Kita gampang sekali memandang orang lain sebagai musuh, hanya karena kita berbeda dengannya. Mungkin perbedaan itu berupa agama atau suku, kelompok atau aliran, tujuan atau kepentingan. Sejarah kemanusiaan kita mencatat bagaimana permusuhan begitu dekat dengan kematian, dalam skala yang kecil hingga yang besar.
Di lingkup kehidupan yang kecil, seorang anak dapat membunuh ibunya yang tak mau memberinya uang jajan. Seorang lelaki dapat membunuh lelaki lain karena gelap mata akibat cemburu. Seorang ibu dapat membunuh seorang ibu lain yang menagih utang kepadanya. Di ruang kehidupan yang lebih luas, tragedi G30S/PKI dan peristiwa ’pembersihan’ sesudahnya, bentrok antarsuku di Kalimantan 1997, peristiwa Mei 1998, hanya sedikit contoh peristiwa yang menewaskan begitu banyak orang.
Sekali satu batas diciptakan antara aku dan kau, antara kita dan mereka, di situlah jarak akan bermula.
Yesus mengajak kita untuk menyeberangi jarak itu. Yesus yang begitu tegas tentang apa yang benar dan apa yang salah (bdk. Mat 10, 34-36), juga tegas tentang persatuan, kerukunan dan persaudaraan (bdk. Mat 5, 44; Yoh 17,11-12).
Mungkin sulit, mengecilkan hati, mungkin terasa mustahil pada awalnya. Namun toh seorang bijak pernah berkata: untuk menjangkau satu sama lain, janganlah membangun tembok, melainkan jembatan.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar