Oktober 30, 2008

YANG KUSEBUT SEBAGAI BAPA

Seorang psikofenomenolog, M.A.W. Brouwer, menuliskan perenungannya tentang hubungan anak-ayah sebagai berikut: Secara sengaja atau tidak sengaja, Ayah selalu ditempatkan di atas diri pribadi. Ayah adalah asal-usul. Ayah adalah prasyarat, sekaligus penyebab eksistensi seseorang. Ayah adalah bagian dari identitas pribadi seseorang, terutama dalam menempatkan individu pada posisi dan dengan peranan tertentu di tengah masyarakat. (Ayah dan Putranya, 1985).

Yesus selalu menyebut Allah sebagai Bapa; Ia kerap melengkapinya menjadi ’Bapa-Ku’. Dalam doa yang diajarkan-Nya kepada murid-murid-Nya, Yesus menyebut ’Bapa-Ku’ itu sebagai ’Bapa Kami’.

Barangkali inilah makna terdalam yang luput dari perhatian kita. Bukan sekadar suatu perenungan psikofenomenologis, bukan sekadar permainan kata-kata. Ada relasi yang begitu dalam, yang sarat makna, antara seorang anak dengan ayahnya.

Allah adalah asal dari segala sesuatu, adalah alasan bagi segala sesuatu. St. Thomas Aquino menulis bahwa sebab pertama dan tujuan akhir dari segala-galanya ’dinamakan Allah oleh semua orang’. Begitu pula halnya relasi mendalam antara Allah dan manusia. Kerinduan akan Allah sudah terukir dalam hati manusia karena manusia diciptakan oleh Allah dan untuk Allah. (Katekismus, 27).

Artinya, ketika kita menyebut Allah sebagai Bapa, sama seperti Yesus telah menyebut Allah sebagai Bapa, Allah haruslah menjadi alasan keberadaan kita di dunia. Pernahkah kita bertanya tentang alasan keberadaan itu?

Pada Yesus, alasan keberadaan itu tampak jelas, sejelas baris-baris doa yang diajarkan-Nya kepada kita: memuliakan Allah, mencari & menjalankan kehendak Allah, menjalani hidup sebagai anugerah, membangun relasi dengan Allah & mengasihi sesama, serta memberikan makna pada dimensi penebusan dalam setiap karya-Nya di dunia.*

Tidak ada komentar: