Jumat, 23 Mei 2008
Seorang pembuat tembikar, dengan sangat sabar, membentuk sebuah bola lempung menjadi bejana. Ia dengan berhati-hati membuat bentuk kasar bejana itu, lalu pelan-pelan menghaluskannya. Jika dirasanya ada yang keliru, pembuat tembikar itu tak segan-segan mengulangi proses dari awal. Tak ada yang salah dengan hal itu; ia hanya ingin tembikarnya sempurna.
Seandainya perjalanan hidup kita ini diibaratkan perjalanan sebuah tembikar, telah begitu banyak tangan yang berusaha membentuk & memperhalus kita supaya menjadi sempurna. Maukah kita, relakah kita untuk dibentuk oleh tangan-tangan itu?
Kerapkali tidak. Kita lebih sering melakukan tawar-menawar untuk memperoleh yang kita inginkan, ketimbang mencoba memahami apapun yang harus diterima dan apapun yang harus terjadi. Apakah sebuah bola lempung mempunyai impiannya sendiri? Dapatkah sebuah bola lempung bermimpi tentang bejana? Kalaupun ya, apakah ia dapat menggapai impian itu, tanpa mau menyerahkan dirinya kepada sang pembuat tembikar?
Sebuah bola lempung akan tetap tinggal sebagai bola lempung, jika ia terlalu keras dan tak bisa dibentuk. Ia tak akan menjadi apa-apa pada akhirnya.
Tentang sang pembuat tembikar sendiri, lihatlah dia. Dengan semacam cinta yang keras kepala, ia tetap setia bergulat dengan bola lempung di tangannya. Dengan segenap kasih sayangnya, ia berbisik lembut kepada bola lempungnya, ”Rancanganku, bukanlah rancanganmu,” (bdk. Yesaya 55:8).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar