09 Juli 2007
Aku mengenal seorang ibu Katolik dengan situasi hidup yang sulit. Suaminya sudah lama berselingkuh, bahkan mempunyai anak sebagai hasil perselingkuhannya itu. Suaminya itu juga dililit hutang, yang sebagian di antaranya telah dilunasi oleh si ibu dengan cara menjual tanah dan rumah milik keluarga. Meskipun isterinya sudah berkehendak baik, tetap saja suami ibu itu tak juga jera. Ia kerap membuat masalah dalam keluarga, dan tak pernah keluar dari jerat hutang yang uangnya entah digunakan untuk keperluan apa.
Si ibu setiap hari mengikuti misa pagi, berdoa Malaikat Tuhan dengan khusyuk, bahkan setiap malam secara khusus meluangkan waktu untuk berdoa sebelum tidur. Doanya panjang dan lama. Melihatnya berdoa, aku menjadi sedih dan bertanya dalam hati, "Ya Tuhan, kepada seseorang seperti ini, mengapa tidak Kau berikan kebebasan dari segala penderitaannya itu?"
Tentu saja, seperti biasanya, Tuhan selalu menjawab doaku meski sering kali melalui cara-cara yang tak terbayangkan atau bahkan terpahami. Kali ini, Ia menjawab doaku dengan cara memberiku kesempatan untuk mengenal si ibu dengan lebih baik lagi. Aku terkejut ketika pada suatu malam ia berkata, "Saya sudah banyak berdoa bagi suami saya. Mengapa ia tak juga berubah? Apa lagi yang kurang dari doa saya?" Selain itu, setelah kucermati hidup kesehariannya, aku melihat jurang yang lebar antara doa dan hidupnya. Meskipun ia sangat tekun berdoa (dan ingin agar suaminya berubah), ia tak melakukan apapun untuk memperbaiki relasi dengan suaminya. Mereka menempati ruang tidur yang terpisah, saling tak bicara, bahkan si ibu tampak jelas tak lagi peduli pada kebutuhan-kebutuhan hidup suaminya; meskipun satu rumah, mereka berdua memiliki kehidupan yang terpisah.
Injil hari ini mengisahkan tentang seorang perempuan yang sembuh dari sakitnya setelah menjamah jubah Yesus. Perempuan itu yakin, bahwa hanya dengan menjamah jubah Yesus, sakitnya akan disembuhkan. Yesus pun berkata kepadanya, "Imanmu telah menyelamatkan engkau!" (lih. ayat 21-22).
Jika aku kaitkan Injil hari ini dengan kisah tentang seorang ibu di awal perenunganku tadi, aku mengibaratkan ibu itu sebagai perempuan yang melihat Yesus berlalu-lalang tapi tak juga menjamah-Nya, atau setidaknya, menjamah jubah-Nya. Memang, bukan hal yang mudah; menyadari bahwa penderitaan yang boleh kita alami adalah bagian dari rencana kasih-Nya untuk menyempurnakan kita. Sering kali, penderitaan melumpuhkan kita untuk berubah sesuai kemauan Yesus. Laksana seekor kupu-kupu yang menggeliat keluar dari kepompongnya, Yesus ingin agar kita dapat bergulat dengan hidup yang menyesakkan untuk meraih kebebasan yang sejati.
Perempuan yang bertahun-tahun menderita sakit itu telah menemukan kebebasan; bukan karena Yesus telah menyembuhkannya, akan tetapi karena ia dapat menyatukan penderitaannya itu dengan Yesus sendiri. Bukankah Yesus berkata, “Imanmu telah menyelamatkan engkau,” bukannya, “Aku telah menyembuhkan engkau”? Dengan iman sebagai dasar dari cara kita berpikir dan bertindak, segala persoalan hidup tak lagi membelenggu, melainkan justru mengantar kita kepada kebebasan yang sejati itu.
Tentang iman itu sendiri, ia tak boleh hanya berhenti pada doa. Relasi dengan Allah harus terus dijalin, relasi dengan diri sendiri harus diperdamaikan, demikian pula halnya relasi antar manusia harus terus disempurnakan. Bukankah itu inti dari 'mengasihi'? Dengan cara itulah iman dapat diwartakan dan kita sendiri menjadi saksi bagi iman yang menyelamatkan itu. Yesus bukanlah tukang sulap yang dapat menyembuhkan orang sakit dan membangkitkan orang mati. Yesus menunjukkan melalui mukjizat yang dibuat-Nya, bahwa dalam iman yang kuat kepada Allah, hidup kita akan diubah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar