Rabu, 21 Mei 2008
Seseorang yang baru pulang dari ziarah religius di luar negeri, hampir tak dapat berbagi cerita tentang perjalanannya. Ia berkata, ”Kami begitu sibuk mengejar bus dan menepati jadwal, sehingga tak dapat mempunyai kesan apapun dari semua tempat yang kami kunjungi!”
Sebelum memulai sebuah perjalanan atau petualangan, biasanya kita terlebih dulu membuat rencana. Seringkali, kita begitu terpaku pada rencana itu sehingga lupa untuk menikmati perjalanan itu sendiri. Demikian pula halnya dengan hidup; kita terlalu sibuk dengan pikiran kita sehingga menutup diri pada semua hal yang tak terpikirkan sebelumnya.
Tak heran jika kita mudah sekali kecil hati dan kehilangan kegembiraan. Seseorang yang berpendidikan tinggi terkejut ketika tahu bahwa kebijaksanaan bisa datang dari seorang yang sama sekali tak pernah bersekolah. Orang yang bertahun-tahun belajar agama dan Kitab Suci belum tentu bisa melakukan sharing iman. Ia menjadi masygul ketika menyadari bahwa iman itu terutama adalah pengalaman, bukannya semata-mata pengetahuan.
Seorang kaya pun pada akhirnya mengerti, bahwa si miskin-lah yang belajar banyak tentang kelimpahan. Dalam ketiadaannya, si miskin sungguh-sungguh menyerahkan diri pada belas kasih Allah, pemeliharaan Ilahi-Nya, dan belas kasih orang-orang yang memberinya cinta tanpa pamrih. Bukankah itu adalah hal yang paling berharga, yang tak dapat dibeli dengan uang sebanyak apapun?
Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap (Yakobus 4, 14). Uap itu mungkin tak pernah mempertanyakan tentang bagaimana ia dilahirkan dan bagaimana ia menghilang. Setidaknya, ia pernah ada, sepenuh-penuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar