksana karya penyelamatan itu, kita mengambil peran sebagaimana Yesus pernah melakukannya; Sabda yang menjelma. Dalam jalan panggilan itu, kita tak akan pernah sendirian; Roh Kudus akan selalu hadir dan membimbing setiap langkah kita.

Hanya dengan cara demikianlah, kita akhirnya sampai pada pemahaman akan Misteri Agung Tritunggal Mahakudus itu...

Doa:
Tuhan, panggillah aku! Jadikan aku pekerja-Mu, bagian dari karya penyelamatan- Mu!
09 Juli 2007

Aku mengenal seorang ibu Katolik dengan situasi hidup yang sulit. Suaminya sudah lama berselingkuh, bahkan mempunyai anak sebagai hasil perselingkuhannya itu. Suaminya itu juga dililit hutang, yang sebagian di antaranya telah dilunasi oleh si ibu dengan cara menjual tanah dan rumah milik keluarga. Meskipun isterinya sudah berkehendak baik, tetap saja suami ibu itu tak juga jera. Ia kerap membuat masalah dalam keluarga, dan tak pernah keluar dari jerat hutang yang uangnya entah digunakan untuk keperluan apa.

Si ibu setiap hari mengikuti misa pagi, berdoa Malaikat Tuhan dengan khusyuk, bahkan setiap malam secara khusus meluangkan waktu untuk berdoa sebelum tidur. Doanya panjang dan lama. Melihatnya berdoa, aku menjadi sedih dan bertanya dalam hati, "Ya Tuhan, kepada seseorang seperti ini, mengapa tidak Kau berikan kebebasan dari segala penderitaannya itu?"

Tentu saja, seperti biasanya, Tuhan selalu menjawab doaku meski sering kali melalui cara-cara yang tak terbayangkan atau bahkan terpahami. Kali ini, Ia menjawab doaku dengan cara memberiku kesempatan untuk mengenal si ibu dengan lebih baik lagi. Aku terkejut ketika pada suatu malam ia berkata, "Saya sudah banyak berdoa bagi suami saya. Mengapa ia tak juga berubah? Apa lagi yang kurang dari doa saya?" Selain itu, setelah kucermati hidup kesehariannya, aku melihat jurang yang lebar antara doa dan hidupnya. Meskipun ia sangat tekun berdoa (dan ingin agar suaminya berubah), ia tak melakukan apapun untuk memperbaiki relasi dengan suaminya. Mereka menempati ruang tidur yang terpisah, saling tak bicara, bahkan si ibu tampak jelas tak lagi peduli pada kebutuhan-kebutuhan hidup suaminya; meskipun satu rumah, mereka berdua memiliki kehidupan yang terpisah.

Injil hari ini mengisahkan tentang seorang perempuan yang sembuh dari sakitnya setelah menjamah jubah Yesus. Perempuan itu yakin, bahwa hanya dengan menjamah jubah Yesus, sakitnya akan disembuhkan. Yesus pun berkata kepadanya, "Imanmu telah menyelamatkan engkau!" (lih. ayat 21-22).

Jika aku kaitkan Injil hari ini dengan kisah tentang seorang ibu di awal perenunganku tadi, aku mengibaratkan ibu itu sebagai perempuan yang melihat Yesus berlalu-lalang tapi tak juga menjamah-Nya, atau setidaknya, menjamah jubah-Nya. Memang, bukan hal yang mudah; menyadari bahwa penderitaan yang boleh kita alami adalah bagian dari rencana kasih-Nya untuk menyempurnakan kita. Sering kali, penderitaan melumpuhkan kita untuk berubah sesuai kemauan Yesus. Laksana seekor kupu-kupu yang menggeliat keluar dari kepompongnya, Yesus ingin agar kita dapat bergulat dengan hidup yang menyesakkan untuk meraih kebebasan yang sejati.

Perempuan yang bertahun-tahun menderita sakit itu telah menemukan kebebasan; bukan karena Yesus telah menyembuhkannya, akan tetapi karena ia dapat menyatukan penderitaannya itu dengan Yesus sendiri. Bukankah Yesus berkata, “Imanmu telah menyelamatkan engkau,” bukannya, “Aku telah menyembuhkan engkau”? Dengan iman sebagai dasar dari cara kita berpikir dan bertindak, segala persoalan hidup tak lagi membelenggu, melainkan justru mengantar kita kepada kebebasan yang sejati itu.

Tentang iman itu sendiri, ia tak boleh hanya berhenti pada doa. Relasi dengan Allah harus terus dijalin, relasi dengan diri sendiri harus diperdamaikan, demikian pula halnya relasi antar manusia harus terus disempurnakan. Bukankah itu inti dari 'mengasihi'? Dengan cara itulah iman dapat diwartakan dan kita sendiri menjadi saksi bagi iman yang menyelamatkan itu. Yesus bukanlah tukang sulap yang dapat menyembuhkan orang sakit dan membangkitkan orang mati. Yesus menunjukkan melalui mukjizat yang dibuat-Nya, bahwa dalam iman yang kuat kepada Allah, hidup kita akan diubah.
05 Juli 2007

Muhammad Yunus dari Bangladesh, pendiri Grameen Bank dan peraih Hadiah Nobel Perdamaian 2006, menyatakan dalam pidato penerimaan Hadiah Nobel-nya: saya terperanjat mendapati seorang perempuan desa meminjam kurang dari US$1 dari seorang rentenir, dengan syarat bahwa si rentenir memegang hak eksklusif untuk membeli semua yang dihasilkan si perempuan itu dengan harga yang ditetapkan si rentenir. Hal ini, bagi saya, adalah cara membeli budak belian. Saya putuskan membuat daftar korban 'bisnis' rentenir ini di desa yang bersebelahan dengan kampus kami. Ketika daftar saya rampung, ada nama 42 korban yang pinjaman totalnya US$27. Saya keluarkan US$27 dari kocek sendiri untuk membebaskan para korban ini dari cengkeraman rentenir. Kegembiraan yang timbul di kalangan orang-orang itu oleh langkah sederhana ini membuat saya terlibat makin jauh ke dalamnya. Bila saya bisa membuat begitu banyak orang bahagia dengan uang yang begitu sedikit, mengapa tidak berbuat lebih banyak lagi? (Bank Kaum Miskin, Marjin Kiri, 2007).

Yunus memang lantas berbuat lebih banyak lagi. Selama dua puluh tahun pergulatannya dengan kaum miskin, ia dan Grameen Bank berhasil memberikan pinjaman ke hampir 7 juta orang miskin di 73 ribu desa Bangladesh. Kredit bebas agunan itu digunakan untuk keperluan mata pencaharian, perumahan, sekolah, usaha mikro, program tabungan, dana asuransi dan dana pensiun.

Barangkali, ada di antara kita yang menjadi skeptis dan berkata: tentu saja Yunus dapat melakukan hal-hal macam itu. Bukankah dia adalah seorang profesor ekonomi?

Nanti dulu. Yunus justru meninggalkan kenyamanan dunia akademisnya untuk bergulat dengan kaum miskin. Dituliskannya dalam buku yang sama: di tahun 1974 itu, saya mulai muak dengan apa yang saya ajarkan. Apa hebatnya teori-teori rumit itu manakala orang-orang tengah sekarat kelaparan di trotoar dan emperan seberang ruang kuliah tempat saya mengajar? (hlm. 2).

Ketika merenungi buku itu selama dua minggu, aku bertanya-tanya dalam hati; lantas apa yang sebenarnya dilakukan oleh Yunus? Jawabannya baru kuperoleh tadi pagi saat membaca Injil hari ini. Diceritakan bahwa Yesus menemui seorang lumpuh. Ia tidak langsung membebaskannya dari penderitaan fisik, melainkan berkata, "Dosamu sudah diampuni."

Ya. Kita memang cenderung untuk terlalu cepat mencari penyelesaian bagi sebuah masalah. Kita cenderung mencari alternatif solusi yang tampak di depan mata, sebab hal-hal semacam itu memuaskan kita. Akan tetapi, pernahkah kita bertanya: apakah hal-hal itu juga memuaskan mata batin kita?

Yunus melihat kemiskinan bukan sebagai persoalan ekonomi semata. Mata batinnya melihat bahwa sesamanya telah dirampas harkat dan martabatnya, sehingga menjadi tak lebih dari sekadar 'budak belian' semata. Ia lantas mengambil US$27 dari kantongnya sendiri untuk melepaskan orang-orang itu dari jeratan rentenir. Ia tidak melakukan perhitungan ekonomis sesudahnya; ia hanya berkata bahwa kegembiraan orang-orang itu telah kembali.

Yunus adalah seorang Muslim. Ia mengambil nama Nabi pujaannya untuk menjadi namanya sendiri. Sungguh menyentuh; seorang Muslim mampu melakukan sesuatu sebagaimana Yesus melakukannya. Yesus dan Yunus mengembalikan kegembiraan dan harapan pada mereka yang tertindas dan teraniaya. Itulah pembebasan yang sejati; ketika kegembiraan dan harapan dikembalikan, banyak hal lain dapat dilakukan.

Bagiku, pengertian itu membawaku kepada pemahaman mengenai sabda lain Yesus: janganlah kamu mempersoalkan apa yang akan kamu makan atau apa yang akan kamu minum dan janganlah cemas hatimu. Semua itu dicari bangsa-bangsa di dunia yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu tahu, bahwa kamu memang memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah Kerajaan-Nya, maka semuanya itu akan ditambahkan juga kepadamu (Lukas 12:29-31).

Doa:
Tuhan, kembalikanlah kegembiraan dan harapan kami akan Dikau, sehingga kami juga dapat mengembalikan kegembiraan dan harapan sesama kami... Terima kasih Tuhan, karena telah membimbing kami kepada pengertian yang membebaskan ini...
04 Juli 2007

Dua minggu belakangan ini, seorang sepupu menginap di rumahku. Ia masih duduk di kelas 2 SMA. Ia sangat menyukai Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa tahun 1966. Kebetulan aku memiliki album soundtrack film Gie, dan lagu-lagu itu berkumandang setiap hari, bahkan beberapa kali dalam satu hari. Sepupuku itu juga sangat menyukai kata-kata yang tertera di sampul album: lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.

Kemarin, aku memutar otak untuk berusaha membuat mahasiswaku paham tentang arti, fungsi dan ragam bahasa. Karena 'mengalami' adalah cara belajar yang efektif (juga terutama karena mahasiswaku bosan dikuliahi dan diberi teori-teori), aku mengajak mereka untuk membaca komunike-komunike Subcomandante Marcos.

Marcos, bersama para pengikutnya, adalah gerilyawan yang memperjuangkan hak kaum adat di Chiapas, Meksiko. Mereka 'bertempur' melawan kapitalisme dan neo-liberalisasi. Marcos menulis: Negara, Demokrasi, Kebebasan dan Keadilan bukan cuma kata-kata besar nan agung, namun juga realitas hidup bangsa Meksiko. Bagi kami, hidup tanpa mencapai tujuan tersebut adalah nista, dan mati dalam memperjuangkannya adalah kehormatan.

Awalnya, Marcos yang ditengarai adalah seorang Jesuit ini, bersama pengikutnya memilih perjuangan bersenjata. Mereka kemudian berganti strategi dengan menggunakan jalan dialog serta pendidikan lewat media melalui komunike-komunike yang ditulis oleh Marcos dan disebarkan ke seluruh dunia. Kumpulan komunike itu telah diterbitkan sebagai buku dalam bahasa Indonesia, yang memiliki ketebalan 905 halaman.

Kepala Marcos dan para pengikutnya dihargai mahal. Untuk meneruskan perjuangan, mereka tak bisa lain kecuali bergerilya di hutan-hutan Chiapas, serta mengenakan topeng ski (kerpus atau balaklava) untuk menutupi wajah saat mengikuti dialog publik. Dalam komunike-komunikenya, sarat digambarkan oleh Marcos tentang cara-cara mereka bertahan di dalam hutan, juga beratnya berpindah-pindah tempat karena tentara terus memburu mereka. Serangan militer yang tiba-tiba, jatuhnya korban jiwa, bahkan pembakaran desa penduduk yang tidak bersalah, menjadi bagian dari teror yang harus mereka hadapi setiap hari. Sungguh suatu harga yang mahal bagi sebuah perjuangan.

Hok Gie dan Marcos adalah dua nama yang menyejarah. Injil hari ini pun mengingatkan kita pada satu nama lain yang juga dicatat oleh sejarah karena perjuangannya: Yesus.

Melalui keberpihakannya kepada kaum miskin dan tertindas, Yesus menyatakan garis perjuangannya yang tegas. Melalui ketegasan sikap-Nya itu, Yesus sekaligus 'menantang' mereka yang tak ada dalam garis 'perjuangan' yang sama. Konsekuensinya jelas tak mudah. Yesus harus menerima penolakan dari mereka yang berseberangan dengan-Nya. Ia bahkan disingkirkan (melalui hukuman mati di salib) demi tercapainya 'stabilitas nasional' yang diinginkan oleh para penguasa.

Yesus tak pernah gentar. Ia konsisten dan setia sampai mati. Ia pun menuntut pihak lain untuk tegas, konsisten dan setia. Injil hari ini menunjukkan sikap Yesus terhadap roh-roh jahat; roh-roh jahat itu harus dienyahkan karena membelenggu manusia, mengekang manusia sehingga tak mampu menampilkan wajah keilahiannya. Akan tetapi, apa yang didapat Yesus atas usahanya itu? Penduduk kota mengusirnya.

Yesus pun pergi. Ia pergi bukan sebagai seorang pejuang yang kalah. Ia pergi supaya dapat terus mewartakan keselamatan-Nya kepada banyak orang. Ia pergi dengan meninggalkan jejak yang jelas terbaca: aku telah memilih jalan-Ku, dan kau pun harus menentukan pilihanmu. Apakah kau akan mengikuti Aku, atau berkeras dengan kebenaranmu sendiri? Kau tak dapat mengambil keduanya; sebab memilih Aku berarti meninggalkan yang lainnya...
03 Juli 2007

keraguan adalah sebuah luka
yang terlalu sepi untuk mengetahui
bahwa iman adalah saudara kembarnya sendiri
(Kahlil Gibran)

Aku mempunyai seorang sahabat. Ia baru saja pindah ke Jakarta, dari sebuah kota kecil yang sejuk, jauh di bagian timur Pulau Jawa. Sahabatku ini adalah seseorang yang mempunyai 'hati'; ia penuh dengan kehangatan, kegembiraan yang lugu dan kebijakan-kebijakan yang menyejukkan. Berada di dekatnya, atau menjalin komunikasi dengannya, selalu membuatku merasa senang dan tercerahkan.

Baru sebulan berada di Jakarta, ia mengeluh. Ia tak tahan hidup bersama orang-orang Jakarta, yang katanya tak punya 'hati'. Semua urusan harus diatur secara jelas dan birokratis. Semua hal harus melewati perundingan yang sangat detail dan rinci. Semua orang begitu berhati-hati, tak ada kepercayaan satu dengan yang lain, bahkan yang kerap timbul adalah kecurigaan sehingga orang lebih sering mempertahankan diri ketimbang membagikan diri.

Mendengar curhatnya, aku cuma tertawa. "Mereka hanya menjaga supaya tak menyakiti diri sendiri. Itu saja," jawabku ringan. Sahabatku hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Aku lantas membayangkan, barangkali kita semua serupa Thomas si Peragu. Agaknya kehidupan ini begitu beratnya, sehingga kita sangat berlebihan menjaga diri untuk tak terluka. Kita adalah orang-orang yang ekstra hati-hati, tak mudah percaya, cenderung untuk menolak sesuatu yang baru (bahkan juga sebagai bagian dari proses penerimaan), curiga dan gampang sekali berburuk sangka. Kepahitan-kepahitan dalam hidup menjadikan hati kita tawar, mungkin bahkan asam. Kita tak lagi bisa mengandalkan persahabatan, hubungan dengan orang lain, maupun ikatan dalam komunitas.

Barangkali, dalam 'menghadapi' Yesus pun kita juga menampilkan sikap yang sama. Kita tak lagi percaya bahwa segala sesuatu 'ada saatnya'. Kita sulit untuk mengerti bahwa apapun terjadi bukan karena kebetulan, melainkan semata-mata merupakan bagian dari rencana-Nya yang indah. Kita mudah menjadi reaksioner dan kecewa, karena tak mampu lagi melihat penderitaan sebagai sesuatu yang memiliki makna sakramental.

Yesus agaknya membiarkan luka-Nya terus menganga hanya supaya Thomas-Thomas yang lain datang dan mencucukkan jari ke dalamnya. Sedihkah Ia? Kecewakah Ia? Kurasa tidak. Sang Cinta yang Agung itu tak pernah berkurang, apalagi hanya karena dosa dan kelemahan kita. Bahkan, kupikir Ia justru bahagia melihat orang berduyun-duyun mencucukkan jari ke dalam luka-luka-Nya. Sebab, bagaimanapun, keragu-raguan adalah langkah pertama menuju percaya.

Doa:
Tuhan, tambahlah selalu imanku!
02 Juli 2007

Saya pernah melihat suatu tayangan 'yang tidak biasa' di Music Television (MTV), tentang seorang aktivis kemanusiaan yang sedang mewawancarai Nelson Mandela. Lelaki muda itu adalah seorang aktivis pro-demokrasi di Burma.

Kita semua mafhum; Burma, negara terbesar di kawasan Asia Tenggara yang berbatasan dengan Bangladesh, China, Laos dan Thailand itu dikuasai oleh junta militer sejak 1992. Meskipun berada di bawah pengawasan dan sanksi internasional, rezim militer terus melakukan kontrol yang ketat terhadap kehidupan rakyat, menindas dan menekan pihak-pihak yang memperjuangkan keadilan & demokrasi dengan kekuatan absolut yang mereka punyai, dan dengan cara-cara yang kerap kali berupa kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Satu tindakan rezim militer Burma yang menjadi sorotan dunia adalah ‘kebijakan’ untuk mempersenjatai anak-anak.

Si lelaki muda, aktivis pro-demokrasi itu, diselundupkan keluar Burma oleh kawan-kawannya, karena ia terus-menerus diancam oleh kematian. Tak ada gunanya menunggu mati di Burma; lebih baik ia pergi demi keselamatan dirinya, sekaligus menjadi jaminan bahwa teriakan mereka yang tertindas akan terus disuarakan dan mengundang perhatian dunia.

Bukan hal yang mudah bagi si lelaki muda itu. Ia dihantui ingatan akan siksaan-siksaan fisik & psikologis yang diterima oleh keluarganya. Ia merasa bersalah atas hal-hal yang harus ditanggung oleh orang-orang terkasihnya. Ia digayuti oleh keinginan dan kerinduan untuk kembali ke negeri tercintanya, berjuang bersama dengan orang-orang yang ada di hatinya. Tentu saja ia tak dapat melakukan itu semua. Ia punya tugas berat untuk diemban, yang tak boleh dikalahkan oleh apapun juga.

Kepada Nelson Mandela, lelaki muda itu mencurahkan kegundahannya. “Saya tidak bisa membela ibu saya. Saya bahkan tak bisa menghadiri pemakaman ayah saya. Bukankah Anda pun mengalami hal yang sama saat ada di dalam penjara? Anda tak diperkenankan menghadiri pemakaman adik Anda. Oh! Rasa benci terus tumbuh di dalam hati saya. Bagaimana mungkin saya dapat menghadapi kebencian ini?”

Nelson Mandela, dengan ketenangan seseorang yang telah mengalami banyak hal, menjawab dengan tegas, “Jangan membenci. Itulah cara-cara yang mereka gunakan. Mereka membuatmu membenci, dan kebencian itulah yang lambat-laun akan menghancurkan dirimu sendiri.”
˜
Injil hari ini menegaskan perjalanan berat yang harus dilalui banyak orang yang memperjuangan kebebasan dan keadilan. Sering kali, atau bahkan selalu, mereka harus pergi jauh dari hal-hal yang mereka cintai demi mewujudkan visi tentang masa depan yang jauh lebih baik itu. Yesus pun mengalami hal yang sama sebagaimana dikatakan-Nya: “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya.” (ayat 20)

Semoga Injil hari ini meneguhkan kita, bahwa memperjuangkan terwujudnya Kerajaan Allah di bumi ini bukan sesuatu yang main-main belaka; butuh komitmen, kesetiaan dan pengorbanan tersendiri untuk melakukannya. Termasuk di antaranya adalah berjarak dengan hal-hal yang begitu dekat dan mampu memberikan keamanan & kenyamanan bagi kita, seperti keluarga atau sebuah rumah. Yesus tak mau kita setengah-setengah. Bahkan kepada seseorang yang hendak menguburkan ayahnya, Dia berkata: “Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka.”

Sebuah dongeng tentang Keong Ajaib yang ditulis oleh seorang penulis India, Chitra Banerjee Divakaruni, mengajarkan saya satu hal ini: untuk bisa meraih sesuatu yang besar, seseorang harus melepaskan cengkeramannya atas sesuatu yang lain yang juga sama disukainya...

Doa:
Tuhan, kobarkanlah di dalam hatiku, cinta yang menyala-nyala akan Dikau... agar Kau dan aku makin erat bersatu, dan segala yang menjadi kehendak-Mu adalah juga kehendakku..