02 Juli 2007
Saya pernah melihat suatu tayangan 'yang tidak biasa' di Music Television (MTV), tentang seorang aktivis kemanusiaan yang sedang mewawancarai Nelson Mandela. Lelaki muda itu adalah seorang aktivis pro-demokrasi di Burma.
Kita semua mafhum; Burma, negara terbesar di kawasan Asia Tenggara yang berbatasan dengan Bangladesh, China, Laos dan Thailand itu dikuasai oleh junta militer sejak 1992. Meskipun berada di bawah pengawasan dan sanksi internasional, rezim militer terus melakukan kontrol yang ketat terhadap kehidupan rakyat, menindas dan menekan pihak-pihak yang memperjuangkan keadilan & demokrasi dengan kekuatan absolut yang mereka punyai, dan dengan cara-cara yang kerap kali berupa kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Satu tindakan rezim militer Burma yang menjadi sorotan dunia adalah ‘kebijakan’ untuk mempersenjatai anak-anak.
Si lelaki muda, aktivis pro-demokrasi itu, diselundupkan keluar Burma oleh kawan-kawannya, karena ia terus-menerus diancam oleh kematian. Tak ada gunanya menunggu mati di Burma; lebih baik ia pergi demi keselamatan dirinya, sekaligus menjadi jaminan bahwa teriakan mereka yang tertindas akan terus disuarakan dan mengundang perhatian dunia.
Bukan hal yang mudah bagi si lelaki muda itu. Ia dihantui ingatan akan siksaan-siksaan fisik & psikologis yang diterima oleh keluarganya. Ia merasa bersalah atas hal-hal yang harus ditanggung oleh orang-orang terkasihnya. Ia digayuti oleh keinginan dan kerinduan untuk kembali ke negeri tercintanya, berjuang bersama dengan orang-orang yang ada di hatinya. Tentu saja ia tak dapat melakukan itu semua. Ia punya tugas berat untuk diemban, yang tak boleh dikalahkan oleh apapun juga.
Kepada Nelson Mandela, lelaki muda itu mencurahkan kegundahannya. “Saya tidak bisa membela ibu saya. Saya bahkan tak bisa menghadiri pemakaman ayah saya. Bukankah Anda pun mengalami hal yang sama saat ada di dalam penjara? Anda tak diperkenankan menghadiri pemakaman adik Anda. Oh! Rasa benci terus tumbuh di dalam hati saya. Bagaimana mungkin saya dapat menghadapi kebencian ini?”
Nelson Mandela, dengan ketenangan seseorang yang telah mengalami banyak hal, menjawab dengan tegas, “Jangan membenci. Itulah cara-cara yang mereka gunakan. Mereka membuatmu membenci, dan kebencian itulah yang lambat-laun akan menghancurkan dirimu sendiri.”
˜
Injil hari ini menegaskan perjalanan berat yang harus dilalui banyak orang yang memperjuangan kebebasan dan keadilan. Sering kali, atau bahkan selalu, mereka harus pergi jauh dari hal-hal yang mereka cintai demi mewujudkan visi tentang masa depan yang jauh lebih baik itu. Yesus pun mengalami hal yang sama sebagaimana dikatakan-Nya: “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya.” (ayat 20)
Semoga Injil hari ini meneguhkan kita, bahwa memperjuangkan terwujudnya Kerajaan Allah di bumi ini bukan sesuatu yang main-main belaka; butuh komitmen, kesetiaan dan pengorbanan tersendiri untuk melakukannya. Termasuk di antaranya adalah berjarak dengan hal-hal yang begitu dekat dan mampu memberikan keamanan & kenyamanan bagi kita, seperti keluarga atau sebuah rumah. Yesus tak mau kita setengah-setengah. Bahkan kepada seseorang yang hendak menguburkan ayahnya, Dia berkata: “Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka.”
Sebuah dongeng tentang Keong Ajaib yang ditulis oleh seorang penulis India, Chitra Banerjee Divakaruni, mengajarkan saya satu hal ini: untuk bisa meraih sesuatu yang besar, seseorang harus melepaskan cengkeramannya atas sesuatu yang lain yang juga sama disukainya...
Doa:
Tuhan, kobarkanlah di dalam hatiku, cinta yang menyala-nyala akan Dikau... agar Kau dan aku makin erat bersatu, dan segala yang menjadi kehendak-Mu adalah juga kehendakku..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar