Mei 30, 2008

23 Juli 2007

Papaku adalah seseorang yang senang sekali bertualang dengan mengendarai mobilnya. Sejak 1977, saat pertama kali kami memiliki mobil, hingga 2007 ini ketika ia sudah berusia 68 tahun, Papa masih sering melakukan perjalanan dengan mobilnya. Beberapa hari yang lalu, ia baru menempuh perjalanan Malang-Yogya-Klaten-Malang untuk menghadiri syukuran 3 bulan usia cucunya.

Menjadi anaknya jelas sesuatu yang sangat menyenangkan bagiku, karena aku mendapat banyak sekali kesempatan untuk berkendara bersamanya. Sewaktu aku masih kecil, saat masih duduk di bangku SD, kami sering melakukan perjalanan ke luar kota untuk mengunjungi saudara, rekreasi, atau mendampingi Papa melakukan tugas jurnalistiknya. Sering aku dijadikan 'navigator' yang duduk di sampingnya untuk melihat peta, mencatat liter bensin yang dibeli serta kilometer yang telah ditempuh, menyiapkan uang untuk membayar ini-itu termasuk memberi sedekah kepada pengemis jalanan, mengambilkan minum atau permen bagi si pengemudi, dan banyak lagi lainnya.

Jujur saja, aku bukan navigator yang baik. Alih-alih melaksanakan tugas dengan cermat, aku lebih sering melihat pemandangan sepanjang jalan melalui jendela, menyanyi atau melamun. Selebihnya, aku tidur. Aku sering harus diingatkan untuk melakukan ini-itu. Padahal, setelah kupikir-pikir, tugasku sebetulnya ringan sekali. Yang terberat bagiku saat itu adalah membaca peta dan memastikan kami ada di rute yang benar, tapi ternyata itu pun tak perlu kulakukan. Setiap kali hendak berangkat, Papa selalu menekuri peta dengan diam selama beberapa saat lamanya. Ia kemudian melipat peta itu, lalu menyimpannya dengan rapi di kantong tempat duduknya.

Aku takjub menyadari bahwa kami tak pernah tersesat. Bahkan setelah bertahun-tahun kemudian, ketika banyak sekali rute baru dibangun dan digunakan, Papa tetap menekuri peta lamanya yang makin lusuh. Pada akhirnya, setelah belasan tahun, ia memang membeli peta baru; akan tetapi, peta lamanya-lah yang selalu ia buka. Yang makin mengherankanku, ia bahkan melewati jalan-jalan baru tanpa ragu atau merasa perlu bertanya kepada orang-orang yang ditemuinya di jalan. Dan kami tetap tak pernah tersesat.

Injil hari ini menceritakan orang yang meminta tanda-tanda kepada Yesus. Ya, barangkali kita pun seperti orang-orang itu. Kita selalu saja bertanya-tanya dan mencari tanda-tanda dari Allah, hanya supaya kita percaya dan diteguhkan. Padahal, kita sudah mendapatkan tanda-tanda itu: perjalanan hidup-Nya yang penuh kasih, wafat-Nya di kayu salib dan kebangkitan-Nya yang mulia.

Sayangnya, bagi kita, seringkali tanda-tanda itu tak cukup. Kita pun berjengit setiap kali terdengar kabar penampakan, berbondong-bondong menuju tempat ziarah yang baru dibangun, bahkan berduyun-duyun mendatangi orang-orang yang dipercaya menjalin hubungan mistik dengan Allah. Kita agaknya lupa, bahwa kita sendiri pun dapat menjadi sakramen, tanda kehadiran Allah sendiri; ialah ketika 'tanda-tanda' yang telah diberikan oleh Yesus kepada kita itu mengubah hati kita, menginspirasi keseluruhan hidup kita, sehingga kita menjadi saluran berkat Allah bagi sesama.

Seandainya tanda-tanda itu bisa memiliki makna yang sama seperti peta tua Papaku, mungkin kita tak perlu gelisah dan bimbang dalam menjalani hidup ini. Papaku hanya butuh sekali saja melihat peta, lalu menyusuri perjalanannya dengan gembira. Kita pun hanya perlu meyakini tanda-tanda yang pernah diberikan Yesus kepada kita, kemudian menjalani hidup kita dengan riang dan penuh kerinduan untuk sampai kepada tujuan; tentu saja, seraya menikmati apapun yang terpampang di hadapan kita sebagai pemandangan di sepanjang jalan.

Doa:
Tuhan, Engkaulah andalanku!

Tidak ada komentar: