14 Juli 2007
Ada seorang bapak yang tekun, pintar, jujur, memegang teguh prinsip hidupnya dan pemberani. Apapun diterjangnya. Sering ia mendapat masalah dalam hidupnya. Ia pernah diasingkan oleh teman-teman di kantornya, pekerjaannya disabotase, menerima ancaman dari orang-orang yang tak menyukai pekerjaannya, diberhentikan dari jabatannya secara mendadak tanpa alasan jelas di sebuah yayasan, tak disukai oleh anak laki-lakinya sendiri, bahkan pernah menderita fisik karena disantet orang meski ia tak ambil peduli.
Melihat kehidupan yang tak mudah itu, aku hanya geleng-geleng kepala. Bapak itu tampaknya sama sekali tak terganggu oleh hidupnya yang penuh dinamika itu. Semua dijalani saja dengan rela. Ia sangat religius. Tak pernah absen misa. Setiap hari berdoa, terutama doa Rosario. Sering berziarah ke Gua Maria. Setiap kali mengadakan perjalanan panjang dengan mobilnya dan melewati gereja, ia akan melambatkan laju kendaraan dan membuat tanda salib.
Anak laki-lakinya, yang semula tak menyukai ayahnya, pada akhirnya menyadari bahwa benci dan cinta hanyalah dua sisi dari satu keping mata uang yang sama. Ia mengakui bahwa ia menghormati dan mengagumi ayahnya, namun kesal karena melihat hidup ayahnya itu penuh dengan kesulitan tanpa ia bisa berbuat sesuatu. Melihat sepak terjang ayahnya yang tak kenal akhir, juga hingga kini ketika sang ayah menjelang usia 70 tahun, anak itu hanya berkata, "Pelita tidak ditempatkan di bawah tempat tidur, melainkan di atas kaki dian," (lihat Markus 4:21-22). Secara personal, si anak bahkan mengambil motto hidup yang aku yakin diinspirasi oleh perjalanan hidup sang ayah: mereka yang berwawasan akan bersinar cemerlang seperti cahaya langit, dan mereka yang menuntun banyak orang ke kebajikan akan bersinar bagaikan bintang-bintang untuk selamanya (Daniel 12:3-4).
Goenawan Mohammad, ketika majalah Tempo dibreidel dan ia melakukan gugatan peradilan bersama kawan-kawannya, berkata dalam satu perjumpaan, "Untuk menghadapi kekuasaan hanya ada tiga 'T', yakni takut, takluk atau taktis."
Goenawan tentu saja menolak 'takut' karena itu artinya kalah tanpa perlawanan. Takut berbeda dengan takluk. Takluk adalah situasi kalah, tapi hanya karena pihak yang berseberangan dengan kita memiliki kekuasaan dan kekuatan yang jauh melebihi kekuasaan dan kekuatan yang kita miliki. Taktis adalah situasi pengakuan bahwa pihak yang berseberangan dengan kita 'di atas kertas' punya peluang besar untuk menang karena kekuasaan dan kekuatannya, sehingga kita memilih untuk bermain strategi.
Bersikap taktis ibarat situasi pertandingan Daud melawan Goliath. Kenalanku di awal cerita ini, tak selalu berhasil dengan strategi sehingga sering 'ditaklukkan'. Ia dipaksa kalah oleh kekuasaan dan kekuatan. Tak jarang, ia mengambil langkah-langkah yang keliru atau sama sekali tidak taktis. Tapi ia tak pernah berkecil hati. Motto hidupnya adalah: carilah dahulu Kerajaan Surga, maka selebihnya akan diberikan kepadamu (lihat Lukas 12:31). Setiap pilihan mengandung konsekuensi, dan menanggung konsekuensi dengan penuh kegembiraan dan harapan adalah bagian dari menjalani pilihan.
Aku yakin, bapak itu selalu menemukan Kerajaan Surga-nya dalam setiap liku perjalanan hidupnya. Ia mempunyai hubungan yang khusus dengan Tuhan yang diimaninya. Aku bersyukur dapat menjadikan dia sebagai panutan dalam hidupku. Lebih-lebih, aku bersyukur karena memanggilnya 'Papa'.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar