Alkisah, pada suatu masa, hiduplah seorang pencerita. Ia selalu mengisahkan cerita-cerita yang indah: tentang alam semesta, tentang bulan dan bintang, tentang samudera, dan tentang kelahiran dunia. Ia bercerita tentang manusia pertama, tentang sebuah taman, tentang beraneka ciptaan yang ada di sana. Ia juga bercerita tentang cinta, tentang damai, tentang dosa dan pengampunan, tentang pengorbanan, tentang roti dan anggur yang dicurahkan, serta tentang penebusan.
Awalnya, orang-orang tertarik mendengarkan si pencerita itu. Mereka duduk di sekitarnya, bahkan mengikutinya berjalan dari desa ke desa. Pencerita itu tak punya keluarga ataupun rumah; keluarga dan rumahnya adalah semua yang ditemuinya dalam perjalanan hidupnya.
Lama-kelamaan, jumlah pendengarnya semakin berkurang, hingga akhirnya tinggal sejumlah anak-anak saja. Pada suatu hari, si pencerita itu duduk di atas sebuah batu besar dan melihat ke sekelilingnya. “Anak-anak, ke manakah orang-orang yang lain? Tidakkah mereka ingin mendengarkanku lagi?”
”Tidak, Tuan. Mereka lebih suka mendengarkan para pencerita yang lain.”
”Pencerita yang lain?”
”Ya, Tuan. Pencerita itu kabarnya hebat sekali. Ia bercerita tentang pertikaian, peperangan, dan tentang permusuhan. Ia bercerita tentang kebesaran, kekuasaan, kejayaan dan tentang semua keinginan manusia.”
Pencerita itu meneteskan air mata. ”Mengapa orang lebih tertarik pada kematian daripada kehidupan?”*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar