Senin, 19 Mei 2008
Seorang pemain biola membutuhkan waktu untuk menyelaraskan nada dawai-dawai biolanya, sebelum memainkan musik yang indah. Bila seutas dawai tak selaras bunyinya, lagu seindah apapun tak akan merdu terdengar. Ada yang sumbang.
Kehidupan ini laksana lagu yang indah itu. Kita adalah dawai-dawai sebuah biola; manusia, binatang, tumbuhan, semua ciptaan. Bila tak mampu menyelaraskan satu sama lain, kehidupan kita akan terdengar sumbang. Kekerasan, ketidakadilan, adalah dawai-dawai yang tak selaras itu. Cinta diri atau egoisme, ketakpedulian, adalah yang lainnya. Lagu yang sumbang pun terdengar: kemiskinan, kelaparan, kebodohan, kerusakan alam bahkan kematian.
Betapa sedihnya sang pemain biola, bila partitur di tangan, musik yang ditulisnya, tak dapat dimainkan dengan baik oleh dawai-dawai biolanya. Ia, dengan sabar dan setia, akan terus mencoba untuk menemukan nada yang tepat bagi setiap dawai.
Itulah saat, ketika Allah memanggil-manggil kita dengan bisikan-Nya yang halus, menyentuh kita dengan tangan-Nya yang lembut. Seutas dawai yang rindu memainkan lagu akan menyerahkan diri pada tangan sang pemain biola, rela untuk dibentuk dan disempurnakan. Seutas dawai tak akan mampu memainkan lagu sendirian; panggilannya adalah bersama dawai-dawai lain, menyajikan sebuah musik yang menakjubkan.
Tak heran jika seorang penyair berkata: hidup adalah doa yang panjang. Artinya, keseluruhan hidup merupakan pergulatan yang terus-menerus, antara Sang Pencipta dengan ciptaan-Nya, antara Sang Pengasih dengan yang dikasihi, sehingga mereka menjadi satu simfoni yang indah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar