27 Juli 2007
Kakek dan nenekku tinggal di desa dan menjadi petani. Di dekat rumah terhampar petak-petak sawah. Di pekarangan tumbuh berbagai macam pepohonan. Kala liburan sekolah, aku senang sekali dapat mengunjungi mereka dan melihat-lihat panenan yang telah dikumpulkan. Pada satu saat, tumpukan gabah kering siap digiling. Pada saat yang lain, pipilan jagung telah rapi bertumpuk di karung-karung, dan berhampar-hampar cengkeh menantang matahari di halaman. Yang paling kusukai adalah duduk diam dan mendengarkan bagaimana biji-biji kacang hijau berlompatan keluar dari selongsong mereka yang mengerut karena tertimpa panas matahari.
Saat malam tiba, desa begitu sunyi dan gelap karena penerangan listrik sangat terbatas. Biasanya, kami berkumpul di ruang makan yang luas dan temaram. Lantainya tanah, dan nenekku memasak di tungku berbahan bakar kayu. Ada sebuah meja panjang dengan bangku panjang di kedua sisinya. Di sana aku duduk, meminum teh hangat yang manis dan mendengarkan Kakek-Nenekku bercerita kepada Papa tentang sawah dan ladang mereka, tentang binatang ternak dan banyak hal lainnya.
Banyak yang telah dikisahkan di meja kayu panjang itu. Cuaca, curah hujan yang terlalu sedikit atau terlampau banyak, angin, kemarau panjang, pupuk yang mahal, hama dan berbagai penyakit tanaman. Aku mendengarkan dalam diam, sembari memainkan wayang dari batang daun singkong yang dibuat oleh Papa. Dalam hati aku bertanya-tanya; bagaimana mungkin ada orang yang begitu tabah menjalani pekerjaan yang penuh dengan ketidakpastian? Tidak ada akses untuk informasi cuaca di sana; seorang petani hanya mengandalkan ketajaman naluri dan kepekaan mendengarkan suara-suara alam. Tak pernah ada jaminan bahwa panen selalu berhasil.
Yang paling mengherankanku adalah kemampuan penerimaan Kakek dan Nenek yang luar biasa. Nada suara mereka tetap sama ketika bercerita tentang beras yang melimpah atau jagung yang rusak. Keuntungan hasil penjualan di pasar atau jatuhnya harga komoditas pertanian. Apapun keadaan yang terjadi selalu diterima dengan kesabaran dan kerelaan yang sama. Dan mereka tak pernah berhenti menjadi petani. Sampai akhir hidupnya, mereka terus menaburkan benih, merawat pucuk-pucuk hijau yang tumbuh darinya serta menantikan buah dari keuletan mereka.
Allah pun tak pernah berhenti berkarya dalam diri kita. Ia tetap setia dalam kepercayaan dan kerelaan-Nya, menaburkan benih-benih kebaikan dan cinta kasih ke hati kita yang keras, berbatu, bahkan beronak duri. Ia tidak memilih-milih hati tempat benih akan ditaburkan. Ia tinggal dalam harapan yang sama ketika menantikan panenan dari benih yang ditaburkan-Nya di hati yang lembut maupun berbatu. Ia diam dalam penantian-Nya di tengah angin dan hujan, panas dan serangan hama penyakit; menantikan apakah benih-Nya akan tumbuh dengan kuat atau justru mati dengan sia-sia.
Seorang petani tak pernah dapat dipisahkan dari tanahnya; seorang petani bukanlah petani tanpa tanah. Dalam sejarah, kita mengetahui bahwa para petani selalu berjuang keras untuk mempertahankan tanahnya. Mereka akan mengupayakan berbagai cara untuk mendapatkan tanah itu kembali. Allah pun tak tak pernah rela dipisahkan dari ciptaan-Nya; Ia bahkan rela mengorbankan anak-Nya yang tunggal agar kita kembali kepada-Nya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar