Juni 12, 2008

Api Cinta

24 September 2007

Sewaktu SMA dan kuliah, aku dan teman-teman Katolik sering sekali menyanyikan lagu ini: masa muda sungguh senang, jiwa penuh dengan cita-cita... dengan api yang tak kunjung padam, selalu membakar dalam hati...Setiap kali menyanyikannya, biasanya diiringi dengan gitar, kami merasa sangat senang dan bersemangat. Terbayang kembali hari-hari kami yang telah lewat; penuh dengan kesibukan belajar, aktivitas di luar kuliah dan kesenangan bersama kawan-kawan. Bahkan juga, tak jarang muncul pertanyaan dan harapan-harapan tentang masa yang akan datang. Hendak menjadi siapakah kami nantinya? Mengerjakan apa?

Pertanyaan-pertanya an macam itu terjawab belasan tahun kemudian. Tak semuanya sama seperti impian dan juga tak semuanya menyenangkan. Aku masih ingat dengan jelas malam-malam ketika kami duduk bersama dan menyeruput kopi di warung kecil pinggir jalan depan kampus kami. Ada kebersamaan yang hangat saat itu. Belasan tahun berlalu, kehangatan itu tak lagi mudah dipercayai seolah-olah hanya pernah menjadi sekadar mimpi.

Beberapa di antara kami memang masih idealis. Ada yang menjadi wartawan dan di sela-sela kesibukannya meluangkan waktu untuk mendirikan taman bacaan bagi anak-anak di desanya. Ada yang tetap bohemian dan menjadi seniman, tapi tak pernah berhenti membaca buku dan kini tengah menggarap radio komunitas bagi kepentingan kelompok tani dan nelayan. Mereka yang semacam ini tak pernah ingin hidup berlebih; bagi mereka, ’secukupnya’ itu sudah baik. Sisa dari yang ’bercukupan’ ini berarti perlu dibagikan kepada yang masih ’berkurangan’.

Tapi toh banyak di antara kami yang tak lagi peduli pada hidup sesamanya. Beberapa kawan bekerja di instansi pemerintah, dan hanya dalam beberapa bulan saja, dapat meraup uang ratusan juta rupiah dari dana pengentasan rakyat miskin. Lainnya, dengan kecerdikan yang mereka punya, menjadi semacam broker politik. Dengan santai mereka meloncat dari satu partai ke partai lainnya. Sungguh memprihatinkan; hari ini mereka tampil di sebuah stasiun TV sebagai seorang tokoh dari Partai A, esok mereka sudah menjadi seorang tokoh di Partai B. Ada juga yang menjadi dosen, tapi selalu mengejar berbagai proyek yang akan memperbanyak pundi-pundi uangnya dan tak hirau pada mahasiswa yang membutuhkan bimbingannya.

Itulah realitas kehidupan. Tak perlu bersedih, tak usah menghujat. Setiap orang pasti punya alasan untuk menjalani hidupnya, pun ketika hidup itu begitu berbeda dengan cita-cita masa muda. Ketika kurenungi Injil hari ini, memang terbersit galau di dalam hati; lalu untuk apakah pelita, jika ia tak lagi bernyala dan menerangi kegelapan?

Allah melahirkan manusia dalam cinta; Ia pun menginginkan manusia untuk saling mencintai agar dapat menyempurnakan satu dengan yang lain. Dengan demikian, kita pun akan menyempurnakan cinta Allah itu! Tapi bagaimana jika api cinta itu telah padam? Kehangatan dan terang tak lagi memancar dari hati kita; lalu apakah yang dapat kita berikan kepada sesama? Hati yang dingin? Pikiran yang dibutakan oleh kegelapan? Orang yang dingin tak akan mau menyentuh tangan sesamanya, dan mereka yang buta tak akan sanggup menuntun orang lain. Bukankah itu realitasnya?

Mari bersama menjaga api cinta dari Allah, sebab hanya itulah kehangatan dan terang yang sejati bagi kita & dunia!

Tidak ada komentar: