Mei 30, 2008

18 Juli 2007

Orang biasanya tidak tahan menderita. Mereka ingin sekali cepat-cepat mengakhiri penderitaannya, bahkan juga melalui cara-cara yang instan. Pokoknya, penderitaan harus segera diakhiri karena menimbulkan kesengsaraan. Kalau dapat hidup bahagia, untuk apa menderita?

Padahal, penderitaan itu dapat berbicara banyak. Viktor Frankl, Elie Wiesel dan Anne Frank adalah nama-nama yang dikenal orang karena penderitaan yang mereka alami di kamp konsentrasi Nazi. Masih banyak nama lain yang bisa kita sebut. Aku tidak tahu alasan yang membuat mereka begitu terkenal. Barangkali, karena mereka sanggup 'melampaui' penderitaan itu; mentransformasi kesengsaraan mereka menjadi energi lain yang dengan caranya sendiri, memberikan sumbangsih kepada kemanusiaan.

Bagiku, penderitaan manusia mempunyai makna lebih, karena itulah ruang bagi Tuhan untuk menyatakan diri-Nya. Saat mengalami penderitaan, sebuah situasi ketika manusia berhadapan dengan batas-batas terjauh dirinya sendiri, kepada siapa lagikah ia dapat menaruh kepercayaan dan harapan selain kepada Sang Pemberi Hidup?

Penderitaan manusia adalah alasan bagi Yesus untuk menegaskan jalan keselamatan Allah. Yesus memang datang bagi semua orang, namun terutama ia hadir untuk mengembalikan kegembiraan dan harapan mereka yang sakit, miskin, tertindas dan teraniaya.

Leonardo Boff OFM, dalam bukunya Sakramen-sakramen dari Hidup & Hidup dari Sakramen-sakramen (Obor, 2007), menyatakan bahwa ada orang-orang yang tidak dapat menerima kehadiran Yesus. Mereka adalah orang-orang yang tertutup dalam kebenaran dan tradisi mereka, kepentingan-kepentingan sosial dan realitas keagamaan mereka yang penuh ingat diri. Mereka adalah orang-orang yang mengalami banyak kesenangan dan puas dengan hidup mereka sekarang. Mereka tidak mengharapkan apapun karena sudah memiliki segala sesuatu. Jika mereka menantikan sesuatu, Dia-lah Mesias yang akan datang untuk mensahkan privilese, tradisi, dogma dan keyakinan personal yang ada.

Boff menulis: orang-orang itu hanya melihat Yesus sebagai penyebab perpisahan dan perpecahan, yang mempertanyakan agama dan negara yang ada. Yesus memang membuat persoalan dan mendesak orang untuk bertobat. Ia tidak membenarkan status quo sosio-religius yang ada. Ia memanggil manusia untuk membangun semacam relasi baru dengan sesama dan Allah. Tuntutan-tuntutan itu tidak diterima oleh orang-orang yang memegang kuasa religius, sosial dan yuridis, karena menerima Yesus berarti mengalami perubahan radikal dalam hidup mereka. Mereka harus mengambil risiko yang besar (hlm. 138).

Lalu, siapakah Yesus di mata orang-orang yang sakit, miskin, tertindas dan teraniaya? Bagi mereka, menurut Boff, Yesus adalah seseorang yang saleh dan adil; guru, pembebas, utusan Allah, penyelamat dunia.

Jika dengan cara itu kita ingin memandang Yesus, mungkin ada yang perlu 'dibenahi' terlebih dulu dalam hidup kita. Mungkin juga, ada risiko besar yang harus diambil. Satu di antaranya, bisa saja, adalah dengan memberikan kesempatan kepada diri sendiri untuk mengalami penderitaan; sebab pengalaman akan penderitaan itu nantinya akan membawa kita kepada pengalaman akan pembebasan dan keselamatan.

Doa:
Tuhan, Engkaulah andalanku!

Tidak ada komentar: