Senin, 26 Mei 2008
aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
(Sapardi Djoko Damono)
Mencintai memang tak pernah jadi perkara mudah, terutama karena kita tak bisa setengah-setengah.
Sebatang kayu akan tetap tinggal sebagai arang, jika ia menolak berdekapan lebih lama lagi dengan api. Lalu untuk apakah arang itu? Segumpal awan hanya akan tinggal sebagai mendung menggantung di langit, jika ia menolak melepaskan tetes-tetes air yang dikandungnya. Lalu mau apa awan mendung itu?
Cinta adalah keterlibatan. Sama seperti kayu yang tak mau bergumul dengan api atau awan yang tak rela luluh dalam hujan, kita pun tak akan lengkap jika menolak untuk menggenapi panggilan kita.
Visi Kerajaan Allah membuka mata dan hati kita, sehingga kita dapat melihat bahwa dunia ini tercabik-cabik dan terkoyak-koyak oleh kekerasan dan ketidakadilan. Itulah panggilan kita. Kita terpanggil untuk menyempurnakan kembali dunia itu sebagaimana ia telah diciptakan. Panggilan itu tak cukup disahuti hanya dengan kesalehan hidup, namun juga dengan bangkit bergerak dan membuat perubahan ketika Kerajaan Allah tak tampak. Kita tak hendak mencaci-maki dan menghancurkan dunia ini, melainkan menyelamatkannya (bdk. Yoh 3:17).
Menyahuti panggilan itu barangkali membuat kita tinggal jelaga atau malah hilang, tapi setidaknya kita telah menghasilkan api atau menurunkan hujan. Ini adalah cinta yang terbesar itu: menyerahkan hidup, bagi hidup yang lainnya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar