Juni 11, 2008

Saat Gelap

15 September 2007

Hari ini, kita mengenang Santa Perawan Maria yang Berduka Cita. Di bawah salib Yesus, sebagaimana dikisahkan Injil, kita dapat mengerti betapa dalam duka seorang Bunda menyaksikan puteranya telah diperlakukan dengan begitu kejam, di luar batas-batas kemanusiaan, bahkan sampai mati-Nya. Bunda itulah yang telah melahirkan puteranya di antara penderitaan, di tengah keharusan untuk menempuh perjalanan yang jauh dan penolakan banyak orang. Bunda itu jugalah yang membesarkan seorang putera yang luar biasa istimewa; hatinya pasti penuh dengan kecemasan dan ribuan pertanyaan yang tak selalu terjawab.

Barangkali, tak satu pun di antara kita yang sungguh-sungguh bisa setia sebagaimana Maria berserah pada kehendak Tuhannya. Maria, pada zamannya, bukanlah seorang perempuan yang hebat dan dikagumi orang sebagaimana banyak di antara kita. Ia bukan seorang organisatoris andal; ia tak pernah menjadi ketua organisasi apapun dan tampil keren di hadapan banyak orang. Ia bukan seorang pengusaha hebat; ia tak punya perusahaan yang selalu jadi nomor satu di dunia bisnis. Ia bukan seorang pujangga yang mampu meluluhkan hati banyak orang dengan kata-kata indah dan rayuan yang syahdu. Ia bahkan bukan supermom ala zaman sekarang, yang sibuk sekali me-manage rumah tangga; menjadi pendamping suami, pembimbing anak-anak, manajer keuangan rumah tangga, pemimpin sebarisan PRT-sopir-satpam, dan jeung gaul yang cantik-modis- populer dengan tas bermerek dan handphone tercanggih sebagai tentengannya.

Maria adalah seorang gadis desa yang sangat sederhana. Banyak hal yang tak dimengertinya, namun dengan sepenuh kerelaan, ia selalu menyimpan semua perkara di dalam hatinya. Satu hari yang panas di bawah salib puteranya, mungkin adalah satu dari sekian banyak hal yang tak dimengertinya itu. Tapi Maria tetap setia. Ia bertahan di bawah salib pada saat-saat terakhir dari hidup puteranya. Ia tabah menyaksikan tubuh yang telah hancur itu diturunkan dari salib; tubuh yang pernah mendiami rahimnya dan dilahirkan dengan penuh kesakitan olehnya. Ia dengan sabar memandang tubuh yang asalnya begitu mulia itu, telah dinistakan dengan mudahnya, bahkan oleh mereka yang mengaku percaya kepada Allah dan memperjuangkan kepentingan- Nya.

Elie Wiesel, seorang Yahudi, masih berusia 15 tahun ketika berada di kamp konsentrasi Nazi, Auschwitz. Pada suatu hari semua tahanan dipaksa berbaris dan melewati tiga orang yang dihukum gantung. Satu di antara terhukum itu adalah seorang anak laki-laki, dan kedua bola matanya masih tampak hidup saat Wiesel berjalan melewatinya. Seseorang di belakang Wiesel bertanya dalam geraman, ”Di mana Allah sekarang? Di mana Dia sekarang?” Wiesel diam saja, namun sebuah suara hati seorang anak yang baru berusia 15 tahun berkata, ”Dia ada di sini; Dia-lah yang sedang tergantung di sini, di tiang gantungan ini...”

Tak semua orang sanggup melampaui saat-saat gelap dalam imannya dengan selamat. Elie Wiesel adalah satu di antara mereka yang sanggup itu, sementara banyak lainnya memutuskan bahwa Allah sudah mati karena Ia ternyata tak berdaya melawan kekejaman yang menghancurkan kemanusiaan. Elie Wiesel adalah seorang Yahudi. Bagi kita yang Katolik ini, kita punya teladan sendiri; siapa lagi kalau bukan Maria?

Kenangan tentang Maria, Bunda yang Berduka Cita, semoga menyentak kesadaran kita mengenai hidup iman yang sesungguhnya. Kesadaran itu, semoga juga membebaskan kita dari segala arogansi duniawi yang diwakili oleh kekuasaan, pengaruh, pangkat, jabatan, kekuatan, popularitas, tas bermerek dan handphone canggih yang menyesaki ruang hidup kita.

Tidak ada komentar: