24 Juli 2007
Injil hari ini mengisahkan tentang Yesus yang didatangi ibu dan saudara-saudara-Nya, ketika sedang mengajar di tengah orang banyak. Yesus tidak menghentikan pengajaran-Nya untuk menemui mereka; bahkan ketika seseorang mengingatkan-Nya, Ia justru berkata, "Siapapun yang melakukan kehendak Bapa-Ku, dialah saudara-Ku dan ibu-Ku!" (lihat ayat 50).
Yesus pasti tidak sedang merendahkan hubungan kekeluargaan. Ia hanya bermaksud mengingatkan kita, bahwa ada yang lebih penting ketimbang relasi-relasi manusiawi, yaitu relasi dengan Allah.
Kita semua mengenal Raden Adjeng Kartini, perempuan Jepara yang lahir pada 21 April 1879. Akan tetapi, berapa banyakkah yang pernah membaca kumpulan buah pikirannya, Habis Gelap Terbitlah Terang? Kita umumnya mengenal Kartini sebagai seorang perempuan yang memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan lainnya, setidaknya dalam hal kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Akan tetapi, jika membaca surat-surat yang ditulis Kartini kepada para sahabatnya, kita akan menyadari bahwa Kartini adalah seorang pemikir yang gelisah.
Kartini mempertanyakan banyak hal, dari tradisi pingitan yang membuatnya merasa terpenjara hingga soal agama. Kartini menggugat banyak hal, dari kehidupan perempuan Jawa waktu itu yang dunianya hanya sebatas tembok rumah, hingga 'kegagalan' agama, yang alih-alih mencegah orang untuk berbuat dosa, malahan justru membuat pengikutnya saling membunuh atas namanya.
Banyak sekali ide-ide besar dalam diri seorang perempuan mungil berkain kebaya dan bersanggul sederhana itu; ide-ide besar, yang 'terempas' karena kecintaannya kepada sang ayah. Kartini mengorbankan keinginanya untuk sekolah ke Belanda, bahkan merelakan dirinya dinikahi oleh Bupati Rembang yang telah memiliki istri. Orang pun lantas mencibir: itukah akhir bagi sang pemikir?
Bagiku, tidak. Kartini mungkin tak mampu meneruskan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, takluk pada sebuah 'lembaga' yang bernama pernikahan, dan mati pada usia 25 tahun saat melahirkan anak pertamanya, tapi ia tak pernah kehilangan visinya. Kartini tak mampu mewujudkan visi itu sendirian, namun ia mewariskan visi itu kepada bangsanya sehingga impian-impian Kartini pada akhirnya dapat direalisasikan. Kartini, sebagaimana dikatakan oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer, telah bekerja untuk keabadian, "Sebab menulis adalah bekerja untuk keabadian."
Barangkali, banyak di antara kita yang tak sanggup melawan kungkungan relasi-relasi manusiawi. Barangkali juga, ketika kita sama tak berdayanya seperti Kartini, kita menjadi berbeda dengannya karena telah kehilangan atau melepaskan visi kita. Jika visi itu adalah visi tentang Kerajaan Allah, perkataan Yesus jelas dan tegas, "Barangsiapa mengasihi bapak dan ibunya lebih daripada-Ku, dan mengasihi anaknya laki-laki dan perempuan lebih daripada-Ku, ia tidak layak untuk Aku (lihat Mat 10:37). Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah! (lihat Lukas 9:62)"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar