Sabtu, 31 Mei 2008
Merenungkan perjumpaan Maria dan Elisabet adalah merenungi sebuah kisah yang indah. Ini adalah cerita tentang dua perempuan yang berbahagia, karena mereka mengizinkan Tuhan berkarya di dalam diri dan hidup mereka.
Akan menjadi sesuatu yang indah juga, ketika kita mampu menjadi sebagaimana Maria dan Elisabet; perjumpaan kita adalah perjumpaan orang-orang yang mengimani Allah dalam hidup keseharian. Kita dipanggil untuk mengusahakan hidup keseharian itu dalam terang iman.
Dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (1965) dinyatakan bahwa: kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka. Sebab persekutuan mereka terdiri dari orang-orang, yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya (GS, 1).
Itulah panggilan kita: menjadi Gereja yang terlibat. Bagaimana mungkin kita dapat mengarah kepada Kerajaan Bapa, jika kita sama sekali tidak terlibat di dalam kehidupan bersama orang-orang yang ada di sekitar kita?
Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis! (Roma 12, 15). Hanya dengan terlibat secara konkret, kita akan menjadi Gereja yang nyambung dan ngefek (= relevan & signifikan). *
*Lihat: Eka Darmaputra, PhD. MEMBERDAYAKAN KOMUNITAS BASIS (Dari Perspektif dan Pengalaman Kristen Protestan). Makalah diajukan pada Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2000, Caringin-Bogor, 1-5 November 2000. Yang dimaksud insignifikansi internal adalah keberadaan Gereja yang kian tidak terasakan makna fungsionalnya dalam kehidupan nyata warganya. Yang dimaksud dengan irelevansi eksternal alias insignifikansi sosial adalah ketika kehidupan serta dinamika internal Gereja terisolasi, teralienasi, atau seolah-olah tidak mempunyai sangkut-paut sedikit pun dengan dinamika sosial di lingkungan tempat mereka berada.
1 komentar:
Perjumpaan hati membuahkan keprihatinan dan keterlibatan. Maka Gereja perlu terus menerus mengusahakan perjumpaan, agar keprihatinan tidak hanya di bibir dan keterlibatan menjadi nyata. Aku setuju banget. Sorry, cuman lewat, nyoba mampir, lalu ikut nimbrung. Salam kenal.
Posting Komentar