Juni 09, 2008

Berkat

20 Agustus 2007

Apabila Yesus tiba-tiba datang kepada kita dan berkata, “Juallah segala milikmu, bagikanlah kepada orang miskin, lalu ikutlah Aku,” kira-kira, apa yang akan kita lakukan? Mungkin, sebagian di antara kita bersorak dan melakukan dengan gembira apa yang Ia perintahkan itu. Aku pun akan termasuk orang-orang ini. Jika Yesus sendiri yang datang dan mengatakannya, mengapa aku menolak? Tapi, bagaimana jika situasinya berbeda; Yesus tidak datang sendiri melainkan melalui wajah-wajah sesama kita, apakah dengan gembira kita akan menuruti permintaan-Nya?

Wajah-wajah itu bertebaran di sekeliling kita. Anak-anak jalanan yang tak bersekolah; sebagian di antara mereka barangkali kondisi fisiknya memprihatinkan. Perempuan-perempuan pengemis yang menggendong bayi di perempatan jalan. Kaum muda yang mengamen di bus-bus kota. Orang-orang tua yang berjalan terseok-seok meminta beras atau sedekah dari rumah ke rumah. Pencuri yang tertangkap dan dipukuli oleh massa yang marah. Orang-orang berpakaian rapi yang mencari uang dengan cara menipu. Penghuni pemukiman kumuh yang digusur. Anak-anak muda yang kehilangan harapan di sel-sel penjara atau tempat rehabilitasi narkoba. Terhadap mereka semua ini, apakah yang sudah kita lakukan? Kontribusi apa yang sudah kita berikan sehingga mereka dapat menjalani kehidupan yang lebih baik dan bermartabat?

Jika dibandingkan dengan mereka, kita begitu penuh dengan karunia dan berkat dari Allah. Wujudnya tak hanya uang yang banyak. Hari untuk dijalani, waktu untuk diisi, pekerjaan untuk dilakukan, makanan untuk disantap, baju-baju bersih untuk dipakai, simpanan uang untuk mencukupi kebutuhan mendatang, keluarga untuk dikasihi, sahabat-sahabat untuk disayangi... semua ini adalah berkat dari Allah. Apakah selama ini kita menikmati berkat ini sendirian saja? Apakah kita telah dengan rela membagikannya kepada sesama kita? Apakah kita telah mengusahakan dengan sungguh-sungguh supaya sesama kita pun mengalami berkat yang sama?

Setiap minggu kita mendapat kesempatan untuk merayakan Ekaristi. Lihatlah roti dan anggur di altar itu. Kita diingatkan kembali kepada Yesus sendiri, yang rela menyerahkan keseluruhan diri-Nya, bahkan juga nyawa-Nya, bagi orang-orang yang dikasihinya. Sudahkah kita menjadi seperti roti yang terpecah-pecah itu? Sudahkah kita menyerupai anggur yang tercurah itu?

Memberikan diri kepada sesama tak pernah mengenal kata cukup; dibutuhkan totalitas dan komitmen tersendiri di sana. Selama masih ada sesama kita yang hidup secara kurang bermartabat, selama itu pulalah panggilan Yesus diperdengarkan bagi kita. Maukah kita mendengarkannya? Maukah kita melakukan sesuatu sebagai tanggapan terhadapnya? Ataukah kita akan bersikap seperti seseorang yang menemui Yesus dalam Injil hari ini; menyadari betapa beratnya permintaan Yesus itu, ia hanya berpaling dengan sedih?

Tidak ada komentar: