Juni 11, 2008

Ular

14 September 2007

Ular adalah binatang yang terkutuk. Ular dikutuk Allah karena ular-lah yang menggoda Hawa di Taman Firdaus sehingga manusia jatuh ke dalam dosa (lihat Kejadian 3:13-15). Salib pun terkutuk. Salib adalah satu bentuk hukuman yang paling brutal dan sadis sepanjang sejarah kemanusiaan, dan hanya dijatuhkan pada orang-orang yang melakukan kejahatan besar.

Banyak umat beriman begitu tersentuh pada penderitaan Yesus di kayu salib; mereka seolah dapat merasakan sakitnya, perih luka-luka-Nya dan kepedihan di hati-Nya. Salib memang menjadi sebuah kepedihan yang dalam; bukan semata-mata karena kesakitan fisik yang diderita Yesus, melainkan lebih daripada itu, karena kerelaan-Nya untuk menanggung hukuman yang paling hina atas kesalahan yang tak pernah dilakukan-Nya.

Yang dilakukan Yesus itulah yang mengubah makna salib. Sama seperti ular tembaga, binatang terkutuk yang ditinggikan di padang gurun oleh Musa untuk membuat mereka yang dipagut ular tetap hidup (lihat Bilangan 21:4-9), salib pun tak lagi hina dan bodoh karena seseorang telah menyerahkan nyawa di sana bagi kelangsungan hidup sahabat-sahabatnya. Salib telah menjadi tanda kasih yang suci. Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi maupun bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah (1 Korintus 1:22-24).

Sejumlah teolog yang memusatkan perhatian pada penderitaan Yesus di salib, menegaskan bahwa penderitaan itu adalah tanda solidaritas Allah terhadap penderitaan manusia. Allah mau mengambil bagian dalam penderitaan yang paling berat, sebab dengan begitu manusia akan mengingatnya dan ingatan itu akan menjadi kekuatan baginya untuk berjuang mengatasi penderitaannya sendiri.

Tapi sungguhkah kita mampu menyerap makna penderitaan itu, dan masih mengambil posisi yang sama dengan Allah di dalam Gereja-Nya?

Jawaban pertanyaan itu adalah ‘tidak’, ketika Gereja tidak lagi bersolider pada yang termiskin, yang paling menderita, paling sakit, paling hina, dan paling teraniaya. Gereja tidak mampu bersolider karena Gereja tidak lagi mengambil bagian dalam penderitaan mereka. Bagaimanakah kita dapat mengetahui hal ini? Mudah saja: mari kita refleksikan perjalanan panjang kita sebagai Gereja, dan jika di sana kita temui begitu banyak aksi yang tak berpihak kepada yang miskin, menderita, sakit, hina dan teraniaya, kita telah menjadi Gereja yang tak mampu bersolider itu. Sayang sekali bukan, ketika makna salib yang suci itu ternyata kita nodai dengan tindakan-tindakan yang berlawanan dengan tindakan yang dulu dipilih oleh Allah sendiri?

Tidak ada komentar: