17 Juli 2007
Manusia itu adalah sebuah kompleksitas yang menarik. Semua yang kita pikirkan, katakan dan perbuat adalah jalinan yang rumit. Agaknya, dasar pemikiran semacam itulah yang mendorong Sigmund Freud untuk mengemukakan teorinya yang dikenal dengan defense mechanism atau mekanisme pertahanan diri.
Freud memandang bahwa selalu terdapat tegangan antara id, ego dan super ego dalam diri manusia. Mekanisme pertahanan diri adalah mekanisme yang digunakan oleh individu untuk menangani tegangan tersebut. Freud mengemukakan 9 jenis mekanisme pertahanan diri. Satu di antaranya adalah rasionalisasi, yakni menjadikan sesuatu yang salah menjadi benar. Ada pula yang disebut penyangkalan, yakni mempercayai bahwa yang benar sesungguhnya adalah salah.
Contohnya bertebaran di dalam keseharian kita. Meskipun tahu bahwa merokok itu berbahaya bagi kesehatan, seorang perokok dapat berkilah, "Tapi saya mendapatkan kebahagiaan dari merokok! Kata orang, sebatang rokok mengurangi 8 jam umur kita. Tapi karena bahagia, umur saya bertambah 10 jam. Jadi, saya malah punya 2 jam ekstra, kan?" Yang menarik adalah ketika seorang dokter perokok bahkan sampai menyiapkan 'perhitungan' medis tertentu untuk menyatakan bahwa merokok 'tidak terlalu' membahayakan kesehatannya (dan ia melakukan ini bukan semata-mata kepentingan medis-saintis, melainkan terlebih untuk 'bertahan' dalam kebiasaannya merokok!).
Dalam konteks iman, berbagai mekanisme pertahanan diri pun kerap ditemui. "Wah saya kemarin nggak ke gereja. Tapi nggak apa-apa. Tuhan pasti memahami alasan kenapa saya nggak ke gereja!" "Mengaku dosa? Ah, buat apa mengaku dosa. Pastornya sendiri kan orang berdosa!" "Kenapa sih cara berpakaian saya ke gereja dikritik? Kan belum tentu yang pakaiannya apik itu hatinya juga apik!"
Para psikolog percaya bahwa mekanisme pertahanan diri digunakan individu untuk mengurangi tekanan dan kecemasan. Sebagai orang beriman, selalukah cara ini menjadi pilihan, bahkan juga dalam proses bawah sadar kita?
Dalam buku Iman Katolik (Obor, 1996), dinyatakan bahwa tobat terjadi pertama-tama karena manusia berpaling kepada Allah dengan segenap hati. Oleh rahmat Allah orang sadar akan kemalangannya sendiri, dan menyatakan kelemahannya di hadapan Allah. Allah sendiri menarik orang berdoa. Dengan mengaku diri orang berdosa, manusia menyerahkan diri lagi kepada Allah yang Maharamim. Apa yang disebut 'pengakuan dosa' sebetulnya tidak lain daripada mengaku diri orang berdosa. Yang pokok bukan dosa-dosa, melainkan diri orang yang sebagai pendosa mohon belas kasihan Tuhan. Allah senantiasa menawarkan rahmat-Nya kepada pendosa, tetapi manusia harus mau menerimanya. Itu terjadi dalam Sakramen Tobat. Iman dan tobat tidak dapat dipisahkan. Tobat itu iman orang berdosa. Dan walaupun 'Gereja adalah suci, namun sekaligus harus selalu dibersihkan, serta terus-menerus menjalankan pertobatan dan pembaruan' (Lumen Gentium 8). (hlm. 434-435)
Bayangkanlah jika Tuhan ada di suatu tempat dan menanti kita datang kepada-Nya. Apakah kita akan menyiapkan setumpuk alasan? Sederet pembelaan diri? Perlukah itu, mengingat bahwa Ia Mahatahu? Tuhan hanya ingin kita datang dengan kesejatian kita. Saat berpaling kepada-Nya, bahkan dosa-dosa tak lagi penting. Yang terutama adalah pertobatan; kemauan kita untuk kembali kepada-Nya.
Itulah mengapa dalam Injil hari ini, diibaratkan bahwa tanggungan negeri Sodom dapat lebih ringan daripada tanggungan kita. Selama kita selalu berpikir bahwa kita tak lebih berdosa dibandingkan yang lainnya, selama semangat pertobatan tak pernah menyentuh hati kita, tidak akan pernah ada keselamatan yang tersedia bagi kita.
Semoga, Injil dan renungan hari ini menyadarkan kita pada 'kekuatan refleksi'.
Doa:
Ya Tuhan, Engkau menyelami dan mengenal aku! Engkau mengenal diriku, duduk maupun berdiri, segala pikiranku bisa Kau duga dari jauh. Engkau pun mengetahui aku berbaring atau berjalan, Engkau ikuti semua tindak-tandukku; biar sepatah kata pun belum kuucapkan, segala-galanya sudah Kau ketahui. Sungguh ajaiblah pengetahuan-Mu, terlampau tinggi bagiku dan takkan dapat aku pahami. Ke mana gerangan hendak kuhindari roh-Mu, dan ke mana pula aku mesti lari dari pandangan-Mu? Ya Tuhan, Engkau menyelami dan mengenal aku! (Mazmur 139)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar