Mei 30, 2008

25 Juli 2007

Tanah Papua, 1969. Saat itu menjelang diadakannya referendum. Menurut New York Agreement yang ditandatangani oleh Belanda dan Indonesia serta disponsori oleh Amerika Serikat pada 1962, orang Papua harus mengikuti pemilu untuk menentukan nasib sendiri. Jajak pendapat itu disebut Act of Free Choice.

Agaknya fajar baru hendak segera merekah di Tanah Papua. Akan tetapi, menjelang jajak pendapat tersebut, penganiayaan terhadap orang Papua yang memilih untuk merdeka terjadi secara terus-menerus. Dari sekitar 800 ribu orang Papua Barat, hanya seperdelapannya saja yang diberi kesempatan untuk ikut memilih. Alhasil, oleh orang Papua sendiri, pemilu itupun disebut Act of No Choice.

Penganiayaan terhadap orang Papua juga dialami Guru Aurelius. Dipaparkan oleh Uwe Hummel dalam buku Teologi Bencana (Oase Intim, Makassar, 2006), Guru Aurelius dipaksa untuk menunjukkan lokasi bersarangnya 'para pemberontak' dari kelompok yang digelari Organisasi Papua Merdeka (OPM). Selama berbulan-bulan ia tidak mandi atau mengganti pakaiannya. Ia hampir selalu merasa lapar dan haus, belum lagi menahan siksaan fisik yang diterimanya, juga keharusan untuk berjalan kaki sepanjang hari di dalam hutan. Bahkan, karena sedemikian hebatnya siksaan itu, Guru Aurelius menjadi buta.

Dalam penderitaan seberat itu, tak seleret pun dendam terlintas di hatinya. Ia dibesarkan oleh cerita-cerita rakyat mengenai Koyeidaba, pahlawan dan juru selamat bagi orang Papua. Jauh di kemudian hari ketika ia mengikuti Sekolah Minggu, ia mengenal juru selamat itu sebagai Yesus Kristus. Ia sangat meyakini petuah Sang Juru Selamat untuk mengasihi musuh dan mendoakan orang yang berbuat jahat. Keyakinan itulah yang membuatnya bertahan di hutan Manyambouw. Kendati situasi hidup begitu memberat, Guru Aurelius merasakan kedamaian dan kebahagiaan. Ia bahkan tak pernah berhenti mendoakan para tentara yang menyiksanya.

Injil hari ini mengisahkan tentang perdebatan di antara para murid tentang yang terbesar di antara mereka, juga kemuliaan sebagai ganjaran mengikuti Yesus. Yesus berkata, "Dapatkah kamu meminum cawan yang harus Ku-minum?" (lihat ayat 21-23).

Yesus dikenal sebagai Juru Selamat dan Raja Damai. Mungkin, orang berpikir bahwa mengikuti Yesus berarti mendapat kedamaian hidup dan keselamatan di akhirat. Jika kedamaian dan keselamatan itu dibayangkan sebagai sesuatu yang diperoleh atau dijalani dengan mudah, orang bisa keliru. Uwe Hummel merumuskannya untuk kita: tak ada jalan damai tanpa penderitaan, karena damai berarti tidak tunduk pada kekuasaan yang tidak adil. Damai berarti tidak mengikuti arus yang tidak benar. Damai berarti tidak tinggal diam bila hak makhluk lain sedang diperkosa. Seorang pembawa damai di dunia ini harus berani, gigih, berpendirian kuat, siap memikul salibnya dan mengikuti Yesus Kristus...

Tidak ada komentar: