05 Juli 2007
Muhammad Yunus dari Bangladesh, pendiri Grameen Bank dan peraih Hadiah Nobel Perdamaian 2006, menyatakan dalam pidato penerimaan Hadiah Nobel-nya: saya terperanjat mendapati seorang perempuan desa meminjam kurang dari US$1 dari seorang rentenir, dengan syarat bahwa si rentenir memegang hak eksklusif untuk membeli semua yang dihasilkan si perempuan itu dengan harga yang ditetapkan si rentenir. Hal ini, bagi saya, adalah cara membeli budak belian. Saya putuskan membuat daftar korban 'bisnis' rentenir ini di desa yang bersebelahan dengan kampus kami. Ketika daftar saya rampung, ada nama 42 korban yang pinjaman totalnya US$27. Saya keluarkan US$27 dari kocek sendiri untuk membebaskan para korban ini dari cengkeraman rentenir. Kegembiraan yang timbul di kalangan orang-orang itu oleh langkah sederhana ini membuat saya terlibat makin jauh ke dalamnya. Bila saya bisa membuat begitu banyak orang bahagia dengan uang yang begitu sedikit, mengapa tidak berbuat lebih banyak lagi? (Bank Kaum Miskin, Marjin Kiri, 2007).
Yunus memang lantas berbuat lebih banyak lagi. Selama dua puluh tahun pergulatannya dengan kaum miskin, ia dan Grameen Bank berhasil memberikan pinjaman ke hampir 7 juta orang miskin di 73 ribu desa Bangladesh. Kredit bebas agunan itu digunakan untuk keperluan mata pencaharian, perumahan, sekolah, usaha mikro, program tabungan, dana asuransi dan dana pensiun.
Barangkali, ada di antara kita yang menjadi skeptis dan berkata: tentu saja Yunus dapat melakukan hal-hal macam itu. Bukankah dia adalah seorang profesor ekonomi?
Nanti dulu. Yunus justru meninggalkan kenyamanan dunia akademisnya untuk bergulat dengan kaum miskin. Dituliskannya dalam buku yang sama: di tahun 1974 itu, saya mulai muak dengan apa yang saya ajarkan. Apa hebatnya teori-teori rumit itu manakala orang-orang tengah sekarat kelaparan di trotoar dan emperan seberang ruang kuliah tempat saya mengajar? (hlm. 2).
Ketika merenungi buku itu selama dua minggu, aku bertanya-tanya dalam hati; lantas apa yang sebenarnya dilakukan oleh Yunus? Jawabannya baru kuperoleh tadi pagi saat membaca Injil hari ini. Diceritakan bahwa Yesus menemui seorang lumpuh. Ia tidak langsung membebaskannya dari penderitaan fisik, melainkan berkata, "Dosamu sudah diampuni."
Ya. Kita memang cenderung untuk terlalu cepat mencari penyelesaian bagi sebuah masalah. Kita cenderung mencari alternatif solusi yang tampak di depan mata, sebab hal-hal semacam itu memuaskan kita. Akan tetapi, pernahkah kita bertanya: apakah hal-hal itu juga memuaskan mata batin kita?
Yunus melihat kemiskinan bukan sebagai persoalan ekonomi semata. Mata batinnya melihat bahwa sesamanya telah dirampas harkat dan martabatnya, sehingga menjadi tak lebih dari sekadar 'budak belian' semata. Ia lantas mengambil US$27 dari kantongnya sendiri untuk melepaskan orang-orang itu dari jeratan rentenir. Ia tidak melakukan perhitungan ekonomis sesudahnya; ia hanya berkata bahwa kegembiraan orang-orang itu telah kembali.
Yunus adalah seorang Muslim. Ia mengambil nama Nabi pujaannya untuk menjadi namanya sendiri. Sungguh menyentuh; seorang Muslim mampu melakukan sesuatu sebagaimana Yesus melakukannya. Yesus dan Yunus mengembalikan kegembiraan dan harapan pada mereka yang tertindas dan teraniaya. Itulah pembebasan yang sejati; ketika kegembiraan dan harapan dikembalikan, banyak hal lain dapat dilakukan.
Bagiku, pengertian itu membawaku kepada pemahaman mengenai sabda lain Yesus: janganlah kamu mempersoalkan apa yang akan kamu makan atau apa yang akan kamu minum dan janganlah cemas hatimu. Semua itu dicari bangsa-bangsa di dunia yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu tahu, bahwa kamu memang memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah Kerajaan-Nya, maka semuanya itu akan ditambahkan juga kepadamu (Lukas 12:29-31).
Doa:
Tuhan, kembalikanlah kegembiraan dan harapan kami akan Dikau, sehingga kami juga dapat mengembalikan kegembiraan dan harapan sesama kami... Terima kasih Tuhan, karena telah membimbing kami kepada pengertian yang membebaskan ini...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar