Mei 30, 2008

10 Juli 2007

Sewaktu kuliah, aku mendapat pengajaran dari seorang dosen bernama Dr. Soewarsih Warnaen. Ia adalah seseorang yang luar biasa. Tidak menikah, ia mencurahkan segenap waktu dan perhatian kepada para mahasiswanya. Di kelasnya, tidak pernah ada pertanyaan yang dianggap tolol atau konyol. Bu Warsih bahkan selalu menyejukkan hati, ketika kami, para intelektual muda yang sombong dan arogan itu, berdebat keras dan tajam seolah-olah pendapat yang satu jauh lebih benar daripada pendapat yang lain. Setiap kebodohan kami selalu disempurnakan olehnya melalui ujaran-ujaran yang ramah, serius, sabar dan teliti. Aku merasa bahwa Bu Warsih tidak hanya memberikan kuliah. Lebih jauh daripada itu, ia mencoba untuk mewariskan watak yang baik dari seorang intelektual.

Pada suatu malam, Bu Warsih ditemukan meninggal di rumah mungilnya. Sendirian saja.

Hatiku pedih sekali. Sangat pedih. Ia baru saja menerbitkan sebuah buku, dan aku belum sempat meminta tanda tangannya. Pada saat itu pula, aku tengah mengerjakan tesis dan berniat memintanya menjadi penguji tesisku. Tapi ia keburu pergi. Beberapa bulan kemudian, dengan penuh haru, kutulis demikian di lembar tesisku: Tesis ini dibuat sebagai kenangan terhadap alm. Dr. Soewarsih Warnaen. Terima kasih, Ibu. Hanya dari seseorang yang berjiwa besarlah akan lahir orang-orang berjiwa besar lainnya...

Kini, aku adalah seorang dosen sebagaimana Bu Warsih dulu. Karena ia telah mengajarku dengan sedemikian baiknya, aku pun mengajar mahasiswaku dengan sebaik yang aku bisa. Jika tidak melakukannya, aku merasa sedang berhutang sesuatu, entah kepada siapa; Bu Warsih-kah, mahasiswaku, masa laluku, atau diriku sendiri?

Injil hari ini mengingatkanku pada kenangan tentang Bu Warsih. Diceritakan dalam Injil itu, Yesus tergerak hati-Nya oleh karena belas kasih kepada banyak orang yang menderita. Mereka layaknya domba-domba tanpa gembala; lelah dan terlantar. Yesus pun berkata, "Tuaian memang banyak, tetapi sedikitlah pekerjanya. Karena itu mintalah kepada tuan yang empunya tuaian, supaya ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu." (lihat ayat 36-38).

Yesus telah terlebih dahulu mencintai kita. Sedemikian cintanya, Ia bahkan rela memberikan seluruh hidup-Nya (= menyerahkan nyawa-Nya) bagi kita. Tidakkah kita merasa berhutang sesuatu, jika tidak melakukan banyak hal sebagaimana yang telah Ia lakukan bagi kita dan sesama kita?

Bu Warsih tidak mampu mengajar di empat kelas sekaligus pada jam yang sama. Yesus dapat melakukan apapun sebab ia Mahakuasa. Akan tetapi, Yesus tidak ingin melakukan karya penyelamatan Allah secara sendirian. Ia meminta kita untuk juga melakukan hal yang sama: mengasihi, mendoakan, menyembuhkan, membebaskan dari penderitaan dan berjuang bersama sesama kita dalam terang iman & pengharapan.

Yesus tidak secara terang-terangan menyuruh kita. Ia hanya meminta kita untuk berdoa agar Allah Bapa menggariskan kehendak-Nya atas kita. Dengan menjawab panggilan Allah, menjadi pelaksana karya penyelamatan itu, kita mengambil peran sebagaimana Yesus pernah melakukannya; Sabda yang menjelma. Dalam jalan panggilan itu, kita tak akan pernah sendirian; Roh Kudus akan selalu hadir dan membimbing setiap langkah kita.

Hanya dengan cara demikianlah, kita akhirnya sampai pada pemahaman akan Misteri Agung Tritunggal Mahakudus itu...

Doa:
Tuhan, panggillah aku! Jadikan aku pekerja-Mu, bagian dari karya penyelamatan- Mu!

1 komentar:

mamanatidia@yahoo.com mengatakan...

mba,saya salah satu keponakan ibu soewarsih,membaca kutipan kecil tentang beliau mengingatkan saya atas kebaikan beliau.
saya berterima kasih karena masih ada yg mengingat jasa usaha beliau.