September 14, 2008

PERJUMPAAN KITA

Sabtu, 31 Mei 2008

Merenungkan perjumpaan Maria dan Elisabet adalah merenungi sebuah kisah yang indah. Ini adalah cerita tentang dua perempuan yang berbahagia, karena mereka mengizinkan Tuhan berkarya di dalam diri dan hidup mereka.

Akan menjadi sesuatu yang indah juga, ketika kita mampu menjadi sebagaimana Maria dan Elisabet; perjumpaan kita adalah perjumpaan orang-orang yang mengimani Allah dalam hidup keseharian. Kita dipanggil untuk mengusahakan hidup keseharian itu dalam terang iman.

Dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (1965) dinyatakan bahwa: kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka. Sebab persekutuan mereka terdiri dari orang-orang, yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya (GS, 1).

Itulah panggilan kita: menjadi Gereja yang terlibat. Bagaimana mungkin kita dapat mengarah kepada Kerajaan Bapa, jika kita sama sekali tidak terlibat di dalam kehidupan bersama orang-orang yang ada di sekitar kita?

Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis! (Roma 12, 15). Hanya dengan terlibat secara konkret, kita akan menjadi Gereja yang nyambung dan ngefek (= relevan & signifikan). *

*Lihat: Eka Darmaputra, PhD. MEMBERDAYAKAN KOMUNITAS BASIS (Dari Perspektif dan Pengalaman Kristen Protestan). Makalah diajukan pada Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2000, Caringin-Bogor, 1-5 November 2000. Yang dimaksud insignifikansi internal adalah keberadaan Gereja yang kian tidak terasakan makna fungsionalnya dalam kehidupan nyata warganya. Yang dimaksud dengan irelevansi eksternal alias insignifikansi sosial adalah ketika kehidupan serta dinamika internal Gereja terisolasi, teralienasi, atau seolah-olah tidak mempunyai sangkut-paut sedikit pun dengan dinamika sosial di lingkungan tempat mereka berada.

Tentang Memandang

Jumat, 30 Mei 2008

Beriman itu bukan perkara gampang. Seseorang tidak semerta-merta dikatakan sungguh beriman hanya karena ia rajin ke gereja, atau merupakan seorang pendoa yang baik. Bahkan, Karl Marx pun pernah berkata bahwa iman yang sejati adalah iman yang pernah berbenturan dengan realitas sosial.

Iman memang bukan pemberian, atau warisan. Iman tumbuh dari pergulatan. Beriman menjadi bermakna jika seseorang pernah mengalami dan melampaui krisis. Tanpa mengalaminya, ia barangkali tak akan mengerti tentang keragu-raguan, sekaligus tak akan paham tentang kepercayaan yang sesungguhnya.

Perjalanan hidup ini memungkinkan kita untuk menemui apapun. Mungkin hidup pernah terasa begitu berat sehingga kita nyaris berhenti berjalan atau memutuskan untuk berbalik arah. Tapi Yesus tak membiarkan kita sendirian; Ia memanggil nama kita dan meminta kita menghampiri diri-Nya, "Datanglah pada-Ku kamu yang letih lesu dan berbeban berat; Aku akan memberikan kelegaan padamu!" (bdk. Mat 11, 28).

Mereka yang memandang Yesus pun akan menemukan harapan, sebab Ia menjanjikan kehidupan.

MEMANDANG HIDUP MELALUI MATA YESUS

Kamis, 29 Mei 2008

Banyak cara dapat dilakukan untuk memandang dunia, karena kita semua dianugerahi sepasang mata.

Pengemis di tepi jalan itu misalnya, atau anak-anak yang mengamen di jendela mobil kita. Kita bisa melihat betapa kurus tubuh mereka, juga betapa redup sinar wajahnya. Barangkali sebagian di antara kita lantas menangis atau menghapus air mata. Mungkin juga, sebagian lagi berpaling ke arah yang lain karena tak peduli, tak mau tahu atau masygul karena tak bisa berbuat apa-apa.

Yesus pernah menemukan pemandangan yang sama; orang-orang yang redup sinar wajahnya. Yesus tidak menangis atau memalingkan muka. Ia justru menghampiri dan menyelamatkan mereka, membebaskan mereka dari penderitaan. Bahkan Yesus pun harus menghadapi kesulitan-kesulitan-Nya sendiri; Ia menuntaskan cinta itu dengan darah-Nya di kayu salib.

Semua orang dianugerahi mata, tapi tak semua mau datang kepada Yesus untuk belajar melihat.

KEBODOHAN MANUSIA DI HADAPAN SEMESTA

Selasa, 27 Mei 2008

Betapa sempitnya pikiran manusia. Ia mengira Allah memberinya nama, padahal ia hanyalah seseorang di antara yang lainnya. Ia mengira Allah memberinya keluarga, padahal banyak orang dapat disebutnya sebagai saudara. Ia mengira Allah memberinya sebuah rumah dan sepetak halaman, padahal Allah menganugerahinya alam untuk dijaga dan dikelola.

Jika bertahan dalam ruang benaknya yang sempit itu, selamanya manusia akan gagap saat menghadapi dunia. Bukan persaudaraan yang ia kembangkan, melainkan egoisme. Bukan kesetaraan antar manusia yang ia pertahankan, melainkan manipulasi dan penindasan. Bukan kelestarian alam yang ia perjuangkan, melainkan eksploitasi besar-besaran.

Hari ini Yesus berkata kepada kita, ”Barangsiapa meninggalkan rumah, ibu, bapa, dan anak-anaknya atau ladangnya, ia akan menerima kembali seratus kali lipat,” (bdk. Mrk 10, 30). Sudah saatnya kita belajar untuk memandang dunia ini sebagai rumah bersama dan memperjuangkan hubungan-hubungan yang benar di antara semuanya. Barangkali tak mudah, namun rumah itu menjanjikan ganti seratus kali lipat untuk setiap pengorbanan yang kita buat. Kita menyebut rumah itu: Kerajaan Allah.

SEBUAH HIDUP BERNAMA CINTA

Senin, 26 Mei 2008

aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

(Sapardi Djoko Damono)

Mencintai memang tak pernah jadi perkara mudah, terutama karena kita tak bisa setengah-setengah.

Sebatang kayu akan tetap tinggal sebagai arang, jika ia menolak berdekapan lebih lama lagi dengan api. Lalu untuk apakah arang itu? Segumpal awan hanya akan tinggal sebagai mendung menggantung di langit, jika ia menolak melepaskan tetes-tetes air yang dikandungnya. Lalu mau apa awan mendung itu?

Cinta adalah keterlibatan. Sama seperti kayu yang tak mau bergumul dengan api atau awan yang tak rela luluh dalam hujan, kita pun tak akan lengkap jika menolak untuk menggenapi panggilan kita.

Visi Kerajaan Allah membuka mata dan hati kita, sehingga kita dapat melihat bahwa dunia ini tercabik-cabik dan terkoyak-koyak oleh kekerasan dan ketidakadilan. Itulah panggilan kita. Kita terpanggil untuk menyempurnakan kembali dunia itu sebagaimana ia telah diciptakan. Panggilan itu tak cukup disahuti hanya dengan kesalehan hidup, namun juga dengan bangkit bergerak dan membuat perubahan ketika Kerajaan Allah tak tampak. Kita tak hendak mencaci-maki dan menghancurkan dunia ini, melainkan menyelamatkannya (bdk. Yoh 3:17).

Menyahuti panggilan itu barangkali membuat kita tinggal jelaga atau malah hilang, tapi setidaknya kita telah menghasilkan api atau menurunkan hujan. Ini adalah cinta yang terbesar itu: menyerahkan hidup, bagi hidup yang lainnya...

SEBUAH RUANG UNTUK TUHAN

Sabtu, 24 Mei 2008

Semesta ini diciptakan Tuhan untuk kita. Masihkah kita menikmati hal-hal ini: embun pagi di atas daunan hijau, katak kecil yang baru kehilangan ekornya dan melompat-lompat dengan gembira, sebuah kepompong di dahan pohon, atau seekor burung gereja yang mengendap-endap untuk makan dari piring anjing peliharaan kita?

Masihkah kita menangis oleh hal-hal ini: seekor ikan kecil di kolam yang terjebak di antara karang dan akhirnya mati karena tubuhnya penuh luka, seekor bunglon yang terjepit pintu, benih tanaman kecil yang hanya tumbuh sebentar lalu mati, atau daun-daun tanaman yang dirobek-robek orang?

Jika kita tak lagi tersentuh oleh hal-hal kecil itu, apakah kita dapat tersentuh oleh hal-hal semacam ini: seorang tukang sampah yang menyeret sebuah gerobak berat yang penuh dengan sampah busuk dan belatung, pemulung yang mengais-ngais tumpukan barang untuk mencari yang dapat dijual, pengemis yang tak lagi malu untuk meminta-minta, atau buruh dan petani yang bekerja keras bagi pekerjaan yang tak pernah memberinya cukup uang?

Seorang bijak berkata: iman tumbuh dari hal-hal kecil. Ketika kita tak lagi mudah terpukau oleh hal-hal kecil, Tuhan pun tak akan berarti apa-apa bagi kita.

Jika Tuhan tak lagi berarti bagi kita, bagaimana mungkin kita bisa menjadi garam dan terang dunia?

SEBUAH BOLA LEMPUNG DAN SEMACAM CINTA YANG KERAS KEPALA

Jumat, 23 Mei 2008

Seorang pembuat tembikar, dengan sangat sabar, membentuk sebuah bola lempung menjadi bejana. Ia dengan berhati-hati membuat bentuk kasar bejana itu, lalu pelan-pelan menghaluskannya. Jika dirasanya ada yang keliru, pembuat tembikar itu tak segan-segan mengulangi proses dari awal. Tak ada yang salah dengan hal itu; ia hanya ingin tembikarnya sempurna.

Seandainya perjalanan hidup kita ini diibaratkan perjalanan sebuah tembikar, telah begitu banyak tangan yang berusaha membentuk & memperhalus kita supaya menjadi sempurna. Maukah kita, relakah kita untuk dibentuk oleh tangan-tangan itu?

Kerapkali tidak. Kita lebih sering melakukan tawar-menawar untuk memperoleh yang kita inginkan, ketimbang mencoba memahami apapun yang harus diterima dan apapun yang harus terjadi. Apakah sebuah bola lempung mempunyai impiannya sendiri? Dapatkah sebuah bola lempung bermimpi tentang bejana? Kalaupun ya, apakah ia dapat menggapai impian itu, tanpa mau menyerahkan dirinya kepada sang pembuat tembikar?

Sebuah bola lempung akan tetap tinggal sebagai bola lempung, jika ia terlalu keras dan tak bisa dibentuk. Ia tak akan menjadi apa-apa pada akhirnya.

Tentang sang pembuat tembikar sendiri, lihatlah dia. Dengan semacam cinta yang keras kepala, ia tetap setia bergulat dengan bola lempung di tangannya. Dengan segenap kasih sayangnya, ia berbisik lembut kepada bola lempungnya, ”Rancanganku, bukanlah rancanganmu,” (bdk. Yesaya 55:8).

BUTIRAN GARAM YANG MERINDUKAN LAUTAN

Kamis, 22 Mei 2008

Jika garam menjadi hambar, dengan cara apakah kita mengasinkannya? (Mrk 9,50). Garam yang hambar hanya tinggal semata-mata butiran halus, yang kemudian akan hilang dalam butir-butir pasir di tepi laut.

Betapa sedihnya Allah jika kita serupa garam itu; hilang di tengah dunia. Kita larut, namun tak memberikan apapun kecuali diri yang bukan apa-apa. Doa St. Fransiskus Asisi pun hanya tinggal gema di ruang hati yang hampa: Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai... bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang...

Strategi pastoral Keuskupan Agung Jakarta ialah Gembala Baik. Setiap orang dipanggil menjadi gembala satu sama lain. Maukah kita menjawab panggilan ini, seraya dengan segala kerendahan hati, menyerahkan diri pada kerahiman Allah untuk terus dibentuk dan disempurnakan? Pada akhirnya, kerahiman itu akan melahirkan penebusan.

Sebagai Gembala Baik, kita semua adalah butir-butir garam yang dilontarkan ke darat oleh lautan. Garam itu tak boleh menjadi hambar, sebab panggilannya adalah mengasinkan. Jika garam menjadi hambar, bagaimanakah kita dapat mengasinkannya? Apakah garam mempunyai ingatan, yang akan menuntunnya kembali ke dalam lautan? Apakah garam menyimpan kekuatan, sehingga ia tak hanya akan terbenam di dalam pasir yang panas dan gersang?

TENTANG KEGEMBIRAAN KITA

Rabu, 21 Mei 2008

Seseorang yang baru pulang dari ziarah religius di luar negeri, hampir tak dapat berbagi cerita tentang perjalanannya. Ia berkata, ”Kami begitu sibuk mengejar bus dan menepati jadwal, sehingga tak dapat mempunyai kesan apapun dari semua tempat yang kami kunjungi!”

Sebelum memulai sebuah perjalanan atau petualangan, biasanya kita terlebih dulu membuat rencana. Seringkali, kita begitu terpaku pada rencana itu sehingga lupa untuk menikmati perjalanan itu sendiri. Demikian pula halnya dengan hidup; kita terlalu sibuk dengan pikiran kita sehingga menutup diri pada semua hal yang tak terpikirkan sebelumnya.

Tak heran jika kita mudah sekali kecil hati dan kehilangan kegembiraan. Seseorang yang berpendidikan tinggi terkejut ketika tahu bahwa kebijaksanaan bisa datang dari seorang yang sama sekali tak pernah bersekolah. Orang yang bertahun-tahun belajar agama dan Kitab Suci belum tentu bisa melakukan sharing iman. Ia menjadi masygul ketika menyadari bahwa iman itu terutama adalah pengalaman, bukannya semata-mata pengetahuan.

Seorang kaya pun pada akhirnya mengerti, bahwa si miskin-lah yang belajar banyak tentang kelimpahan. Dalam ketiadaannya, si miskin sungguh-sungguh menyerahkan diri pada belas kasih Allah, pemeliharaan Ilahi-Nya, dan belas kasih orang-orang yang memberinya cinta tanpa pamrih. Bukankah itu adalah hal yang paling berharga, yang tak dapat dibeli dengan uang sebanyak apapun?

Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap (Yakobus 4, 14). Uap itu mungkin tak pernah mempertanyakan tentang bagaimana ia dilahirkan dan bagaimana ia menghilang. Setidaknya, ia pernah ada, sepenuh-penuhnya.

TUHAN DI ANTARA KEGELISAHAN KITA

Selasa, 20 Mei 2008

Bila Kerajaan Allah adalah sebuah visi, langkah apa saja yang telah kita ayunkan untuk mencapainya?

Seringkali, langkah-langkah itu belum cukup. Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini mengisahkan bagaimana orang kerap bertengkar dan melupakan visi mereka. Jika dibandingkan dengan visi itu, pertengkaran mereka sungguh sepele; acapkali timbul dari egoisme dan kepentingan diri semata.

Ketika bangsa kita merayakan Hari Kebangkitan Nasional saat ini, kita dapat menjadikannya kesempatan yang baik untuk bertanya: seperti apakah perjalanan kita dalam menggapai visi Kerajaan Allah itu? Sudahkah situasi Kerajaan Allah itu tampak dan mewarnai hari-hari kita?

Agaknya belum. Orang sering berebut pengaruh dan kekuasaan, tapi lupa bahwa kekuasaan menjadi bernilai jika digunakan untuk menggapai kebaikan bersama. Orang sering terpacu untuk meraih keuntungan dan kekayaan, tapi lupa bahwa kesejahteraan bersama-lah yang seharusnya diperjuangkan. Banyak yang telah dilakukan, tapi yang telah dilakukan itu tak lagi mengacu pada sebuah visi yang bernama Kerajaan Allah. Rm. Y.B. Mangunwijaya (alm.) pernah menulis: ...betapa kekanak-kanakan kebanyakan cita-cita dan gerak kita, yang masih setingkat anak monyet berebutan kerupuk. (Manusia Pascamodern, Semesta dan Tuhan, Kanisius, 1999).

Pada titik kesadaran ini, menyatukan diri dengan arah pastoral Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), kita sungguh mau memperjuangkan hubungan-hubungan yang benar antara Allah dan manusia, manusia dan manusia, serta alam dan manusia. Sebagai entry point, KAJ memilih persoalan pekerja dan sampah. Betapa indahnya dan betapa dekatnya Kerajaan Allah itu, jika persoalan pekerja bukan hanya tentang biaya produksi dan margin keuntungan, melainkan sungguh-sungguh suatu pembelaan terhadap martabat manusia. Betapa indah dan dekatnya Kerajaan Allah itu, jika persoalan sampah bukan sekadar apa yang kita hasilkan dan apa yang kita buang, tetapi suatu pemahaman yang menyeluruh tentang bagaimana lingkungan alam ini, rumah bersama ini, akan kita kelola.

Seseorang yang punya visi tak hidup hanya untuk hari ini; ia hidup untuk masa depan, bahkan juga untuk masa ketika ia tak lagi dikenang...

Seutas Dawai

Senin, 19 Mei 2008

Seorang pemain biola membutuhkan waktu untuk menyelaraskan nada dawai-dawai biolanya, sebelum memainkan musik yang indah. Bila seutas dawai tak selaras bunyinya, lagu seindah apapun tak akan merdu terdengar. Ada yang sumbang.

Kehidupan ini laksana lagu yang indah itu. Kita adalah dawai-dawai sebuah biola; manusia, binatang, tumbuhan, semua ciptaan. Bila tak mampu menyelaraskan satu sama lain, kehidupan kita akan terdengar sumbang. Kekerasan, ketidakadilan, adalah dawai-dawai yang tak selaras itu. Cinta diri atau egoisme, ketakpedulian, adalah yang lainnya. Lagu yang sumbang pun terdengar: kemiskinan, kelaparan, kebodohan, kerusakan alam bahkan kematian.

Betapa sedihnya sang pemain biola, bila partitur di tangan, musik yang ditulisnya, tak dapat dimainkan dengan baik oleh dawai-dawai biolanya. Ia, dengan sabar dan setia, akan terus mencoba untuk menemukan nada yang tepat bagi setiap dawai.

Itulah saat, ketika Allah memanggil-manggil kita dengan bisikan-Nya yang halus, menyentuh kita dengan tangan-Nya yang lembut. Seutas dawai yang rindu memainkan lagu akan menyerahkan diri pada tangan sang pemain biola, rela untuk dibentuk dan disempurnakan. Seutas dawai tak akan mampu memainkan lagu sendirian; panggilannya adalah bersama dawai-dawai lain, menyajikan sebuah musik yang menakjubkan.

Tak heran jika seorang penyair berkata: hidup adalah doa yang panjang. Artinya, keseluruhan hidup merupakan pergulatan yang terus-menerus, antara Sang Pencipta dengan ciptaan-Nya, antara Sang Pengasih dengan yang dikasihi, sehingga mereka menjadi satu simfoni yang indah...

PERJALANAN YANG MENGUDUSKAN

Sabtu, 17 Mei 2008

Dalam Injil hari ini, dikisahkan Yesus yang menampakkan kemuliaan-Nya di atas sebuah gunung. Ia tampak bercahaya dan bersama-Nya adalah Musa dan Elia. Kemudian awan datang dan dari awan itu terdengar suara, “Inilah Anak-Ku terkasih, dengarkanlah Dia.” (lih. Mrk 9, 2-4.7)

Para murid Yesus yang menyertai gurunya—Petrus, Yakobus dan Yohanes—merasa takut dan tidak tahu apa yang harus dikatakan (lih. Mrk 9, 6). Ini dapat dipahami; guru mereka belum pernah tampak begitu mulia, meskipun Ia telah melakukan banyak hal yang menakjubkan (mengajar, menyembuhkan, meredakan angin ribut, mengusir roh jahat, membangkitkan orang mati, memberi makan orang banyak). Di atas gunung itulah para murid melihat jati diri guru mereka yang sesungguhnya.

Manusia, pada awal penciptaannya pun adalah mulia; ia diciptakan seturut gambar dan rupa Allah (lih. Kej 1, 26-27). Akan tetapi, dalam perjalanan hidupnya, manusia kerap jatuh di dalam dosa. Ia seringkali melakukan perbuatan-perbuatan yang menyulitkan sesamanya untuk menemukan Allah di dalam dirinya. Dalam Kitab Suci kita membaca: dari mulut yang sama keluar kata-kata terima kasih dan juga kata-kata kutukan. Seharusnya tidak demikian! Apakah ada mata air yang memancarkan air tawar dan air pahit dari sumber yang sama? (Yak 3, 10-11).

Dalam setiap langkah, sekaligus kita temukan dua hal ini: kemurahan Tuhan dan kelemahan manusia. Tuhan telah begitu murah hati; menciptakan kita serta menganugerahi hidup. Seringkali, kita tidak dapat menjalani hidup itu dengan sebaik mungkin dan seturut kehendak-Nya. Namun toh selalu ada maaf kendati sesal tak sampai terucap.

Inilah sebuah perjalanan yang bernama hidup itu; semacam kesadaran yang sungguh, bahwa keberadaan kita semua di dunia ini pada akhirnya adalah untuk saling menyempurnakan. Pencuri, pemungut cukai, pelacur dan semua yang dinistakan orang... kemiskinan, orang-orang yang tak punya pekerjaan, mereka yang sakit dan lemah, tertindas dan teraniaya... kekerasan dan ketidakadilan... itu semua adalah panggilan bagi kita. Dengan mengembalikan semua orang kepada martabatnya, yakni ciptaan yang mulia, kita pun menggenapi tugas perutusan kita: mengelola dunia untuk kesejahteraan semua orang, menjadikan dunia sebagai rumah bagi seluruh ciptaan...

Betapa indah, betapa merindukannya... bahwa dalam cinta dan persaudaraan, kita akan bersama-sama menggapai kekudusan.

CINTA YANG MENGHANGUSKAN

Jumat, 16 Mei 2008

Seorang bijak pernah berkata: seekor itik tidak dapat belajar berenang hanya dengan membayangkannya saja.

Kita pun tak akan mengerti lautan hanya dengan mengoleksi gambar-gambar tentang laut. Atau, memahami hutan melalui buku-buku. Pengetahuan seringkali tidak cukup; karena itulah, pengalaman akan sangat memperkaya.

Demikian pula halnya dengan Yesus. Seseorang tak akan dapat sungguh-sungguh mengimani Yesus hanya dengan membaca Kitab Suci, rajin ke gereja atau tekun berdoa saja. Pengertiannya akan bertambah dalam, jika ia mau menjumpai sesamanya, menyatukan diri dengan kegembiraan, duka dan harapan mereka; menyadari bahwa Yesus sungguh hidup, bukan sekadar tokoh, sejarah atau kenangan.

Seseorang pernah bertanya: apa persamaan antara penyair dan politikus? Jawabannya adalah: keduanya sama-sama tidak mampu menyembuhkan luka. Penyair hanya akan mengelus-elus luka itu; membicarakan betapa parah dan sakitnya, sedangkan si politikus justru akan mengorek-ngorek luka itu hingga makin parah dan sakitnya makin terasa.

Hidup yang sesungguhnya bukanlah puisi atau orasi... bukan kata-kata, melainkan keterlibatan yang penuh di dalam setiap pergulatannya. Begitulah juga dengan iman; jika tidak dinyatakan dalam perbuatan, iman itu tidak akan ada gunanya... (bdk. Yakobus 2, 17).