Mei 30, 2008

04 Juli 2007

Dua minggu belakangan ini, seorang sepupu menginap di rumahku. Ia masih duduk di kelas 2 SMA. Ia sangat menyukai Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa tahun 1966. Kebetulan aku memiliki album soundtrack film Gie, dan lagu-lagu itu berkumandang setiap hari, bahkan beberapa kali dalam satu hari. Sepupuku itu juga sangat menyukai kata-kata yang tertera di sampul album: lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.

Kemarin, aku memutar otak untuk berusaha membuat mahasiswaku paham tentang arti, fungsi dan ragam bahasa. Karena 'mengalami' adalah cara belajar yang efektif (juga terutama karena mahasiswaku bosan dikuliahi dan diberi teori-teori), aku mengajak mereka untuk membaca komunike-komunike Subcomandante Marcos.

Marcos, bersama para pengikutnya, adalah gerilyawan yang memperjuangkan hak kaum adat di Chiapas, Meksiko. Mereka 'bertempur' melawan kapitalisme dan neo-liberalisasi. Marcos menulis: Negara, Demokrasi, Kebebasan dan Keadilan bukan cuma kata-kata besar nan agung, namun juga realitas hidup bangsa Meksiko. Bagi kami, hidup tanpa mencapai tujuan tersebut adalah nista, dan mati dalam memperjuangkannya adalah kehormatan.

Awalnya, Marcos yang ditengarai adalah seorang Jesuit ini, bersama pengikutnya memilih perjuangan bersenjata. Mereka kemudian berganti strategi dengan menggunakan jalan dialog serta pendidikan lewat media melalui komunike-komunike yang ditulis oleh Marcos dan disebarkan ke seluruh dunia. Kumpulan komunike itu telah diterbitkan sebagai buku dalam bahasa Indonesia, yang memiliki ketebalan 905 halaman.

Kepala Marcos dan para pengikutnya dihargai mahal. Untuk meneruskan perjuangan, mereka tak bisa lain kecuali bergerilya di hutan-hutan Chiapas, serta mengenakan topeng ski (kerpus atau balaklava) untuk menutupi wajah saat mengikuti dialog publik. Dalam komunike-komunikenya, sarat digambarkan oleh Marcos tentang cara-cara mereka bertahan di dalam hutan, juga beratnya berpindah-pindah tempat karena tentara terus memburu mereka. Serangan militer yang tiba-tiba, jatuhnya korban jiwa, bahkan pembakaran desa penduduk yang tidak bersalah, menjadi bagian dari teror yang harus mereka hadapi setiap hari. Sungguh suatu harga yang mahal bagi sebuah perjuangan.

Hok Gie dan Marcos adalah dua nama yang menyejarah. Injil hari ini pun mengingatkan kita pada satu nama lain yang juga dicatat oleh sejarah karena perjuangannya: Yesus.

Melalui keberpihakannya kepada kaum miskin dan tertindas, Yesus menyatakan garis perjuangannya yang tegas. Melalui ketegasan sikap-Nya itu, Yesus sekaligus 'menantang' mereka yang tak ada dalam garis 'perjuangan' yang sama. Konsekuensinya jelas tak mudah. Yesus harus menerima penolakan dari mereka yang berseberangan dengan-Nya. Ia bahkan disingkirkan (melalui hukuman mati di salib) demi tercapainya 'stabilitas nasional' yang diinginkan oleh para penguasa.

Yesus tak pernah gentar. Ia konsisten dan setia sampai mati. Ia pun menuntut pihak lain untuk tegas, konsisten dan setia. Injil hari ini menunjukkan sikap Yesus terhadap roh-roh jahat; roh-roh jahat itu harus dienyahkan karena membelenggu manusia, mengekang manusia sehingga tak mampu menampilkan wajah keilahiannya. Akan tetapi, apa yang didapat Yesus atas usahanya itu? Penduduk kota mengusirnya.

Yesus pun pergi. Ia pergi bukan sebagai seorang pejuang yang kalah. Ia pergi supaya dapat terus mewartakan keselamatan-Nya kepada banyak orang. Ia pergi dengan meninggalkan jejak yang jelas terbaca: aku telah memilih jalan-Ku, dan kau pun harus menentukan pilihanmu. Apakah kau akan mengikuti Aku, atau berkeras dengan kebenaranmu sendiri? Kau tak dapat mengambil keduanya; sebab memilih Aku berarti meninggalkan yang lainnya...

Tidak ada komentar: