Juni 11, 2008

Rasio & Iman

06 September 2007

Sebagai nelayan, telah semalaman kita mencoba menangkap ikan, namun tak satu ekor pun didapat. Ketika pagi tiba, datang seorang asing untuk mengajar orang banyak. Sambil membereskan jala, kita mendengarkan pengajarannya itu. Tiba-tiba, orang asing itu meminta kita untuk kembali melaut dan menebarkan jala. Apa reaksi kita?

Mungkin saja, kita malahan merasa jengkel. Pertama, bukankah kita ini nelayan yang sehari-harinya bekerja mencari ikan? Siapakah orang itu, sehingga ia bisa-bisanya mengajari kita? Bukankah ia hanya seorang ’public speaker’; tahu apa ia tentang melaut? Kedua, bukankah kita sudah berusaha mencari ikan semalaman penuh dan gagal? Mengapa orang itu hendak ’membantah’ pengalaman kita?

Dalam dunia ilmu pengetahuan, pada dasarnya terdapat dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri pada rasio dan yang kedua mendasarkan diri pada pengalaman.

Pertanyaan yang menarik adalah: di manakah letak iman?

Petrus, melalui perjumpaannya dengan Yesus, menemukan jawabannya. Dalam Injil hari ini, Petrus-lah nelayan yang telah semalaman menangkap ikan dan gagal. Barangkali saat itu ia sudah hendak pulang dan beristirahat, namun masih sempat mendengar pengajaran dari seorang asing. Yang sungguh mengherankan, ia menuruti permintaannya! Padahal, Petrus sudah memberikan alasan dengan enggan, namun toh akhirnya ia kembali melaut dan menebar jala. “Kami sudah semalaman bekerja keras, tapi atas perintah-Mu, aku akan menebarkan jala,” begitu katanya kepada Yesus. Hasilnya? Ia mendapat ikan yang berlimpah!

Sebagai manusia, kita sering (bahkan mungkin selalu) didikte oleh rasio dan pengalaman dalam menjalani hidup. Kita menuruti apa kata rasio, atau apa yang diajarkan oleh pengalaman kita. Nah, iman justru seringkali menantang bahkan menentang rasio dan pengalaman. Bukankah Yesus mengajar kita untuk mengasihi musuh dan mendoakan mereka (lihat Matius 5:44), bahkan kalau perlu memberikan pipi kiri kepada orang yang telah menampar pipi kanan kita (lihat Matius 5:39)? Itu hanyalah satu contoh; masih banyak contoh yang lain!

Mengikuti Yesus bukan persoalan salah atau benar; sebab bukankah rasio dan pengalaman pun mempunyai kebenarannya sendiri? Mengikuti Yesus adalah persoalan hati! Maukah kita mengiyakan kehendak-Nya meskipun itu berarti menyangkal diri kita sendiri? Relakah kita meninggalkan atau melepaskan semua yang kita miliki? Maukah kita diubah?

Petrus telah mengesampingkan akal dan pengalamannya; ia memilih untuk menuruti permintaan seorang asing. Dengan melakukannya, ia menemukan iman dan hidupnya pun telah diubah untuk selamanya... ”Mulai sekarang, engkau akan menjadi penjala manusia!” sabda Yesus (lihat ayat 10).

Tidak ada komentar: