Mei 30, 2008

03 Juli 2007

keraguan adalah sebuah luka
yang terlalu sepi untuk mengetahui
bahwa iman adalah saudara kembarnya sendiri
(Kahlil Gibran)

Aku mempunyai seorang sahabat. Ia baru saja pindah ke Jakarta, dari sebuah kota kecil yang sejuk, jauh di bagian timur Pulau Jawa. Sahabatku ini adalah seseorang yang mempunyai 'hati'; ia penuh dengan kehangatan, kegembiraan yang lugu dan kebijakan-kebijakan yang menyejukkan. Berada di dekatnya, atau menjalin komunikasi dengannya, selalu membuatku merasa senang dan tercerahkan.

Baru sebulan berada di Jakarta, ia mengeluh. Ia tak tahan hidup bersama orang-orang Jakarta, yang katanya tak punya 'hati'. Semua urusan harus diatur secara jelas dan birokratis. Semua hal harus melewati perundingan yang sangat detail dan rinci. Semua orang begitu berhati-hati, tak ada kepercayaan satu dengan yang lain, bahkan yang kerap timbul adalah kecurigaan sehingga orang lebih sering mempertahankan diri ketimbang membagikan diri.

Mendengar curhatnya, aku cuma tertawa. "Mereka hanya menjaga supaya tak menyakiti diri sendiri. Itu saja," jawabku ringan. Sahabatku hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Aku lantas membayangkan, barangkali kita semua serupa Thomas si Peragu. Agaknya kehidupan ini begitu beratnya, sehingga kita sangat berlebihan menjaga diri untuk tak terluka. Kita adalah orang-orang yang ekstra hati-hati, tak mudah percaya, cenderung untuk menolak sesuatu yang baru (bahkan juga sebagai bagian dari proses penerimaan), curiga dan gampang sekali berburuk sangka. Kepahitan-kepahitan dalam hidup menjadikan hati kita tawar, mungkin bahkan asam. Kita tak lagi bisa mengandalkan persahabatan, hubungan dengan orang lain, maupun ikatan dalam komunitas.

Barangkali, dalam 'menghadapi' Yesus pun kita juga menampilkan sikap yang sama. Kita tak lagi percaya bahwa segala sesuatu 'ada saatnya'. Kita sulit untuk mengerti bahwa apapun terjadi bukan karena kebetulan, melainkan semata-mata merupakan bagian dari rencana-Nya yang indah. Kita mudah menjadi reaksioner dan kecewa, karena tak mampu lagi melihat penderitaan sebagai sesuatu yang memiliki makna sakramental.

Yesus agaknya membiarkan luka-Nya terus menganga hanya supaya Thomas-Thomas yang lain datang dan mencucukkan jari ke dalamnya. Sedihkah Ia? Kecewakah Ia? Kurasa tidak. Sang Cinta yang Agung itu tak pernah berkurang, apalagi hanya karena dosa dan kelemahan kita. Bahkan, kupikir Ia justru bahagia melihat orang berduyun-duyun mencucukkan jari ke dalam luka-luka-Nya. Sebab, bagaimanapun, keragu-raguan adalah langkah pertama menuju percaya.

Doa:
Tuhan, tambahlah selalu imanku!

Tidak ada komentar: