
Dalam sebuah tayangan talkshow Oprah Winfrey di televisi, diceritakan tentang kehancuran sebuah keluarga akibat perilaku buruk sang ayah. Alkisah, sang ayah sering melakukan tindakan asusila terhadap anak tirinya. Setelah memendam sekian lama, si anak akhirnya tak tahan dan menceritakan hal itu kepada ibunya. Keluarga itu pun guncang. Dengan hati teguh, sang ibu pun melaporkan semuanya kepada polisi. Setelah melalui proses pengadilan, sang ayah akhirnya dihukum penjara untuk beberapa tahun lamanya.
Tentu bukan hal mudah bagi sang ibu untuk menghadapi semua hal itu. Setelah kegagalan pernikahan pertamanya, ia tentu mengharapkan kebahagiaan dalam pernikahannya yang kedua. Apalah dikata, pernikahan itu justru membekaskan noda dalam diri dan hidup anak kandungnya sendiri. Butuh keberanian yang besar untuk memilih: si anak, atau suami tercintanya? Sang ibu akhirnya memilih untuk mengakhiri pernikahannya dan memastikan suaminya mendapat hukuman atas perbuatan amoralnya!
Kisah itu sungguh menarik; bukan hanya karena keberanian sang ibu membuat kita kagum, namun terlebih karena banyak ibu lain memilih untuk mengorbankan anaknya. Dalam beberapa kisah lain yang juga ditayangkan, para ibu bukannya berpihak kepada korban (anak mereka), melainkan justru mengusir anak itu dari rumah. Sungguh tragis!
Memang, harga yang perlu dibayar untuk suatu kebenaran sangatlah mahal. Membela kebenaran, barangkali berarti harus menudingkan telunjuk kepada orang-orang terdekat kita, mengorbankan semua kebahagiaan dan kenyamanan kita, bahkan berbalik arah dan membiarkan diri kita dicap sebagai ’pengkhianat’.
Pada akhirnya, agaknya tak ada yang terlalu mahal bagi sebuah kebenaran. Barangkali, takarannya kemudian adalah ’sepadan’. Kita jadi belajar untuk menghargai kebenaran lebih daripada apapun, apalagi sekadar kebohongan atau pembelaan diri. Kita pun diteguhkan oleh perkatan Yesus, ”Barangsiapa tidak mengikuti Aku, ia tidak layak bagi-Ku!”
Tentu bukan hal mudah bagi sang ibu untuk menghadapi semua hal itu. Setelah kegagalan pernikahan pertamanya, ia tentu mengharapkan kebahagiaan dalam pernikahannya yang kedua. Apalah dikata, pernikahan itu justru membekaskan noda dalam diri dan hidup anak kandungnya sendiri. Butuh keberanian yang besar untuk memilih: si anak, atau suami tercintanya? Sang ibu akhirnya memilih untuk mengakhiri pernikahannya dan memastikan suaminya mendapat hukuman atas perbuatan amoralnya!
Kisah itu sungguh menarik; bukan hanya karena keberanian sang ibu membuat kita kagum, namun terlebih karena banyak ibu lain memilih untuk mengorbankan anaknya. Dalam beberapa kisah lain yang juga ditayangkan, para ibu bukannya berpihak kepada korban (anak mereka), melainkan justru mengusir anak itu dari rumah. Sungguh tragis!
Memang, harga yang perlu dibayar untuk suatu kebenaran sangatlah mahal. Membela kebenaran, barangkali berarti harus menudingkan telunjuk kepada orang-orang terdekat kita, mengorbankan semua kebahagiaan dan kenyamanan kita, bahkan berbalik arah dan membiarkan diri kita dicap sebagai ’pengkhianat’.
Pada akhirnya, agaknya tak ada yang terlalu mahal bagi sebuah kebenaran. Barangkali, takarannya kemudian adalah ’sepadan’. Kita jadi belajar untuk menghargai kebenaran lebih daripada apapun, apalagi sekadar kebohongan atau pembelaan diri. Kita pun diteguhkan oleh perkatan Yesus, ”Barangsiapa tidak mengikuti Aku, ia tidak layak bagi-Ku!”
Bapa rohaniku memberikan satu nasihat yang berharga ini: yang penting, pertama-tama, berjuanglah untuk menjadi benar...*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar