Oktober 30, 2008

MENGHADAPI KEKERASAN

Di sekitar kita, kekerasan banyak terjadi. Di rumah, sekolah, tempat kerja, jalanan, masyarakat, negara, bahkan juga Gereja. Kekerasan tampaknya sudah menjadi budaya; orang lebih suka memilih kekerasan sebagai jalan keluar, ketimbang dialog atau telaah kritis yang mencerdaskan.

Kekerasan yang satu akan melahirkan kekerasan yang lain, padahal kekerasan tak pernah dapat menjangkau kebenaran. Seringkali, kita pun dilumpuhkan oleh kekerasan. Kita lebih suka diam sehingga tak mampu merintis jalan menuju kebenaran itu sendiri.

Sakit hati, amarah juga harga diri adalah sedikit dari sekian banyak hal yang membutakan mata kita pada kebenaran. Kita lebih suka membalas daripada mencoba menelaah duduk persoalan yang sebenarnya. Kita lebih suka melampiaskan kekesalan ketimbang menempuh cara-cara yang konstruktif. Kita bahkan tak lagi melihat sesama sebagai saudara yang bersamanya kita dapat saling menyempurnakan; kita lebih suka menganggapnya sebagai musuh atau sasaran.

Masih banyak yang harus kita imani dari Yesus, bukan? Yesus adalah Dia yang menerima pelukan ataupun tamparan, pujian maupun cercaan. Yesus adalah Dia yang mengatakan, ”Bapa, ampunilah mereka karena tak mengerti yang mereka lakukan...” (bdk. Lukas 23, 34), juga adalah Dia yang berkata, ”Berbahagialah mereka yang lapar dan haus akan kebenaran, sebab mereka akan dipuaskan...” (bdk. Mat 5, 6).*

Tidak ada komentar: