20 Juli 2007
Peraturan dibuat untuk dilanggar, demikian sering diucapkan orang. Kita yang mendengarnya mungkin tersenyum, karena menangkap 'keisengan' orang yang mengucapkannya. Akan tetapi, kalau kita mau sedikit merenungkannya lebih dalam, perkataan itu mengandung kebenaran juga.
Peraturan dibuat untuk manusia, bukan manusia dibuat untuk peraturan. Seharusnya, tujuan dari peraturan itu adalah untuk kebaikan bersama. Yang terpenting dalam peraturan bukanlah 'dipatuhi', atau 'dilanggar' sehingga yang bersangkutan akan dikenai sanksi, tetapi apakah yang 'harus patuh' atau yang 'secara sadar melanggar' itu sungguh-sungguh mengerti alasan dibuatnya peraturan.
Hidup kita disesaki banyak peraturan. Dilarang ini, dilarang itu. Sebaiknya begini, sebaiknya begitu. Di dalam gereja pun, menjelang dimulainya Perayaan Ekaristi, kita disambut dengan peraturan, misalnya: handphone dimatikan. Pertanyaannya adalah: apakah yang diminta untuk 'patuh' itu sudah mengerti makna aturan itu? Tampaknya tidak, karena masih saja kita lihat di sana-sini ada saja yang menggunakan handphone untuk berkomunikasi.
Penggunaan handphone bukan satu-satunya peraturan untuk mengikuti Perayaan Ekaristi. Sikap berdiri-berlutut-duduk adalah juga semacam 'peraturan'. Sering, umat tampak kikuk hendak mengambil sikap yang mana karena ia tidak mengerti maknanya. Sungguh sayang bukan, jika doa terlewatkan hanya untuk menoleh kiri-kanan mencari sikap yang benar, atau sibuk mencari tahu di dalam buku mengenai sikap yang tepat? Kalau kita mau sedikit berefleksi, masih banyak aturan lain di dalam gereja, bahkan mungkin masih akan banyak lagi lainnya. Pernahkah kita bertanya, mengapa diperlukan peraturan sebanyak itu?
Dalam Injil hari ini, Yesus menunjukkan bahwa Ia adalah orang yang berani melanggar peraturan. Bahkan, kalau kita jeli mengikuti perjalanan hidup-Nya di Kitab Suci, kita akan menemukan bahwa Yesus sering melanggar peraturan. Hal itulah yang membuat kaum Farisi murka dan terus berusaha 'menjebak' atau menyiapkan perangkap bagi Yesus. Akan tetapi, apakah Yesus melanggar peraturan hanya karena Ia adalah seorang pemberontak yang sulit diatur?
Yesus memang seorang pemberontak. Ia tidak memberontak melawan kekuatan tertentu, pihak tertentu atau sekelompok orang saja. Ia memberontak melawan apapun yang menindas kemanusiaan dan menghalangi orang untuk menuju kepada Allah. Siapapun yang menindas dan menghalangi sesamanya untuk menuju kepada Allah akan berhadapan dengan Yesus. Sesungguhnya, Yesus pun tidak 'berhadapan' dengan orang itu, melainkan dengan 'paradigma berpikir'-nya. Dalam hal peraturan, bukankah peraturan adalah buah dari pikiran manusia? Jika hendak mengubah peraturan, bukankah cara berpikirnyalah yang harus diubah?
Kembali pada contoh mengenai peraturan menjelang Perayaan Ekaristi tadi; jika kita mau mengambil inspirasi dari perjalanan hidup Yesus ini, kita akan menyadari bahwa sesungguhnya tak ada gunanya membuat seperangkat aturan selama upaya pemahaman makna Perayaan Ekaristi itu sendiri tak pernah dilakukan. Mungkin, bukan aturannya yang harus diubah, melainkan 'cara-cara' yang perlu dilakukan untuk mengantar umat menemukan Tuhannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar