Desember 05, 2008

SEBUAH GELAS YANG KOSONG


Sebetulnya, kita sering sekali mendengar analogi ini: sebuah gelas yang penuh, tak akan mungkin lagi diisi air. Jika dipaksakan, air itu hanya akan tumpah dan terbuang... Disebut 'analogi', karena sebuah gelas penuh air itu dapat mengibaratkan situasi iman kita sendiri. Akan tetapi, meskipun sering mendengarnya, apakah analogi itu sungguh-sungguh menuntun kita kepada refleksi iman dan pertobatan?

Barangkali, banyak di antara kita bertanya-tanya: mengapa orang-orang miskin dan lemah selalu berada di dalam hati Allah? Sebaliknya, mengapa Yesus selalu mengritik orang-orang yang pandai, kaya dan berkuasa? Semuanya itu Kau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Kau nyatakan kepada orang kecil! (lih. Mat 11:25).

Dosa dapat terjadi pada siapapun juga. Pada orang-orang pandai, kaya atau yang berkuasa, dosa terutama mudah sekali terjadi ketika mereka tidak lagi percaya kepada Allah. Kesuksesan dan kenyamanan hidup dapat membuat mereka tak lagi bersandar pada Allah, tak lagi mengandalkan Allah! Mereka lebih percaya pada kekuatan akal, kekuatan harta, bahkan juga kekuasaan mereka. Malahan, dalam banyak perkara, mereka dengan gampang sekali mengkhianati Allah. Itulah saat ketika kepandaian, harta, jabatan atau kekuasaan justru digunakan untuk menindas orang lain yang sesungguhnya adalah sesamanya, serta menghancurkan lingkungan hidup yang sejatinya adalah rumah baginya.

Adakah kapak memegahkan diri terhadap orang yang memakainya, atau gergaji membesarkan diri terhadap orang yang mempergunakannya? Seolah-olah gada menggerakkan orang yang mengangkatnya! Sebab itu Tuhan, Tuhan semesta alam, akan membuat orang-orangnya yang tegap menjadi kurus kering, dan segala kekayaannya akan dibakar habis dengan api yang menyala-nyala. (Yes 10:15-16).
Hanya dengan mengosongkan diri, kita dapat menerima. Barangkali ini saat yang tepat untuk berubah dan percaya, bahwa kepandaian, harta, jabatan atau kekuasaan bukanlah apa-apa tanpa Tuhan di baliknya. Sebab, yang terutama adalah menemukan Kerajaan Allah serta semua kebenarannya, dan segala sesuatu yang lain akan ditambahkan kepada kita! (bdk. Mat 6:22).*

IMANMU TELAH MENYELAMATKAN ENGKAU!


Pada zaman Yesus, orang menghayati dunia sebagai medan pertempuran antara Allah dan si jahat, antara kuasa terang dan kuasa kegelapan. Penderitaan yang dialami adalah tanda bahwa dunia dikuasasi oleh kejahatan yang dipersonifikasikan sebagai setan atau iblis. Sebaliknya, Yesus yang diurapi Allah dengan Roh Kudus, menyembuhkan orang secara jasmani maupun rohani. Dengan mengadakan mukjizat, Yesus menjelmakan pemerintahan Allah dan menghentikan pemerintahan setan. Mukjizat Yeus itu, oleh para pengarang Injil, dikisahkan untuk memaklumkan bahwa Yesus bukan hanya menyampaikan kabar gembira Allah, melainkan bahwa Ia sendirilah Kabar Gembira itu (Iman Katolik, Kanisius & Obor, 1996).

Dalam refleksi tentang mukjizat, saya menemukan bahwa banyak orang terlebih dulu disembuhkan secara rohani, baru jasmani. Kisah tentang seseorang yang sakit kusta (Mat 8:1-4), hamba seorang perwira di Kapernaum (Mat 8:5-13), seorang yang lumpuh (Mat 9:1-8), dan dua orang buta (Mat 9:27-31) adalah beberapa contoh saja. Di tengah penderitaan yang seakan tak berkesudahan, mereka masih mempunyai harapan dan mencari Allah yang menyembuhkan dan menghidupkan. Tak heran jika Yesus kerap berkata semacam ini kepada mereka yang mencari-Nya, ”Imanmu telah menyelamatkan engkau!” (bdk. Mat 9:22).

Pada masa sekarang ini, ketika dunia telah dikoyak-koyak dengan kejam oleh kekerasan dan ketidakadilan, rasanya sulit untuk mengharapkan mukjizat. Sulit bukan berarti tak mungkin; justru inilah suatu panggilan bagi kita untuk mengimani Yesus. Kita dipanggil untuk percaya bahwa kasih, kebenaran dan keadilan adalah pilar-pilar bagi tegaknya Kerajaan Allah.

Sampai di titik ini, kita menyadari bahwa mukjizat yang terpenting bukanlah kemampuan untuk mengusir setan atau menyembuhkan penyakit dalam diri orang lain. Yang terpenting adalah kemauan kita untuk mengusir setan dan menyembuhkan diri kita sendiri. Mengimani Yesus, mengupayakan tegaknya pilar-pilar Kerajaan Allah di dunia ini, adalah mukjizat yang dapat kita buat.*

KUBAWAKAN PEDANG UNTUKMU!


Dalam sebuah tayangan talkshow Oprah Winfrey di televisi, diceritakan tentang kehancuran sebuah keluarga akibat perilaku buruk sang ayah. Alkisah, sang ayah sering melakukan tindakan asusila terhadap anak tirinya. Setelah memendam sekian lama, si anak akhirnya tak tahan dan menceritakan hal itu kepada ibunya. Keluarga itu pun guncang. Dengan hati teguh, sang ibu pun melaporkan semuanya kepada polisi. Setelah melalui proses pengadilan, sang ayah akhirnya dihukum penjara untuk beberapa tahun lamanya.

Tentu bukan hal mudah bagi sang ibu untuk menghadapi semua hal itu. Setelah kegagalan pernikahan pertamanya, ia tentu mengharapkan kebahagiaan dalam pernikahannya yang kedua. Apalah dikata, pernikahan itu justru membekaskan noda dalam diri dan hidup anak kandungnya sendiri. Butuh keberanian yang besar untuk memilih: si anak, atau suami tercintanya? Sang ibu akhirnya memilih untuk mengakhiri pernikahannya dan memastikan suaminya mendapat hukuman atas perbuatan amoralnya!

Kisah itu sungguh menarik; bukan hanya karena keberanian sang ibu membuat kita kagum, namun terlebih karena banyak ibu lain memilih untuk mengorbankan anaknya. Dalam beberapa kisah lain yang juga ditayangkan, para ibu bukannya berpihak kepada korban (anak mereka), melainkan justru mengusir anak itu dari rumah. Sungguh tragis!

Memang, harga yang perlu dibayar untuk suatu kebenaran sangatlah mahal. Membela kebenaran, barangkali berarti harus menudingkan telunjuk kepada orang-orang terdekat kita, mengorbankan semua kebahagiaan dan kenyamanan kita, bahkan berbalik arah dan membiarkan diri kita dicap sebagai ’pengkhianat’.

Pada akhirnya, agaknya tak ada yang terlalu mahal bagi sebuah kebenaran. Barangkali, takarannya kemudian adalah ’sepadan’. Kita jadi belajar untuk menghargai kebenaran lebih daripada apapun, apalagi sekadar kebohongan atau pembelaan diri. Kita pun diteguhkan oleh perkatan Yesus, ”Barangsiapa tidak mengikuti Aku, ia tidak layak bagi-Ku!”


Bapa rohaniku memberikan satu nasihat yang berharga ini: yang penting, pertama-tama, berjuanglah untuk menjadi benar...*

Desember 01, 2008

FROM THE BOTTOM OF THE WELL!


Uskup Agung Oscar Romero (1917-1980) adalah seseorang yang sangat gigih melawan kekerasan dan ketidakadilan yang dialami rakyat El Salvador. Berkali-kali ia diancam akan dibunuh, tetapi ia hanya berkata, "Saya tidak percaya akan kematian, melainkan akan kebangkitan. Jika mereka membunuh saya, saya akan bangkit kembali dalam diri rakyat El Salvador."

Romero pada akhirnya memang mati ditembak saat mempersembahkan Perayaan Ekaristi. Tetapi, seperti yang disiratkannya, perlawanan terhadap kekerasan dan ketidakadilan di El Salvador tak pernah mati.

Bagaimana dengan kita? Seringkali kita takluk dan jatuh berlutut di hadapan kekuatan-kekuatan jahat yang mencoba menguasai dunia. Padahal, Yesus berpesan kepada kita, "Tak ada sesuatupun yang tertutup takkan terbuka, dan tak ada sesuatupun yang tersembunyi takkan diketahui. Janganlah takut pada mereka yang hanya mampu membunuh tubuh, tapi tak kuasa membunuh jiwa!" (bdk. Mat 10:26, 28).

Sementara itu, di sudut yang jauh, seorang penyair berkata lantang: tyranny cuts off the singer's head, but the voice from bottom of the well returns to the secret stream of the earth, and rises out of nowhere through the mouths of the people. There's no forgetting, there's no winter... that will wipe your name, shining brother, from the lips of the people... (Pablo Neruda)*

IMANMU MENYELAMATKAN ENGKAU!


Banyak orang berpikir demikian, ”Karena menjadi Katolik, aku akan selamat.” Akan tetapi, berapa banyakkah yang bertanya kepada dirinya sendiri, ”Aku ini Katolik macam apa? Sudahkah aku menjadi Katolik yang baik?”

Kekatolikan kita bukanlah sekadar identitas; setidaknya di kolom KTP kita punya sesuatu yang disebut agama. Kekatolikan juga bukan wadah; supaya kita punya semacam tempat untuk bernaung dan atau eksis. Lebih daripada itu; kekatolikan adalah rasa, yang merasuk ke dalam semua pikiran, perkataan dan perbuatan kita. Itulah yang membuat kita disebut Katolik, bukan soal satu kata di KTP, bukan juga gereja & Gereja tempat kita berada.

Seorang kepala rumah ibadat dan dan seorang perempuan, oleh iman mereka, digerakkan untuk mencari kehidupan dan kesembuhan. Itulah makna terdalam dari iman: bahwa tanpa perbuatan, ia adalah kosong! (bdk. Yak 2, 20).

Sudahkah kita, yang mengaku Katolik ini, melakukan perbuatan-perbuatan berikut: memberi makan yang lapar, memberi minum yang haus, memberi tumpangan kepada yang asing, memberi pakaian yang telanjang, melawat yang sakit, mengunjungi yang terpenjara? Sudahkah iman menggerakkan kita untuk melakukannya?*

BUKAN PERSEMBAHAN


”Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, melainkan orang sakit,” kata Yesus (bdk. Mat 9, 12).

Yesus sendiri adalah tabib segala tabib; Dia-lah yang empunya kehidupan, Dia-lah pula yang menganugerahkan kehidupan itu kepada kita. ”Dan Aku menyertaimu sampai akhir zaman!” (bdk. Mat 28, 20). Inilah janji terindah yang bisa diberikan oleh siapapun juga: keterlibatan yang konkret dalam hidup yang lain. Yesus menawarkan diri-Nya untuk berjalan bersama kita.

Kita pun dapat menjadikan keterlibatan itu sebagai panggilan; ketika bukan semata-mata kesalehan hidup yang kita persembahan kepada Tuhan, melainkan juga kerelaan kita untuk berbagi kehidupan dengan sesama.*

AKU PERCAYA!


Beberapa waktu yang lalu, wajah Yesus tampak di gong gereja kita. Setidaknya, itulah yang bisa kita lihat dari foto-foto yang beredar.

Reaksi umat pun bermacam-macam. Ada yang menangis karena merasa tersentuh. Ada yang gemetar karena takjub. Ada juga yang lantas melakukan macam-macam analisis: mengapa Tuhan menampakkan diri di MBK? Ada yang biasa-biasa saja. Ada yang menganggap sepi. Ada juga yang tidak percaya. Itulah kekayaan Gereja; sebuah potret kemajemukan, pun dalam hidup religius. Bukankah rasanya menggetarkan hati, berada di tengah Gereja yang satu dan kaya ini?

Semua jalan dapat membawa orang untuk sampai kepada Tuhan, termasuk gambar wajah di atas sebuah gong sekalipun. Menjadi rumit, ketika semua jalan yang boleh ditempuh itu tidak mengantarkan kita ke mana-mana. Kita hanya berputar-putar di jalan itu, lupa pada tujuannya yang semula.

Jika itu yang kita alami, barangkali kita akan serupa Tomas yang menanti Yesus hadir di hadapannya. Menanti bukti, untuk kemudian percaya, baru mampu mewartakan keselamatan yang datang dari Allah.

Setiap orang boleh berproses dan harus berproses. Mungkin ada baiknya untuk diingat: selama proses itu berlangsung, jumlah pengangguran terus bertambah, jumlah penduduk miskin meningkat, anak-anak semakin lapar dan jauh dari sekolah, hutan-hutan terus ditebangi, pencemaran lingkungan tetap terjadi, bahkan kekerasan dan ketidakadilan makin kokoh menjadi satu-satunya sistem di negeri ini...*

BERHITUNG


Sejak kecil, kita sudah belajar berhitung. Anak-anak yang baru bicara, biasanya juga diajari untuk menyebut nama bilangan seperti satu, dua, tiga, sebagai kata-kata pertama mereka. Setelah duduk di bangku sekolah, kita pun mulai belajar dengan serius, mulai dari penjumlahan sederhana sampai ke hitungan kalkulus.

Logika matematika pun merambah ke dalam semua segi kehidupan kita. Satu di antaranya, soal biaya. Kita jadi bisa membedakan mana aktivitas berbiaya tinggi dan mana aktivitas berbiaya rendah. Biasanya, yang berbiaya tinggi itu akan dipikirkan lebih lanjut untuk dilakukan atau tidak.

Berhitung itu baik dan perlu; menjadi masalah ketika diterapkan pada situasi yang kurang tepat. Misalnya iman. Inilah yang dilakukan oleh orang-orang di seberang Danau Genesaret. Mereka lebih mengutamakan kehidupan ekonomi—dengan memelihara babi-babi—daripada memelihara iman sesamanya. Di pekuburan dekat situ, ada dua orang yang kerasukan roh jahat, tanpa seorang pun peduli. Buat apa? Kehidupan ekonomi jauh lebih penting; darinya kita bisa makan dan hidup!

Ketika Yesus datang, Ia memindahkan roh jahat dalam diri kedua orang itu kepada babi-babi. Bukannya bersyukur karena saudara mereka selamat, orang-orang desa itu malahan marah dan mengusir Yesus. Mereka meratapi kematian babi-babi yang terjun ke jurang. Yesus pun pergi. Ia cuma mampir untuk mengajarkan bahwa kesejahteraan tak hanya boleh milik sendiri, namun juga untuk semua orang. Bagaimana mungkin matematika bisa jauh lebih berharga ketimbang manusia?*

INTI KEHIDUPAN


Jika tornado mengamuk, di manakah tempat yang paling tenang? Jawabannya adalah: di dalam inti tornado itu sendiri.

Barangkali, kita kerap menjumpai hidup ini seolah ladang pertanian yang diamuk tornado. Tak banyak yang disisakan seusai badai, pun gandum setangkai. Setelah kemarahan yang dahsyat, yang tinggal kemudian adalah kekosongan yang sangat. Dalam sunyi kita pun mengeluh, “Apalah arti hidup?”

Seorang Ayub pun bahkan pernah berkata, “Mengapa aku tidak mati waktu aku lahir, atau binasa waktu aku keluar dari kandungan?” (lih. Ayb 3, 11), kendati ia juga berseru, “Tetapi aku tahu: Penebusku hidup!” (bdk. Ayb 19, 25).

Dalam kesesakan kita, suara lirih ini merupakan manis yang tersisa: Aku datang supaya kamu mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan... (bdk. Yoh 10, 10).

Inti tornado adalah bagian yang paling tenang; barangkali sama seperti inti penderitaan adalah kehidupan.*

MENCARI ALLAH


St. Agustinus menulis: Hati kami diciptakan untuk-Mu ya Tuhan, maka tidak akan pernah tenang bila belum tinggal di dalam Dikau.

Ya, kita memang tidak akan tenang bila belum menemukan Allah. Bagaimanakah kita mencari Allah itu? Ada orang yang mengejar pengetahuan. Ada orang yang mengunjungi tempat-tempat ziarah, bahkan hingga yang jauh. Ada yang bertekun dalam doa-doa yang panjang. Ada juga yang menceburkan dirinya ke dalam pengalaman demi pengalaman. Bahkan, ada yang lelah hingga akhirnya berhenti mencari.

Apapun dapat kita lakukan, karena iman pun memiliki perjalanannya sendiri. Di sisi lain, kutipan ini mestinya punya arti: Tuhanlah yang memberikan hikmat. Engkau akan mengerti tentang kebenaran, keadilan dan kejujuran, bahkan setiap jalan yang baik. Karena hikmat akan masuk ke dalam hatimu, dan pengetahuan akan menyenangkan jiwamu. (Amsal 2, 6.9-10).

Allah begitu dekat, tapi mengapa seringkali terasa begitu jauh?*